Tadi pagi sebelum berangkat kerja tidak sengaja mendengarkan istri memutar sebuah lagu. Bagi saya yang bukan pecinta lagu, sejenak tertegun dengan lirik lagunya yang sederhana namun indah. Setelah sampai kantor saya coba googling tentang nama penyanyi dan penggalan liriknya. Ternyata lagu ini memang viral di kalangan anak muda, terutama di platform media sosial seperti TikTok maupun Instagram.
Gen Z pasti sudah sangat familiar dengan grup musik Batas Senja dengan judul lagu “Nanti Kita Seperti Ini.” Di Youtube lagu ini sudah ditonton lebih dari 18 juta viewer. Lirik lagunya biasa saja, namun serasa magis dan menyentuh, terutama pada penggalan kalimat:
Ingin punya rumah tuk tempat bermesra
Kau dipanggil ibu, sementara aku ayah
Bertukar cerita di ruang keluarga
Bercengkerama dan menimang buah hati kita.
Sederhana…
Bahagia ini lengkap sudah
Lagu ini berbicara tentang impian sederhana banyak orang—memiliki rumah, keluarga, dan menikmati kebersamaan dalam kesederhanaan. Lirik ini menyadarkan penulis bahwa kita sering terjebak dalam angan-angan besar, berharap kebahagiaan datang dari pencapaian yang monumental.
Padahal, kebahagiaan sejati sering kali tersembunyi dalam hal-hal simple. Kesederhanaan adalah sesuatu sering kita lupakan. Lebih-lebih di era media sosial, dimana kita dengan mudah tergoda untuk membandingkan hidup kita dengan pencapaian orang lain.
Media sosial memperburuk fenomena ’perbandingan diri’ yang tidak sehat. Berbagai unggahan di platform seperti Instagram, TikTok, atau Facebook menampilkan potongan-potongan kehidupan orang lain yang ’tampak sempurna’, liburan mewah, makan-makan cantik, mobil baru, pencapaian karir yang gemilang, bahkan kehidupan keluarga yang selalu tampak harmonis.
Tanpa kita sadari, kita membandingkan pencapaian kita dengan apa yang dilihat di dunia maya, seolah-olah kehidupan kita tidak ada apa-apanya. Hal ini membuat kita merasa insecure, kurang, atau bahkan gagal. Padahal, apa yang kita lihat hanyalah sisi terbaik dari hidup seseorang yang sengaja ditampilkan di ruang publik, bukan gambaran utuh yang mencakup kesulitan dan tantangan yang mereka hadapi.
Konsep Bahagia Rasulullah
Rasulullah Muhammad SAW memberikan kita pandangan yang sangat sederhana dan mendalam tentang konsep kebahagiaan dalam haditsnya:
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga, dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam hal-hal terdekat dalam kehidupan kita. Dimana ada faktor yang kelihatannya mendasar namun penting dan sering kita lupakan: keamanan, kesehatan, dan makanan untuk hari itu.
Kita tidak perlu menunggu kekayaan melimpah, kesuksesan karir, atau pencapaian besar lainnya untuk merasa bahagia. Sekadar memiliki ketenangan di rumah, kesehatan yang baik, dan makanan yang cukup sudah menjadi bentuk anugerah yang luar biasa dari Allah SWT yang wajib disyukuri.
Jika kita telah diberikan anugerah tempat tinggal yang nyaman, pasangan hidup, anak-anak, dan kehangatan dalam keluarga, seperti yang digambarkan dalam lirik lagu di atas, kita seakan-akan telah memiliki dunia dalam kehidupan kita.
Kenyataannya, di era peradaban kamera dewasa ini, kita seringkali lupa untuk bersyukur atas nikmat-nikmat mendasar tersebut. Fenomena kehidupan para warganet yang diumbar di media sosial, menjadikan kita agak sulit untuk bersyukur.
Hidup bukan perlombaan atas lebih besar kekayaan dan lebih moncer prestasi kita. Hakikat hidup yang benar adalah tentang merasa cukup dan bersyukur atas apa yang kita miliki. Rasa syukur bisa membantu kita untuk melihat bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari apa yang besar atau mewah, melainkan dari hal-hal kecil yang sering kali terabaikan.
Bersyukur juga memberikan kita ketenangan dalam menghadapi tantangan. Ketika kita berfokus pada hal-hal baik, meskipun kecil, kita akan menemukan kebahagiaan dalam setiap momen hidup.
Seperti yang dikatakan oleh penulis Amerika, David Steindl-Rast, “It is not happiness that makes us grateful. It is gratefulness that makes us happy.” Rasa syukur membantu kita melihat keindahan dalam setiap peristiwa, baik suka maupun duka.
Orang yang bersyukur lebih siap menghadapi kesulitan, karena mereka tidak melihat masalah sebagai akhir dari segalanya, melainkan sebagai bagian dari perjalanan hidup yang penuh makna. Media sosial telah menciptakan ilusi bahagia bahwa hidup orang lain lebih baik, lebih sempurna, dan lebih segalanya. Namun, dengan bersyukur, kita bisa menetralkan efek negatif dari perbandingan yang tidak sehat ini.
Kita dapat fokus pada kehidupan kita sendiri, menghargai setiap nikmat yang Allah berikan, dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Dengan sikap ini, kita tidak hanya siap menyambut kebahagiaan, tetapi juga lebih kuat saat menghadapi kesulitan.
Bersyukur membuat kita menyadari bahwa hidup ini indah. Banyak hal-hal di sekitar kita yang penuh dengan anugerah. Sehingga pandangan kita atas apa yang ada pada diri kita saat ini, jauh lebih bermakna. Pada akhirnya, kebahagiaan tidak perlu dicari dalam sesuatu yang rumit. Kebahagiaan itu ada di sekitar kita: dalam momen sederhana bersama keluarga, tinggal di rumah dalam keadaan yang aman dan nyaman, tubuh diberikan sehat wal afiat, serta rezeki yang cukup untuk hari itu. Dengan bersyukur, kita bisa menemukan kedamaian sejati dan menjalani hidup dengan lebih bijaksana, tanpa terbebani oleh perbandingan yang tak perlu.(*)