MALANG POSCO MEDIA – Pagi itu masih gelap saat saya menarik napas dalam-dalam. Jarum jam menunjukkan pukul 05.15 WIB. Saya melirik sekali lagi ke arah helm, motor, dan tas yang sudah saya siapkan sejak malam sebelumnya. Dari Porong, saya melaju ke Surabaya bukan untuk liputan, melainkan untuk menjalani salah satu ujian terberat bagi seorang jurnalis: Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Jalanan padat, macet menjalar sejak Sidoarjo, dan suara klakson bersahutan membuat suasana pagi terasa seperti ujian awal sebelum ujian sebenarnya. Saya menyebutnya psywar, istilah yang biasa dipakai di sepak bola. Mental dan fisik benar-benar diuji bahkan sebelum sampai lokasi.
UKW kali ini diselenggarakan oleh Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara di Hotel Rengantris Cendana, Surabaya, Rabu dan Kamis (30–31 Juli). Saya menjadi salah satu dari 31 peserta dari berbagai jenjang: muda, madya, hingga utama. Dari Malang Posco Media, saya tidak sendiri tapi bersama redaktur A. Vandri Battu yang mengambil jenjang madya. Kalau saya masih kali pertama mengikuti UKW di jenjang muda.
Di Malang Posco Media (MPM) UKW adalah kewajiban. Ini bagian dari komitmen perusahaan yang belum lama merayakan HUT ke-5. Di balik perayaan itu, ada semangat agar setiap jurnalisnya benar-benar kompeten, bukan sekadar bisa menulis berita.
Sebelum UKW dimulai, kami dibekali pra UKW dengan materi lewat Zoom. Saya masih ingat betul sesi pertama yang dibawakan oleh Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pers, Maha Eka Swasta, yang mengulas Kode Etik Jurnalistik. Materi ini seperti pengingat, bahwa profesi ini bukan soal cepat tayang, tapi tanggung jawab etik yang tidak main-main.
Di sesi berikutnya, Redaktur Internasional Perum LKBN Antara, Primayanti, menyampaikan materi tentang penulisan berita, features, opini, hingga integrasi multiplatform. “Mumet? Jelas.” Tapi justru dari situ, saya makin sadar bahwa dunia jurnalistik tidak sedang baik-baik saja. Ia menuntut kita untuk terus berkembang.
Hari pertama UKW, saya dan lima peserta lain—dari Ketik.com, RRI Surabaya, Lentera Today, Jurnal Terkini (Madura), dan Nawacita.co—masuk dalam satu tim yang diuji oleh Hermanus Prihatna, jurnalis senior yang pernah menjabat Kepala Divisi Pemberitaan Foto LKBN Antara. Kami memulai ujian dengan simulasi rapat redaksi.
Sebagai jurnalis aktif, rapat redaksi bukan hal baru. Namun atmosfernya saat UKW berbeda. Setiap ide dipertarungkan, setiap saran bisa menjadi poin plus atau minus. Telat menyelesaikan tugas? Poin langsung terpangkas. Kami harus bisa memanage waktu dengan tepat.
UKW ini tidak seperti ujian sekolah. Soal boleh sama, tapi jawaban harus menggambarkan karakter dan kompetensi masing-masing. “Jurnalis konvergensi harus memuat tiga hal dalam berita, yakni teks, foto, dan audio visual. Jika tidak ada unsur tersebut, masih jurnalis konvensional,” ujar Pak Hermanus saat sesi pengantar.
Dan benar saja, uji kompetensi tak hanya berhenti di tulisan. Kami diuji menghadapi simulasi konferensi pers dari Pertamina New and Renewable Energy. Materi yang diberikan cukup kompleks. Waktu kami hanya 10 menit untuk menyimak dan memproses informasi, sebelum masuk sesi tanya jawab dan simulasi door stop.
“Harus dapat nomor telepon dari setiap narasumber. Berguna untuk konfirmasi lanjutan dan memperkaya materi berita,” pesan Pak Hermanus saat evaluasi.
Dari 11 modul yang harus kami selesaikan, satu modul cukup membuat jantung saya berdetak lebih cepat, modul jejaring narasumber. Kami diminta melampirkan 25 nomor kontak narasumber, dan diberi kesempatan maksimal tiga kali menelepon. Untungnya, saya langsung tersambung pada panggilan pertama. Modul ini benar-benar menguji seberapa dekat kita sebagai jurnalis dengan dunia yang kita liput.
Sebagai reporter yang ngepos di sektor pendidikan Kabupaten Malang, saya banyak menyertakan kontak kepala sekolah dan madrasah. Modul ini ternyata tidak hanya soal nomor, tapi juga kepercayaan narasumber terhadap jurnalis.
Dua hari UKW akhirnya saya lalui. Tekanan, rasa lelah, gugup, hingga takut, semuanya jadi satu. Tapi semua itu terbayar saat pengumuman tiba. Saya dinyatakan lulus dan berkompeten. Rasanya seperti naik kelas.
Dukungan luar biasa dari manajemen dan redaksi MPM membuat saya bisa sampai titik ini. Saya tahu, tidak semua punya kesempatan yang sama. Maka saya menyebut keikutsertaan ini sebagai investasi ‘mahal’ dari perusahaan. Dan mungkin, saya salah satu yang paling beruntung: dari menulis angka (sebagai bagian keuangan), kini dipercaya menulis kata, dan merawat makna dalam setiap berita. Terima kasih Malang Posco Media.
Sementara saya Vandri Battu ikut UKW jenjang Madya. Saya sudah lama tak ikut UKW. Pertama kali ikut UKW jenjang Muda pada tahun 2013 lalu. Setelah lama sebagai wartawan Muda, akhirnya saya ikut jenang Madya. Penguji saya Erafzon Saptiyulda, wartawan senior di Antara.
Ada 11 modul UKW yang harus saya lewati. Beruntung nilainya yang saya dapat lebih dari passing grade yang ditentukan panitia. Yakni 70-100. Semua modul saya lewati dengan biasa saja. Sebab modul uji merupakan bagian dari pekerjaan yang saya lakoni sehari-hari di MPM.
Namun ada satu modul yang bikin deg-degan. Yakni modul “Jejaring Narasumber”. Saya mengajukan 27 nama narasumber dari berbagai latar belakang. Mulai dari Wali Kota Malng Wahyu Hidayat, pimpinan dan anggota DPRD Kota Malang, lawyer, aktivis sosial, pelaku ekraf hingga pengusaha.
Saat modul uji ini berlangsung, saya diminta menelepon Wali Kota Malang Wahyu Hidayat. Saat itu Kamis (31/7) pagi sekitar pukul 07.58. WIB. Saat itu Pak Mbois, sapaan akrab Pak Wali langsung menerima telepon saya. Lega rasanya. (hud/van/aim)