Ubur-ubur, ikan lele
Jadi viral, jadi meme
Gue rapper, tapi kere
Kalah tenar sama lele
(Ecko Show)
Petikan lirik pantun di atas pastinya sudah akrab di telinga para netizen. Menurut laman volix.co.id, Ubur-ubur ikan lele berasal dari sebuah lagu karya seorang rapper Ecko Show, yang dirilis pada 16 September 2018. Lagu ini membawa nuansa hip-hop dengan lirik yang ikonik.
Akhir-akhir ini, istilah Ubur Ubur Ikan Lele kembali populer usai viral digunakan banyak pengguna Media Sosial Tiktok. Banyak pengguna di media sosial yang memakai istilah “Ubur-ubur ikan lele” untuk dijadikan konten, baik dalam format video maupun teks. Hal ini pun diikuti oleh para netizen lainnya. Banyak yang menggunakan kalimat Ubur-ubur Ikan Lele sebagai pembuka pantun, meskipun isinya tak selalu nyambung dengan rima tersebut.
Uniknya, para netizen juga memodifikasi istilah yang sedang tren ini menjadi remix DJ dari potongan lirik “Ubur-ubur Ikan Lele.” Musik tersebut kerap digunakan dalam konten vide, hingga video pantun dadakan yang jenaka. Dalam pantunnya, para netizen hanya menambahkan ‘Le’ di belakang kalimatnya. Seperti pada kalimat “Ubur-ubur Ikan Lele, menyala Le”, atau “Ubur-ubur Ikan Lele, keren banget Le.”
Modifikasi pantun ini banyak digunakan netizen dan masih menjadi tren di media sosial hingga saat ini. Selain itu, banyak juga yang mengunggah konten menggunakan irama “Ubur-ubur Ikan Lele.” Bahkan, sejumlah artis bahkan tokoh politik pun turut meramaikan tren Ubur-ubur Ikan Lele yang jenaka ini.
Dalam tata bahasa, lirik Ubur-ubur Ikan Lele merupakan bagian sampiran dan isi pantun. Pantun adalah salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal di Nusantara. Kata “Pantun” berasal dari kata patuntun dalam Bahasa Minangkabau yang memiliki arti “penuntun.” Pantun memiliki nama lain dalam bahasa-bahasa daerah, dalam bahasa Jawa, pantun dikenal dengan parikan (id.wikipedia.org).
Pantun umumnya terdiri dari empat baris, dengan pola a-b-a-b. Pantun juga sering digunakan dalam upacara adat dan upacara pernikahan. Pantun memiliki struktur yang terdiri atas sampiran atau pengantar dan isi. Sampiran atau pengantar berfungsi menyiapkan rima dan irama yang dapat membantu pendengar memahami isi pantun.
Pada umumnya sampiran tidak memiliki hubungan dengan isi, tetapi terkadang sampiran dapat memberi pengantar terhadap isi pantun. Isi merupakan bagian inti pantun yang berisi maksud atau pikiran yang akan disampaikan si pembuat pantun. Contoh penggunaan ubur-ubur ikan lele.
Sebenarnya tak ada aturan pasti penggunaan istilah ubur-ubur ikan lele untuk membuat pantun di media sosial. Sebagai sebuah sampiran atau pembuka, istilah ubur-ubur ikan lele bisa dipakai untuk membuka isi yang memiliki rima berakhiran sama, yakni berima “e.” Pengguna bisa membuat isi pantun secara bebas, bisa berkaitan dengan pembukanya atau dapat pula tidak berhubungan sama sekali. Yang terpenting, isi harus berima sama dengan istilah pembuka “Ubur-ubur ikan lele.”
Fenomena inilah yang disebut dengan deviasi. Deviasi (penyimpangan) kata dan perubahan makna pada penggunaan (KBBI online). Adanya deviasi bahasa seperti ini bukan menunjukkan kemerosotan pemahaman masyarakat tentang bahasa, namun juga menunjukkan bahwa bahasa terus berkembang.
Dalam teori bahasa banyak cabang ilmu dapat digunakan dalam menganalisis persoalan bahasa dan kesalahan-kesalahannya. Morfologi adalah ilmu cabang tatabahasa yang membicarakan hubungan gramatikal antara bagian-bagian intern kata, dan yang membicarakan morfem serta bagaimana morfem itu dibentuk menjadi kata (Badudu, 1983). Oleh karena itu, perlu juga adanya pemahaman tentang preskripsi (aturan; ketentuan) dalam penulisan pantun agar tidak terjebak dalam komunikasi yang kehilangan makna akibat terlalu banyak menggunakan lirik pantun tanpa pemahaman yang jelas.
Menurut Nilawanti (2024) ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, seperti adanya perubahan gaya hidup. Seiring dengan kemajuan teknologi dan gaya hidup yang modern, minat masyarakat terhadap kegiatan tradisional seperti membaca dan menulis pantun telah menurun.
Selain itu juga terjadi pergeseran nilai-nilai budaya, dan kurangnya pemahaman tentang nilai budaya dalam pantun. Generasi muda lebih tertarik pada hal-hal yang dianggap lebih relevan dan viral yang sedang tren di media sosial. Juga, kurangnya pemahaman masyarakat tentang pantun, sehingga aturan penulisan pantun yang benar menjadi terabaikan.
Dengan maraknya fenomena deviasi kata, harus diimbangi dengan upaya menjaga dan mengembangkan pantun, yang merupakan warisan budaya dan kekayaan sastra Indonesia. Kata-kata baru yang muncul dari interaksi di dunia maya dan bisa menyebar dengan cepat. Di satu sisi, ini mencerminkan kreativitas berbahasa. Sisi lain, kita juga perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam komunikasi yang kehilangan makna akibat terlalu banyak menggunakan kata atau kalimat tanpa pemahaman yang jelas. Oleh karena itu, kita bisa tetap mengikuti lajur era digitalisasi dengan tetap memperkaya kehidupan budaya kita dengan nilai-nilai yang bermakna dan inspiratif.(*)