.
Thursday, November 14, 2024

Diskusi Pembebasan Lahan di Jalan Ki Ageng Gribig Kapan Tuntas?(2); Pikirkan Social Cost, Ikuti Prosedur dan Transparan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Pembebasan lahan bangunan di Jalan Ki Ageng Gribig Kota Malang bermasalah sejak 2016. Tidak hanya merugikan waktu dan tenaga antara Pemkot Malang dan pemilik lahan saja. Kerugian terbesar dirasakan masyarakat. Karena itulah harus segera diselesaikan.

Jika dihitung rinci, warga yang melintas di kawasan tersebut merugi sangat banyak. Ini yang disebut social cost atau biaya sosial.

Pemerhati Reforma Agraria Kota Malang Ir Bambang Irianto  dalam diskusi rutin Malang Posco Media, Rabu (20/9) lalu membeber biaya sosial terlampau besar. Itu akibat tersendatnya lalu lintas di Jalan Ki Ageng Gribig akibat petak lahan yang belum terbebaskan. Ini perlu jadi bahan pertimbangan sekaligus menjadi dorongan bagi siapapun yang terlibat permasalahan untuk segera menyelesaikannya.

“Sebenarnya ini masalah simple tetapi kok sampai seperti ini? Jika mau dihitung kerugian warga yang lewat di sana, kerugian dari potensi ekonomi yang hilang karena macet. Bensin berapa, putar kejauhan dan segalanya itu bisa miliaran. Inilah kenapa sebenarnya masalah harus cepat diselesaikan,” ungkapnya.

Menurut Bambang, permasalahan pada polemik pembebasan lahan di Jalan Ki Ageng Gribig ini sederhana dicarikan solusinya. Jika status tanah milik atau dimiliki Pemkot Malang sebagai tanah yang dimiliki negara maka proses bisa cepat klir. Kalau tidak diterima pemilik lahan maka konsinyasi dilakukan kemudian eksekusi.

Jika status tanah milik warga, maka pemerintah akan membeli. Dengan tujuan proyek srategis nasional dan untuk kepentingan umum negara berhak membeli. Dilakukan appraisal, juga melibatkan pemilik lahan dalam proses jual beli tersebut karena akan mengganti untung dari lahan. Dengan pertimbangan sesuai prosedur.

 “Kasus ini, nampaknya memang ada area yang milik perorangan. Jadi masuknya aturan ke UU Pengadaan Tanah. Pertanyaannya yang punya lahan mau apa tidak. Kalau mau kan diappraisal. Dengan asas keadilan, pemilik bisa usulkan dia ingin berapa nanti dirata-rata itu boleh saja,” jelas pria yang juga terkenal karena menggagas Kampung Glintung Go Green ini.

Proses setelah dilakukan appraisal maka ditawarkan kembali kepada pemilik lahan. Mau menerima atau tidak. Jika mau serah terima, lahan kemudian dibebaskan. Jika tidak maka akan dilakukan konsinyasi. Begitu sudah konsinyasi diproses, selanjutnya akan dilakukan eksekusi.

Dalam kasus lahan di Jalan Ki Ageng Gribig yang tak kunjung

terselesaikan, Bambang Irianto menduga ada prosedural lain yang tidak sesuai dengan aturan.

 “Intinya ada yang tidak sesuai. Nah itu saya hanya saran bisa diselesaikan dengan keikhalasan dan hilangkan ego masing-masing. Pemkot dan pemilik lahan bisa memikirkan social cost yang diderita warga. Pentingkan kepentingan umum itu penting,” kata Bambang.

Kuasa Hukum Pemilik Lahan Jalan Ki Ageng Gribig, A Wahab Adhinegoro SH MH langsung menanggapi. Ia membenarkan adanya prosedur yang di luar dari apa yang tercatatkan. Pemkot Malang pernah memberikan uang Rp 250 juta kepada pemilik asli lahan alm H Sholeh.

Uang tersebut digunakan sebagai “uang muka” dari total uang ganti untung yang diinginkan kliennya Rp 1,5 miliar. Meski begitu Wahab menjelaskan kliennya menyadari bahwa hal tersebut tidak akan lagi menjadi tuntutan.

“Sudah tak  usah dibahas lagi itu tidak apa-apa. Yang jelas kami sudah mau menerima berapapun yang ditentukan appraisal independen saat itu. Tetapi lalu tim penilainya tidak sesuai yang kami pilih ya jadi seperti ini,” jelas Wahab.

Menurut dia, ahli waris pemilik lahan Jalan Ki Ageng Gribig sudah ingin menyelesaikan permasalahan tersebut. Tetapi hanya ingin kejelasan jawaban dari Pemkot Malang tentang pertanyaan-pertanyaan kliennya yang tidak pernah terjawab sebelumnya.

Seperti mengapa  Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) independen yang dipilih pihaknya tidak digunakan dan tiba-tiba mengundurkan diri. Kemudian permintaan penjelasan status tanah dan lainnya. Hal ini masih ditunggu.

“Kami siap proses konsinyasi jika dipanggil PN. Tapi kami dalam posisi belum menerima dan menolak besaran uang ganti rugi yang Rp 491 juta (hasil appraisal di tahun 2022). Kalau mau konsinyasi kan harusnya kalau terjadi deadlock dulu. Ini kan belum deadlock. Jadi kami menunggu dari Pemkot Malang dan PN saja ini,” kata Wahab. (ica/van/bersambung) 

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img