Malang Posco Media – Sekitar 30 tahun Tri Handoyo setia berjuang agar Topeng Malangan terus lestari. Terlahir sebagai cucu Mbah Karimun, maestro Topeng Malangan, Tri tetap melewati proses panjang.
Di Sanggar Topeng Asmorobangun, Karangpandan Pakisaji, tangan Handoyo tak bisa lepas seharipun dari kayu, golok dan pisau khusus, serta cat. Alat-alat yang dia pakai membuat Topeng Malangan. Selain memproduksi, juga mengenalkan budaya Panji lewat Topeng Malangan.
Topeng Malangan memang tak pernah lepas dari Tri Handoyo. Ia bahkan sangat menjiwai kesenian khas Malang itu. Pria bersahaja ini mencintai Topeng Malangan sejak masih bocah.
Kakeknya, Mbah Karimun maestro Topeng Malangan. Begitu juga ayahnya Taslan menekuni Topeng Malangan. Meski mereka para maestro yang mengajari Tri kecil cara membuat topeng, menari topeng, menabuh gamelan dan membuat pertunjukan topeng merupakan perjuangan yang tak mudah.
Tri bercerita, kecintaan terhadap kesenian topeng sejak ia SMP. Kala itu usianya 14 tahun. Ia ingat, di tahun 1995 ayahnya Taslan wafat. Tinggal Tri dan sang kakek, Mbah Karimun. Keluarganya yang tak punya sawah atau kebun mengandalkan Topeng Malangan. Ayahnya yang menjadi tumpuan pembuat topeng telah tiada. Sedangkan sang kakek mengalami kecelakaan hingga harus menjalani pemulihan.
“Karena ada pesanan banyak dan tidak ada yang mengerjakan, maka saya kerjakan sekaligus belajar,” kenangnya.
Pesanan yang menumpuk banyak itu pun akhirnya berhasil diselesaikan. Ia pun menyadari kemampuannya membuat topeng mulai dikuasai dengan baik. Lalu menekuni pembuatan topeng dan tari sejak saat itu. Sang kakek pun membimbing.
Memahat dan mengukir topeng berbagai bentuk dan jenis dilakoninya. Tahun 2010, Mbah Karimun sang kakek wafat. Tri hingga kini masih menyimpan topeng yang diukur oleh sang kakek. “Hanya sisa satu,” kenangnya.
Warisan kesenian sang kakek terus ia jaga. Tak ada alasan lain selain kecintaan pada kesenian dan kebudayaan. “Orang kalau sudah seneng ya seneng aja,” katanya.
Pria 43 tahun ini menyadari, tak semua bisa menjalani dan menekuni panggilan seni tersebut dengan tulus dan lama. Apalagi pendapatan finansial dari seni Topeng Malang tak bisa dikatakan pasti.
Kini dia menyandang predikat empu. Predikat empu umumnya diberikan kepada orang sepuh. Namun Tri Handoyo agaknya salah satu pendobrak pakem itu. Ia mendapatkannya saat masih berusia 35 tahun. Gelar Empu Topeng didapat dari Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 2014.
Tentu kesenian topeng yang tak lepas dari pembuatan topeng harus ia sebarluaskan. Pembelajaran membuat topeng tidak bisa dipaksakan. Mereka yang tak punya ketertarikan di bidang itu nyaris percuma andai kata harus mengikuti tiap-tiap tahap pembuatan topeng.
Sebagai pelaku seni budaya, berbagi ilmu adalah keharusan bagi Tri. Ia membuka kelas dengan melatih generasi muda tentang dunia seni pertunjukan Panji dan Topeng Malangan. Latihan itu digelar di Padepokan Seni Topeng Asmorobangun yang lokasinya tak jauh dari rumahnya. Ada sektiar 150 orang yang belajar saban pekan sekali di hari Minggu.
“Hampir 70 persen siswa saya mulai umur belum sekolah sampai kelas enam SD,” kata pria bertutur lebut itu.
Secara rutin sejak sanggar ada, ia menggelar pertunjukan setiap Senin Legi di padepokan. Saat ini masih vakum termasuk sanggar tarinya karena pandemi. Menurut Tri, budaya pentas Topeng Lakon Panji Malangan masih diminati hingga kini. Di padepokan miliknya, sekali pentas mendatangkan puluhan hingga ratusan orang.
