Pegiat Seni Budaya Siswanto Galuh Aji Bertahan di Tengah Perubahan Zaman
Siswanto Galuh Aji mendedikasikan diri untuk pelestarian seni budaya. Warga asal Dusun Ngandat, Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu ini ingin seni dan budaya lokal tetap lestari di tengah perubahan zaman.
========
MALANG POSCO MEDIA– Siswanto Galuh Aji menempuh beragam upaya. Mulai dari mendirikan Sanggar Budaya Sangguran, membangun Replika Prasasti Sangguran hingga revitalisasi punden.
Sanggar yang didirikannya belum cukup lama. Masih berusia 7 tahun sejak 2018 lalu. Namun lama tidaknya sebuah sanggar berdiri bukanlah jadi permasalahan. Tapi bagaimana Siswanto, berupaya mengenalkan kesenian kepada anak-anak muda dan nguri-uri budaya.
Tepat di belakang rumahnya. Nampak sanggar sederhana dibangun sendiri. Ukurannya sekitar 6×7 meter.
Konsepnya terbuka, dengan pondasi bambu pada tiap sudut tiangnya dan anyaman bambu pada atapnya dengan tertutup jerami. Sehingga pandangan mata bisa melihat pemandangan sekitar. Mulai dari rumah-rumah warga yang mulai berjejal dan hamparan lahan pertanian pada sisi sebagian.
Tak hanya itu, di tiap pondasi dari bambu dengan diameter sekitar 10 Cm itu juga terpajang 14 patung berbentuk wajah dari kayu. Katanya patung tersebut adalah karya dari adiknya. Wajah patung itu, diungkapnya adalah representasi dari wajah Mpu Sindok yang merupakan raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur dan memerintah sekitar tahun 929 – 947. Salah satu wilayah pemerintahannya adalah Kota Batu.
Siswanto mulai menceritakan bahwasanya angan-angan ingin mendirikan sanggar sejak tahun 2010. Sanggar yang ia dirikan dulunya hanya sebatas angan-angan. Pasalnya, hampir banyak seniman merasakan, bahwa biaya dan lahan menjadi kendala untuk mendirikan sebuah sanggar.
“Angan-angan buat sanggar mulai tahun 2010. Waktu itu saya pikir hanya berhenti di angan-angan saja. Karena masalah biaya dan lahan. Jadi hanya seperti membangun mimpi,” ujar pria yang akrab disapa Cak Pentol ini.
Lebih lanjut, ia menceritakan, keinginan untuk membangun sanggar karena terobsesi cerita tentang prasasti Sangguran. Yang ia dapat dari diskusi ringan dengan para sejarawan hingga seniman. Baik di Kota Batu maupun Malang Raya.
Cerita singkat diketahui bahwa prasasti tersebut adalah saat ini berada di kediaman Lord Minto di Roxburghshire, Skotlandia. Pada saat itu, tahun 982 Masehi ditemukan di daerah Malang/Batu. Tepatnya (masih bisa diperdebatkan.red) di Dusun Ngandat, Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu.
Dalam prasasti itu menyebut nama penguasa daerah tersebut, yakni Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa) yang kemudian pemerintahannya diteruskan oleh Mpu Sindok. Prasasti berbentuk tablet ini disebut juga Prasasti Minto karena dihadiahkan oleh Raffles kepada Lord Minto, keduanya pernah memimpin Hindia Belanda ketika Britania Raya menguasai Belanda pada dasawarsa kedua abad ke-19. Raffles sendiri memperolehnya sebagai hadiah dari Kolonel Colin Mackenzie, yang mengambilnya setelah melihat batu bertulis ini.
“Nah, selain nguri-uri budaya. Dari latar belakang sejarah Prasasti Sangguran yang dari diskusi itulah saya ingin melakukan hal kecil. Artinya, karena tak mungkin atau sangat sulit mengembalikan prasasti itu ke Indonesia. Akhirnya saya mencari jalan bagaimana Sangguran bisa terangkat dan terdengar,” urai pria kelahiran Batu, 8 Agustus 1970 ini.
Yang pada akhirnya Sanggar Sangguran menjadi pilihan baginya untuk menjadi pemicu dan pemantik agar sejarah dari Sangguran diketahui masyarakat luas.
