spot_img
Monday, February 10, 2025
spot_img

Desa Digital: Mantra Sakti atau Racun Peradaban?

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Gelombang digitalisasi yang melanda Indonesia kini merambah hingga ke pelosok desa. Program yang dikemas dengan branding “Desa Digital” ini memang terdengar menggiurkan, namun benarkah ini menjadi solusi atau justru membawa masalah baru bagi masyarakat desa?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa dari 83.436 desa di Indonesia, baru sekitar 45 persen yang memiliki akses internet stabil. Kesenjangan digital ini menjadi paradoks ketika pemerintah gencar mendorong digitalisasi pedesaan. Di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta misalnya, dari 144 desa yang ada, hanya 67 desa yang memiliki jaringan internet memadai untuk menjalankan sistem administrasi digital.

-Advertisement- Pengumuman

Kasus di Desa Cikedung, Indramayu, menjadi potret nyata bagaimana digitalisasi tanpa kesiapan infrastruktur justru menimbulkan frustrasi. Program pencatatan administrasi digital yang dicanangkan tahun 2022 kerap terkendala karena jaringan internet yang tidak stabil. Akibatnya, perangkat desa harus bolak-balik ke kecamatan hanya untuk mengupload data.

Tantangan tidak berhenti pada infrastruktur. Berdasarkan survei Kementerian Desa PDTT, 60 persen perangkat desa berusia di atas 45 tahun dan 40 persen di antaranya mengaku kesulitan mengoperasikan sistem digital. Di Desa Tanjung Rejo, Malang, implementasi aplikasi Smart Village terpaksa ditunda karena minimnya SDM yang mampu mengoperasikan sistem tersebut.

Digitalisasi juga membawa dampak sosial yang tidak sederhana. Di Desa Cibodas, Bandung Barat, masuknya platform e-commerce telah mengubah pola perdagangan tradisional. Pasar desa yang dulunya menjadi ruang interaksi sosial kini mulai sepi.

Para pedagang kecil gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan platform digital. Ironisnya, meski transaksi digital meningkat, uang yang beredar di desa justru berkurang karena laba dagangan mengalir ke perusahaan teknologi di kota besar.

Fenomena brain drain juga mengintai. Anak-anak muda desa yang sudah melek digital lebih memilih mencari peruntungan di kota atau bekerja secara remote untuk perusahaan luar. Data BPS mencatat, tingkat urbanisasi di desa-desa yang terdigitalisasi meningkat 15 persen dalam dua tahun terakhir. Desa kehilangan SDM potensial yang seharusnya bisa memban4gun desanya sendiri.

Di sisi lain, ada cerita sukses yang patut diapresiasi. Desa Panggungharjo di Bantul berhasil mengintegrasikan digitalisasi dengan kearifan lokal. Mereka mengembangkan aplikasi “Pasar Desa Digital” yang memungkinkan warga menjual produk lokalnya tanpa meninggalkan sistem gotong royong. Transaksi tetap dilakukan secara digital, namun keuntungan berputar di dalam desa melalui sistem bagi hasil komunal.

Desa Kutuh di Bali juga membuktikan bahwa digitalisasi bisa berjalan selaras dengan tradisi. Mereka mengembangkan sistem tiketing digital untuk objek wisata yang dikelola desa adat. Hasilnya, pendapatan desa meningkat 300 persen dalam setahun, dengan pembagian hasil yang tetap mengikuti aturan adat.

Namun, kisah sukses ini lebih merupakan pengecualian ketimbang aturan. Dari 74.953 BUMDes yang ada, menurut data Kementerian Desa PDTT, hanya 12 persen yang berhasil mengadopsi sistem digital secara efektif. Sisanya masih berjuang dengan berbagai kendala teknis dan sosial.

Aspek keamanan data juga menjadi persoalan yang tidak kalah penting. Menurut laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sepanjang tahun 2023 tercatat lebih dari 1.000 kasus kebocoran data di tingkat desa. Mayoritas kasus terjadi akibat minimnya pemahaman aparatur desa tentang keamanan siber. Hal ini menunjukkan bahwa digitalisasi tanpa diimbangi literasi digital yang memadai justru bisa membahayakan privasi warga desa.

Digitalisasi desa memang tidak bisa dihindari, tetapi perlu pendekatan yang lebih hati-hati dan kontekstual. Kita perlu menyadari bahwa desa bukan sekadar unit administrasi yang bisa didigitalisasi begitu saja. Ada nilai-nilai sosial, kearifan lokal, dan sistem ekonomi tradisional yang perlu dijaga.

          Sebelum menggencarkan digitalisasi, pemerintah perlu memastikan tiga hal fundamental: infrastruktur yang memadai, SDM yang siap, dan sistem yang melindungi ekonomi lokal. Tanpa ini, digitalisasi desa hanya akan menjadi proyek gagal yang meninggalkan puing-puing kesenjangan digital.

Yang kita butuhkan adalah digitalisasi yang berangkat dari kebutuhan desa, bukan sekadar mengikuti tren atau mengejar target statistik. Desa perlu dilibatkan dalam menentukan bentuk dan kecepatan transformasi digital yang sesuai dengan kapasitas dan karakteristik lokalnya. Tanpa pendekatan yang bijak, kita berisiko menciptakan kolonialisme digital yang justru semakin memiskinkan desa.

          Sejak dulu, desa seakan tak pernah lepas dari lingkaran nasib sebagai objek eksperimen kebijakan. Dari masa ke masa, program-program pembangunan datang silih berganti bagai hujan di musim penghujan – deras mengguyur namun cepat surut tanpa bekas. UU Desa No. 6/2014 memang hadir bagai secercah harapan, menjanjikan desa sebagai poros pembangunan dengan segala keistimewaannya. Namun satu dekade berlalu, dan kita masih melihat desa diperlakukan sebagai mangkuk penampung program-program yang turun dari atas.

Kini, di tengah gegap gempita revolusi digital, kita harus berhenti sejenak dan merenung. Jangan sampai digitalisasi desa hanya menjadi mata air hitam yang mengucurkan anggaran tanpa makna. Setiap rupiah yang digelontorkan untuk transformasi digital hendaknya tidak sekadar menciptakan “desa pintar” di atas kertas, tapi benar-benar memberdayakan denyut kehidupan desa.

Sebab sejatinya, desa bukanlah sekadar titik di peta digital, melainkan simpul-simpul kehidupan yang menyimpan kearifan dan kebijaksanaan lokal yang telah mengakar berabad-abad lamanya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img