Tak hanya di dalam negeri, ia bersama timnya pernah dua kali manggung di luar negeri. Terakhir tampil di Moskow dalam Pentas Seni Festival Indonesia.
Tri juga melatih karawitan bagi para remaja. Yakni Minggu malam dan Jumat malam. Budaya pertunjukan Seni Panji Malangan tak bisa dilepaskan dari karawitan.
Sebagai orang asli Malang, budaya Panji menjadi fokusnya. Lakon Topeng Panji selalu mengajarkan hal-hal baik.
“Manusia harus baik dengan manusia. Tokoh jahat selalu kalah dengan tokoh baik dalam setiap lakon. Manusia juga harus baik dengan alam. Misalnya dengan sumber mata air yang menghidupi. Manusia harus baik dengan Tuhan,” ujarnya.
Nilai-nilai Panji menjadi tuturan dan pijakan menjalani hidup.
Tri pernah pemecah rekor pertunjukan tari topeng. Yakni, sekitar 5.000 penari Bapang Topeng Malangan berhasil memecahkan rekor yang dicatatkan Museum Rekor Indonesia (MURI) dalam kategori penari tradisional pelajar terbanyak. Itu sekaligus memcahkan rekor dunia.
Tahun 2017, bertempat di pesisir Pantai Ngantep Kecamatan Sumbermanjing Wetan, ribuan penari pelajar bersama-sama menarikan tari Bapang Topeng Malangan. Tidak hanya memakai kostum Tari Bapang saja, namun mereka lincah menarikan tari tradisional khas Kabupaten Malang ini.
MURI memberikan apresiasi tinggi atas terselenggaranya pencatatan rekor itu. Diharapkan dengan rekor tersebut, seni budaya bangsa tidak akan luntur. Tetap terjaga tidak tergilas oleh kemajuan zaman.
Sebagai pembuat topeng ia tak hanya mengandalkan penghasilan dari kerajinannya. Tri juga mengajar tari di Universitas Negeri Malang (UM). Dulu, ia juga sempat mencicip menjadi roomboy di salah satu hotel di Malang. Juga pernah bekerja di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Topeng Malangan membuatnya menemukan cara baru mengenalkan budaya topeng. Sejak beberapa tahun lalu, Tri mulai membuat aksesori gantungan kunci berbentuk topeng dari kayu. Tak disangka, aksesori itu justru menjadi salah satu sarana kenalkan Kabupaten Malang sebagai pusat kesenian topeng ke para wisatawan.
Harga gantungan kunci yang bentuknya kira-kira seukuran dua jempol orang dewasa itu sangatlah terjangkau. Yakni kisaran Rp 10 ribu per biji. Bandingkan dengan harga topeng asli yang rentangnya Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu. Harga yang murah meriah membuat banyak orang menjadikannya sebagai buah tangan kerajinan andalan. “Kalau buah tangan plakat kan sudah sangat biasa. Oleh-oleh gantungan topeng justru sangat dimintai,” ujarnya.
Konsistensi Tri pada topeng tak lepas dari dukungan keluarga. Baginya tak semua bisa menerima pekerjaan di bidang seni dengan penghasilan yang tidak pasti. Tetapi dengan dukungan keluarga dan ketekunanya rejeki tak pernah lari darinya. Harapannya sederhana, agar seni topeng tetap ada dan lestari. Ia pun terus beradaptasi dengan keadaan saat ini.
Perkembangan zaman membuat kesenian harus tetap ada dengan kemasan berbeda atau sedikit penyesuaian. Seperti halnya durasi pertunjukan yang harus dipersingkat. Bahkan bahasa yang dipahami. Itu semua dilakukannya dengan rasa cintanya pada kesenian dan pada Kabupaten Malang.
“Jadi bagaimanapun kesenian harus dilestarikan. Kalau bisa dibilang seni budaya sekali ditekuni pasti ada hasil. Dan itu bonus saja, jadi tidak usah khawatir soal yang lain akan mengikuti,” kata dia. (m prasetyo lanang/van)