“Dari sanggar inilah saya ingin mengenalkan agar masyarakat luas mengenal sejarah Sangguran. Khususnya bagi anak-anak muda,” imbuhnya.
Di sisi lain, diakui oleh Cak Pentol bahwa silsilah keluarganya memiliki darah seni. Mulai buyutnya seorang dalang Bulek seorang Sinden. Sehingga masa kecilnya juga tak lepas dari kegiatan berkesenian. Dari hal tersebut ia juga suka dan mendalami tentang budaya Jawa.
Pada akhirnya, dari latar belakang singkat itu, ia menekuni dunia seni. Sebagai pelaku seni. Seorang pengajar tari di Sanggarnya sendiri dengan melatih 20 anak-anak berusia 3-16 tahun. Hingga menjadi seorang dagelan campursari dan menjadi pengisi utama di RRI di saluran budaya hingga saat ini.
Untuk mengajar tari, tentu tak dilakukan dengan gampang seperti membalikkan telapak tangan. Ia banyak belajar dari sang maestro tari Didik Nini Thowok, Ki Soleh Adi Pramono selaku Pengasuh Padepokan Seni Mangun Dharma Tumpang, dan maestro Topeng Malahan Mbah Karimun.
“Belajar ke Didik Nini Thowok saat bertemu di Malang. Saat itu beliau belajar tari Malang Beskalan. Pada waktu itu beliau mendalami sisi tari. Sedang saya belajar spiritual,” kenangnya.
Kembali dalam kegiatannya di Sanggar Sangguran, ia tak hanya mengajar tari bagi anak-anak muda di kampungnya. Tapi juga mengajarkan tata krama, seni dan bahasa Jawa. Tak hanya mengajarkan tari Jawa. Ia juga memberikan porsi bagi anak didiknya berkreasi sendiri melalui tarian modern atau dance. Tujuannya agar anak tak merasa dikekang.
Cak Pentol juga mengakui zaman sekarang sulit mengajak anak untuk kenal dengan seni tradisi. Tetapi ia percaya dengan hukum alam dan hukum Tuhan. Yaitu sesuatu yang di ambil nantinya akan sesuai dengan yang di tanam.
“Jadi kekuatan seniman adalah ketergantungan pada yang kuasa. Jangan cari hidup dari seni. Tapi bagaimana kamu menghidupi seni dan budaya. Seperti orang menanam tak mungkin langsung keluar buah. Tapi harus ada prosesnya untuk mendapat hasil yang diinginkan,” tegasnya.
Di Sanggar Sangguran, ia tak hanya membuka pintu lebar-lebar bagi yang ingin belajar tari. Namun juga membuka ruang diskusi kepada masyarakat umum untuk membahas sejarah hingga menggali tentang keluhuran ajaran yang ada di Serat Centhini.
Tak berhenti dengan membuat sanggar, Cak Pentol kemudian membuat replika prasasti Sangguran. Ia mengerjakan Prasasti Sangguran yang memiliki ukuran dengan tinggi 160 Cm, lebar 122 Cm dan tebal 32,5 Cm tersebut bersama seniman Kota Batu, Sunarto. Replikasi prasasti terbuat dari cor itu juga dibantu oleh beberapa mahasiswa untuk penulisan aksara Jawa.
Tujuan ia membuat prasasti ini untuk mengingatkan pentingnya sejarah. Bahwa di sini pernah ada prasasti Sangguran yang saat ini telah berpindah di pekarangan kediaman eks Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto.
“Sekarang saya aktif berkegiatan atau merevitalisasi Punden (tempat yang dianggap keramat, seringkali berkaitan dengan makam orang yang dianggap sebagai leluhur atau tokoh penting dalam masyarakat.red). Maksudnya saya memanfaatkan area yang ada di Punden untuk kegiatan seni budaya dan merintis program revitalisasi Punden,” ungkapnya.
Bukan tanpa sebab, pemanfaatan Punden sebagai tempat berkegiatan seni budaya agar pandangan negatif bahwa Punden adalah tempat perilaku kesyirikan dan kemusrikan yang sudah terlanjur mendoktrin pikiran banyak orang bisa terkikis. “Dengan begitu saya berharap Punden dapat kembali berfungsi sebagai titik kumpul warga untuk berkegiatan seni budaya,” tandasnya. (eri/van)
-Advertisement-.