Oleh: Yunaz Karaman
Warga Junrejo Kota Batu
Indonesia menerapkan politik bebas aktifnya dalam kebijakan luar negerinya. Menurut M. Sabir (1987) dalam bukunya yang berjudul Politik Bebas Aktif mengatakan politik bebas aktif mengacu pada pendekatan diplomasi yang mendorong negara untuk menjaga kedaulatan, kebebasan, dan kepentingan nasionalnya dengan tetap menjalin kerja sama dan kemitraan dengan berbagai negara, tanpa mengambil sikap yang ekstrem atau mengikuti salah satu blok kekuatan.
Dari awal Indonesia merdeka, menurut Guntur Soekarnoputra, lawatan Presiden Sukarno tercatat hingga setidaknya 60 negara yang telah dikunjungi Presiden Sukarno, baik kunjungan resmi maupun tidak resmi. Dalam catatan dan sumber foto yang banyak kita jumpai, Presiden Sukarno terlihat sangat dekat dengan pemimpin dunia lainnya. Terdapat hal menarik dalam lawatan Presiden Sukarno saat Indonesia masih “seumur jagung” yakni dengan menggunakan busana semi militer lengkap dengan tanda jasa di bagian dada serta peci hitam khasnya. Hal tersebut menunjukkan bangsa Indonesia telah bangkit menjadi bangsa yang mandiri dan kuat sebanding dengan negara lainnya.
Indonesia telah berkontribusi untuk memperkuat kerja sama global dan mengatasi berbagai masalah kemanusiaan dengan tujuan mencapai perdamaian dan keadilan. Keterlibatan Indonesia dalam organisasi internasional menunjukkan komitmen negara ini dalam memperjuangkan perdamaian yang berkelanjutan dan stabilitas global di abad 21.
Perjalanan dinamika diplomasi Indonesia hingga kini patut dibanggakan. Di tahun 2021 saja tercatat Indonesia telah menjadi anggota sejumlah lebih dari 200 organisasi internasional antarpemerintah yang diampu oleh 49 Kementerian/Lembaga selaku Instansi Penjuru.
Keputusan yang patut dibanggakan dengan gagahnya Presiden Prabowo Subianto beserta para jajaran terkait hingga awal 2025 ini telah melakukan kunjungan luar negerinya. Dimulai awal November ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menemui Presiden Xi Jinping, Washington DC memenuhi undangan Presiden Amerika Serikat, Peru untuk menghadiri KTT APEC, Brasil untuk menghadiri KTT G20, Abu Dhabi bertemu dengan Presiden Persatuan Emirat Arab, Inggris untuk menemui Raja Charles III dan Perdana Menteri, serta terakhir melakukan kunjungan ke Mesir untuk KTT D-8.
Lawatan Presiden Prabowo ini tidak hanya menjadi agenda rutin kenegaraan namun juga menjadi bukti konkret peran Indonesia di dunia internasional. Terlebih berkunjung kedua negara adidaya yang semakin memperlihatkan bahwa Indonesia semakin diperhitungkan dalam percaturan internasional. Ini sesuai dengan apa yang Presiden Prabowo Subianto cita-citakan dalam bukunya Membangun Kembali Indonesia Raya Strategi Besar Transformasi Bangsa.
Secara keseluruhan, kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke luar negeri ini membawa dampak positif bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Indonesia. Melalui penguatan hubungan diplomatik, peningkatan investasi, serta komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, lawatan ini menunjukkan upaya Indonesia untuk menjadi negara yang lebih utuh dan berdaya saing tinggi di kancah internasional. Presiden Prabowo tidak hanya memperjuangkan kepentingan ekonomi nasional, tetapi juga menunjukkan peran Indonesia sebagai pemimpin regional yang berkomitmen terhadap kolaborasi global.
Pada awal pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto selalu menggunakan peci hitam. Bahkan, dalam pertemuan informal seperti obrolan santai dengan sejumlah pemimpin negara, Prabowo tetap mengenakan peci hitam. Begitupun dengan jajaran delegasi Indonesia lainnya menggunakan peci hitam sebagai identitas nasional.
Dengan menggunakan peci hitam tersebut Presiden Prabowo menekankan kesetaraan dan kemandirian bangsa Indonesia. Kesetaraan tersebut telah melekat pada para tokoh pejuang. Seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim, Tjipto Mangunkusumo, Hamka, Natsir dan lainnya.
Songkok hitam mulai jamak digunakan sebagai simbol perlawanan, tidak hanya bagi bangsa Indonesia yang beragama muslim. Termasuk saat Sukarno membacakan pledoi “Indonesia Menggugat” di Pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930. Saat itu peci menjadi simbol visi besar Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bebas.
Kini, Presiden Prabowo Subianto kembali menggunakan strategi diplomasi dengan mengenakan peci hitam ini. Presiden Prabowo ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia tetap teguh memegang nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendiri bangsa dimanapun kita berada.
Peci hitam yang digunakan Presiden Prabowo Subianto bukan hanya aksesoris penutup kepala semata. Namun merupakan pesan diplomasi yang sangat kuat. Menjadi simbol yang melekat kuat pada Presiden Prabowo, menjadi cara Indonesia menegaskan identitasnya sebagai negara, memiliki sejarah kuat dan tradisi kebangsaan.
Di tengah hubungan internasional yang penuh tantangan, Presiden Prabowo dengan cermat memanfaatkan simbol ini untuk mengingatkan dunia bahwa Indonesia tetap menghormati sejarahnya. Berkomitmen untuk berdiri sebagai negara yang bebas dan merdeka. Sehingga keberadaan peci hitam bukan sekadar aksesori, melainkan sekaligus pernyataan politik yang kuat.
Selain itu beliau memiliki pesan untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai bangsa yang kaya tradisi namun tetap kompetitif di kancah global. Dengan mempertahankan simbol tersebut, Presiden Prabowo Subianto tidak hanya menghormati warisan pemimpin terdahulu, tetapi juga menyampaikan pesan bahwa nilai-nilai kebangsaan tetap memiliki tempat penting dalam dunia modern.
Pesan yang tersirat dari simbol peci hitam ini Presiden Prabowo Subianto tidak hanya menyampaikan bahwa bangsa Indonesia akan terus maju. Melihat masa depan dengan optimisme yang kuat dengan dinamika politik dan sosialnya. Namun hal itu juga didasari upaya untuk terus menjaga kemerdekaan untuk melanjutkan perjuangan pahlawan bangsa.(*)
KUTIPAN//
‘’Songkok hitam mulai jamak digunakan sebagai simbol perlawanan, Termasuk saat Sukarno membacakan pledoi “Indonesia Menggugat” di Pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930. Saat itu peci menjadi simbol visi besar Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bebas.’’