Bukan Pilihan Biasa
Ia menjalani pilihan yang tak biasa. Kuliah perawat, sempat bekerja sebagai perawat pula. Namun kini menjadi seniman tato. Ini bukan pilihan asal-asalan,
MALANG POSCO MEDIA- Bebas berkarya jadi pilihan jalan hidup Ovina Ayu Saputri. Namun bebas tetap bertanggungjawab. Wanita asal Pisang Candi Sukun, Kota Malang ini memilih menjadi
seniman tato sejak tiga tahun terakhir.
Ovi bukan berlatarbelakang lulusan seni rupa atau desain. Perempuan kelahiran tahun 1992 itu sejatinya lulusan keperawatan. Tepatnya di Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang. Jauh sebelum terjun menyelami seni tato, dia sempat bekerja di fasilitas kesehatan (faskes).
“Sebelum kenal dunia tato, background aku perawat. Pernah kerja di rumah sakit, pernah di klinik atau homecare,” kata Ovi.
Siang kemarin ia cukup sibuk menata desain beberapa tato customernya. Suami Ovi juga seorang seniman tato yang sudah lebih berpengalaman dibandingkan dirinya. Sejak tahun 2011 lalu keduanya membuka jasa tato bersama. Mereka lalu hidup dari tato hingga sekarang.
Sebelumnya Ovi sejak lulus dan menikah, banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Ia dikaruniai seorang anak, sayangnya dia dan sang buah hati mengalami sakit bawaan. Hal itu yang membuatnya tak bisa bekerja dengan shift panjang. Terlebih shift malam.
“Akhirnya aku coba kerjanya di klinik dokter, tapi anak ku tak bisa ditinggal. Aku memutuskan melayani home care buat pasien rawat jalan yang butuh,” jelasnya.
Awal mula kecintaannya pada seni tato sebenarnya sudah sejak lama. Ia menyulap kulit tubuhnya menjadi kanvas tato. “Awalnya sudah suka tato, tetapi dulu belum berani di bagian tubuh yang kelihatan. Sampai-sampai akhirnya ingin lebih bebas hidup dengan merdeka. Tahun 2011 berhenti jadi perawat dan bikin tato di bagian tubuh yang kelihatan,” katanya.
“Aku memutuskan bikin tato yang kelihatan kayak di tangan, di kaki. Dengan tujuan agar orang tak nawarin aku kerja atau nyuruh aku kerja. Aku maunya bisa kerja sendiri atau bareng suami aku,” tambahnya.
Benar saja selama bertato di bagian tubuhnya yang tampak, dia merasa lebih merdeka. Tidak ada upaya dari banyk orang untuk memintanya bekerja di banyak tempat. Ovi pun bisa dengan leluasa belajar dan bekerja dengan belahan hatinya.
“Jadi menurut aku adalah ketika aku bertato maka aku harus jadi orang yang merdeka untuk diri ku sendiri. Aku harus bisa tanggung jawab karna aku tahu setelah aku bertato pasti tak ada kerjaan yang mau terima aku,” katanya. “Aku harus bisa cari duit dengan usaha ku sendiri, bisnis sendiri, bahkan kalo mau bisa sampai mempekerjakan masyarakat bertato lainnya yang punya skill untuk kerja sama kita,” sambung Ovi.
Tempat dia melayani jasa tato bernama Sandria Tattoo. Yang tak lain adalah nama anaknya dengan sang suami. Dari kesukaannya itu pula mereka berjodoh. Dengan Sandria Tattoo akhirnya Ovi dan suami bisa membuktikan ke orang lain bahwa mereka bisa hidup dengan baik. Walaupun harus merangkak, yang terpenting tetep bertekad dan konsisten dengan jalan yang telah dipilih.
Tidak ada proses yang instan. Butuh waktu cukup lama bagi Ovi untuk belajar hingga merasa siap menerima customer tato. Ia belajar banyak dari sang suami yang seorang tatto artist. Dari melihat langsung hingga sempat mempraktikkan ke bagian tubuhnya sendiri. Lambat laun mengenalkan ke beberapa teman-temannya dan memamerkan di media sosial.
Jenis seni tato yang Ovi dalami adalah tato handpoke. Atau dengan kata lain metode tanpa mesin. Memiliki ciri khas tersendiri. Dalam pengerjaannya memakan waktu yang cukup lebih lama dibandingkan tato dengan mesin. Namun selama ini Ovi dan Sandria Tattoo telah banyak pengalaman dan mampu mengefisienkan waktu hingga terpangkas. “Jadi yang umumnya bisa dua jam bisa dipangkas jadi satu jam,” sebutnya.
Ovi mulai belajar Handpoke Tattoo sejak tahun 2018 lalu. Perlu waktu setahun lebih hingga dirinya berani mematok harga dan menerima customer langsung. Tahun 2019 jadi tahun pertamanya menerima customer. Kini, tato handpoke buatannya sudah dikenal luas.
Ia membeberkan, sekali tato handpoke dikenai tarif sekitar Rp 300 ribu untuk ukuran standar kecil 10 sentimeter. Biaya tersebut berlaku kelipatan. Ia biasa melakukan konsultasi dulu terkait desain tato customernya. Sebab segi kerumitan yang ada pada desain juga menjadi pertimbangan tarif yang ditentukan.
Ovi juga belajar banyak mengenai standar operasional prosedur dalam mengaplikasikan tato di tubuh seseorang. Sebab tak boleh sembarangan. Ia harus menjaga kebersihan hingga higienis dan keamanan customernya. Dia pun gigih mengampanyekan SOP bagi tattoo artist.
“Aku belajar soal standar operasionalnya. Kayak kebersihan, penggunaan jarum sekali pakai, dan sebagainya. Sebenarnya aku pengen belajar pake mesin tato awalnya, tapi suami aku mengarahkan aku untuk handpoke tato saja dengan alasan handpoke sebetulnya cukup banyak tapi belum cukup banyak yang pake SOP, ” bebernya.
Ia melayani konsultasi dengan deal harga di awal. Setelah ia tahu desainnya, ia tak pernah mematok harga di akhir walaupun sang customer tak bertanya soal harga. Paling besar, dia pernah melayani tarif senilai Rp 800 ribu dengan kerumitan tinggi. Selama sebulan bisa melayani hingga enam customer. Namun secara kolektif di Sandria Tattoo dia dan suaminya melayani rata-rata 20-25 orang.
Ke depan, Ovi berharap dapat memiliki studio sendiri di tempat strategis. Ia juga berkeinginan bisa membuka workshop untuk siapapun yang ingin belajar. “Pengen banget bisa sharing sama artist handpoke lainnya. Juga bisa bikin event handpoke,” imbuh Ovi. (tyo/van)