Wednesday, September 3, 2025
spot_img

Dirikan Omah Jiwo,  Koleksi Ratusan Keris

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Cara Sudarno Hadipuro Lestarikan Kebudayaan di Kota Batu

Budaya adalah jati diri bangsa. Namun saat ini hanya sedikit orang yang getol melestarikannya. Raden Tumenggung Sudarno Hadipuro, warga Kelurahan Sisir  Kec/Kota Batu salah satunya. Menariknya Sudarno keturunan  Tionghoa  menyulap rumahnya  menjadi rumah budaya.

MALANG POSCO MEDIA – Rumah budaya itu namanya Sanggar Omah Jiwo. Dalam ruangan rumah nampak seperangkat alat gamelan. Juga koleksi tosan aji atau senjata pusaka tradisional Indonesia.

Sanggar Omah Jiwo diresmikan pada tahun 2018. Yang spesial sanggar sederhana tersebut diresmikan oleh seniman sekaligus budayawan nasional, Sujiwo Tejo.

“Dulunya sanggar ini adalah rumah. Saat itu belum terpikirkan kalau rumah ini akan menjadi sanggar. Ceritanya panjang, ketika di tahun 2016 saya berkenalan dengan Mbah Tejo  (Sujiwo Tejo) di Kampus UB,” ujar Sudarno kepada Malang Posco Media mengawali cerita.

Setelah kenal dengan Sujiwo Tejo, ia mulai banyak berbagi cerita. Dimana saat itu Presiden Jancukers ini ingin di Kota Batu ada tempat untuk jagongan.

“Tapi bukan sembarang tempat jagongan. Melainkan tempat tersebut berangkatnya harus dari rasa ikhlas. Seperti yang kerap dilakukan beliau dengan berwakaf ilmu dalam berkesenian entah dengan bermain musik, menulis buku hingga mendalang,” kenang bapak dua anak ini.

Dari keinginan tersebut, kemudian ia mencarikan beberapa tempat. Tapi sayangnya tempat-tempat tersebut disewakan/ bersifat komersil.

“Di situlah kemudian saya tawarkan rumah ini sebagai tempat untuk Jagongan Jancukers, sekaligus digunakan sebagai rumah budaya,” katanya.

Setelah pada tahun 2018 diresmikan oleh Sujiwo Tejo, sanggar Omah Jiwo aktif digunakan untuk tempat Jagongan Jancukers. Selain itu sebagai ruang diskusi GUSDURian, hingga tempat untuk belajar seni karawitan dari sekolah-sekolah di Kota Batu.

Selain menyediakan ruang bagi pelaku seni budaya, Sudarno juga memiliki banyak koleksi tosan aji atau benda pusaka. Total ada sekitar 100 tosan aji yang ia miliki. Mulai dari keris, tombak, badik, hingga pedang yang disimpannya rapi dalam sebuah almari kaca.

Laki-laki berusia 47 tahun ini  menceritakan, bahwa dirinya mulai menjadi pelestari tosan aji sejak tahun 2006. Ketika dirinya ikut ayah angkatnya KRHT Sukoyo Hadinagoro yang juga dikenal sebagai Dewan Pakar Keris Nasional.

“Ketertarikan saya mengoleksi tosan aji ketika tahun 1998 mulai ikut ayah angkat yang juga seorang pembuat keris. Tapi saat itu tak serta merta langsung boleh oleh ayah karena harus ada proses yang harus dijalani,” ungkap Sudarno.

Saat itulah, ia mengikuti saran ayah angkatnya tersebut. Sehingga dengan berbagai proses yang dijalani, proses tersebut meliputi belajar budaya dan filosofi Jawa.

Hingga pada akhirnya, setelah delapan tahun belajar budaya Jawa, ia   mulai diperbolehkan mengoleksi tosan aji. Tepatnya sejak tahun 2006.

“Saat itulah saya mulai koleksi tosan aji. Pertama yang saya koleksi adalah keris. Seiring berjalannya waktu, saya juga mulai mengoleksi tombak, pedang dan badik. Jadi ditotal jumlahnya ada sekitar 100 pusaka ” beber suami dari Yoenita, S.Farm, Apt. pemilik Apotek Batu Sehat di Jalan  Brantas Kota Batu  ini.

Dari semua koleksi tosan aji yang dimilikinya, untuk keris ada keris sepuh dan kamardikan. Untuk diketahui keris sepuh adalah keris peninggalan zaman kerajaan. Sedangkan keris kamardikan adalah keris yang dibuat setelah Indonesia merdeka.

Sudarno mengungkapkan banyak dari koleksinya adalah keris sepuh hampir 80 persen. Terdiri dari keris Jawa mulai zaman kerajaan Padjajaran, Kediri, Singosari, hingga Majapahit. Paling tua adalah keris Kebo Lajer dari Kerajaan Kediri dengan usia kurang lebih sejak abad ke 12.

Menurutnya dari tiap daerah, keris yang dibuat memiliki perbedaan dhapur atau bentuk bilah. Misalnya untuk keris dari Jawa lebih kecil dibandingkan keris dari Bali yang memiliki ukuran lebih panjang dan besar.

Saat ditanya berapa harga yang ia dapat untuk sebuah keris. Sudarno enggan mengungkapkannya, pasalnya ia lebih fokus pada edukasi dan pelestarian tosan aji.

Pria  yang bisa disebut kolektor tosan aji, ternyata juga menjadi orang yang ikut mendirikan Paguyuban Tosan Aji Sangga Braja Kota Batu. Tak hanya itu, ia juga dipercaya sebagai Ketua Sangga Braja sudah dua periode ini kerap menggelar pameran pusaka di Balaikota Among Tani Batu.

Serta ia juga pernah menjadi pengisi acara dalam seminar nasional bertema Politik dan Sejarah Budaya Indonesia di Universitas Brawijaya dan mempresentasikan keris di Taiwan. Keduanya ia lakukan di tahun 2018.

Menariknya lagi, Sudarno dalam kehidupan sehari-hari juga mengenakan sarung, lurik, dan udheng. Begitu juga ketika bepergian keluar negeri.

Sebagai salah satu warga Kota Batu yang tak kenal lelah melestarikan budaya Jawa, Sudarno  tak memungkiri bila banyak tantangan dalam melestarikan budaya dengan perkembangan teknologi saat ini. 

“Perkembangan teknologi sangat pesat. Tantangan generasi saat ini pola pikir Gen Z yang serba instan. Nah saat ini fokus kita adalah bagaimana menghadirkan kebudayaan tradisional dalam konteks kekinian jadi tantangan besarnya,” ungkapnya.

Lebih lanjut, menurutnya pelestarian budaya  harusnya kontemporer agar budaya dapat diwariskan. Jangan sampai seni budaya yang dianggap Gen Z sebagai hal kuno yang harusnya ditinggalkan.

“Jadi kita harus kenalkan dalam bentuk kekinian. Agar generasi muda kita tertarik, saya menjalin komunikasi yang baik dengan beberapa PTN dan PTS di Malang. Dari situ banyak mahasiswa yang diajak untuk berdiskusi di tempat saya,” terangnya.

Dengan begitu, lanjut dia, kelompok muda akan aktif terlibat pelestarian seni budaya. Mungkin sifatnya bagi mereka bukan panggilan. “Tapi setidaknya mereka akan tahu ada banyak pengetahuan dan kearifan filosofi dalam seni budaya yang diwariskan leluhur kita,” pungkasnya.  (eri/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img