MALANG POSCO MEDIA – Bentuk kritik keras kaum pribumi saat pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Malang Berjaya sudah terlihat bahkan di jajaran elitnya. Tercatat pada Tahun 1931, salah satu anggota dewan kota pribumi memilih mengundurkan diri.
Ini tertulis dalam Buku Kroniek der Stadsgemeente Malang Over de Jaren 1914-1939, anggota dewan kota pribumi bernama R Soekardjo Wiriopranoto mengundurkan diri pada Tanggal 28 April 1931. Penyebabnya karena beberapa hal. Akan tetapi tercatat ada ketidakseimbangan atau terlalu besarnya dominasi kaum Belanda saat itu memegang seluruh kebijakan pemerintahan Kota Malang. Dimana anggota dewan merasa tidak berdaya.
Dalam catatan buku berbahasa Belanda yang diterbitkan pada 1939 ini, Soekardjo meminta ada penggabungan anggota Alderman dan Volksraad (keduanya lembaga perwakilan rakyat saat itu, red). Sebelumnya diketahui dewan memutuskan pula untuk mengisi beberapa kekosongan jabatan dengan anggota dari anggota Eropa. Mosi tidak percaya pun muncul.
Pegiat Sejarah Kota Malang Dwi Cahyono menjelaskan porsi anggota-anggota pejabat yang masuk ke jajaran pemerintahan Kota Malang di masa awal memang lebih banyak didominasi warga Belanda. “Karena memang saat itu kebijakannya, terutama yang bagian legislatif atau anggota dewan itu banyak orang Belanda. Perwakilannya saat itu lebih banyak untuk mewakili penduduk orang Eropa yang ada di Kota Malang,” tegas Dwi.
Ia menjelaskan pula bahwa di tahun awal pemerintahan Kota Malang, terutama usai Kota Malang diputuskan untuk memiliki Walikota sendiri, jumlah penduduk bangsa Eropa di Kota Malang semakin bertambah jumlahnya.
Meski begitu diakui, masa penjajahan tersebut memang membuat warga pribumi belum memiliki porsi di tubuh pemerintahan yang besar.
“Akan tetapi memang sudah ada nama-nama pribumi yang masuk di jajaran pemerintahan. Buktinya di jajaran dewan kota itu. Semakin lama, semakin kritis dan bertambah jumlahnya. Konflik di dalamnya memang pasti ada terjadi,” jelas Dwi, Penulis Buku “Malang Tempoe Doeloe” ini.
Menurut catatan Buku Kroniek der Stadsgemeente Malang Over de Jaren 1914-1939 masalah di dalam tubuh legislatif saat itu, selain dominasi warga/ anggota Belanda juga disebabkan pengurangan biaya kehadiran pada tiap sesi rapat koordinasi. Dari 5 Gulden ke 3 Gulden.
Ada pula dikarenakan banyaknya badan atau komite-komite yang dihapuskan. Yang arahnya tidak menguntungkan warga pribumi. Bahkan, di sekitar Tahun 1932, dalam rapat dan pembahasan anggaran di tubuh anggota dewan ada usulan yang menginginkan penghapusan lembaga atau institut anggota dewan. Meski begitu suara ini kalah dan lembaga atau jajaran legislatif/ dewan ada seiring berjalannya waktu.
Dwi Cahyono menyampaikan saat itu kedudukan anggota dewan kota memang sangat diperlukan. Khususnya di satu dekade masa awal pemerintahan Kota Malang. “Karena Walikota sendiri baru ditunjuk, dan tidak bisa mengerjakan sendiri apa-apa saja yang dibutuhkan untuk bangun wilayah. Sampai akhirnya dewan kota dibentuk itu yang awalnya jumlahnya 11 saja, dan terus bertambah sepanjang masa,” pungkas Dwi. (ica/lim)