Kisah Perjuangan Kasnam Rahardjo, Kurir Senjata Kala Agresi Militer Belanda (1)
Banyak cerita heroik pejuang Tanah Air saat serangan umum di Mendalan Malang Barat. Di balik kesuksesan memukul mundur pasukan Belanda oleh Kompi Macan Putih di bawah Komando Soemadi, ternyata juga ada sosok penting dalam perjuangan tersebut. Dia adalah HM Kasnam Rahardjo.
MALANG POSCO MEDIA– Pertempuran hebat perebutan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Dusun Mendalan Desa Pondok Agung Kecamatan Kassembon Kabupaten Malang sempat menyusahkan para pejuang kemerdekaan saat itu. Kasnam, pemuda kelahiram Kediri, yang juga sempat tergabung dalam tentara Pembela Tanah Air (PETA) salah satu saksi sekaligus pelaku sejarah.
“Kompi Macan Putih di bawah pimpinan Kapten Soemadi saat itu menarik bala bantuan. Ayah saya yang berjuang di kawasan Kediri, Jombang sampai Ngawi, akhirnya ikut tiba di Malang atas tugas tersebut,” cerita Drs Ec Surya Budhi Rahardjo, putra kelima Kasnam.
Sebelumnya kampung halaman Kasnam di Kediri, sempat menjadi sasaran penyerangan Belanda. Ia berhasil selamat, sampai pada akhirnya ikut bergabung dengan Kompi Soemadi sebagai pembawa sekaligus pengirim senjata.
“Sejak di Kediri itu, ayah saya perannya membawa senjata. Saat perpindahan penjajahan Belanda ke Jepang tahun 1942, pernah nyaris jadi sasaran operasi. Namun karena ayah saya bisa berbahasa Belanda, akhirnya selamat dan berhasil kabur,” ujarnya.
Kemampuan Kasnam dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris dan Belanda, ternyata didapatkan secara otodidak. Ia memang senang berkomunikasi hingga memahami banyak kosakata bahasa dari bangsa Belanda, saat itu.
Saat masih tergabung di PETA, ia kerap menjadi ‘kurir’ senjata para tentara pejuang. Berbalut karung, baik granat, bom hingga senjata laras pendek, ia sembunyikan di bawah tumpukan pisan dan ubi.
“Jadi dulu kan pribumi ini banyak yang membawa sepeda angin (onthel), dengan keranjang di sampingnya. Dan Ayah saya tugasnya mengantarkan alat perang itu. Disimpan dalam karung, dan ditumpuk hasil alam seperti pisang atau umbi. Pernah hampir ketahuan penjajah saat di Semampir Kediri. Kemudian lompat ke sungai sambil mengamankan dua karung senjata. Dihujani peluru tembakan, namun berhasil selamat,” lanjutnya.
Keberanian dan keahlian Kasnam, mengantarkannya bertemu Kompi Macan Putih di Ngoro Pujon, sekitar tahun 1949. Saat itu, ia masih berpangkat Kopral. Degan gagah berani, dia bersama anggota seksi (setengah peleton), bergerilya saat malam hari.
Memanfaatkan kelengahan pasukan penjajah, banyak titik persembunyian hingga gudang-gudang yang akan dan sudah dikuasa penjajah diledakkan. Ia berhasil melemahkan kekuatan tempur pasukan penjajah saat itu.
“Ayah saya sempat bercerita, bahwa saat itu memiliki Komandan (Soemadi) yang cukup jitu. Ia pandai dalam mengerahkan pasukan, hingga membuat perhitungan matang untuk strategi pertempuran. Dan meskipun sempat diserang, namun akhirnya berhasil menang dan memukul mundur,” ujarnya.
Peran sentral Kasnam bersama dengan prajurit gerilya lainnya, terus dipedomani Surya sampai saat ini. Melalui keaktifannya mengikuti organisasi, membangun semangat nasionalisme dan perjuangan di era saat ini.
“Kami melalui Forum Keluarga Besar PETA Malang, memberikan sarasehan dan materi tentang wawasan kebangsaan. Karena orang tua kami dulu menitipkan, agar kemerdakaan hasil perjuangan ini harus diisi dengan baik. Tidak saling berebut dan jangan bertengkar sendiri,” lanjut Surya Budhi.
Melalui organisasi ini, ia ikut mengamalkan semangat perjuangan sang ayah di era modern. Banyaknya degradasi moral, etika hingga kualitas SDM, menjadikannya semakin peduli, bersama dengan para anak-anak pejuang lainnya. “Banyak anak pejuang yang tidak lagi peduli. Mereka terbutakan jabatan, politik hingga hal-hal materialistik belaka. Kami berusaha untuk mengamalkan semangat juang orangtua kami, dengan menebar kebermanfaatan terus,” sebutnya. (rex/van/bersambung)