spot_img
Tuesday, February 11, 2025
spot_img

Dongkrak Penjualan Rumah

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dampak Kebijakan Penghapusan BPHTB MBR dan PBG


MALANG POSCO MEDIA– Kebijakan penghapusan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Masyarkat Berpenghasilan Rendah (MBR) membantu penjualan rumah. Pengembang pun diuntungkan.
Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Malang Dony Ganatha mengatakan kebijakan penghapusan BPHTB dan retribusi PBG bisa membantu masyarakat lebih cepat membeli rumah.
Yang juga akan berdampak pada meningkatnya penjualan rumah dan hunian yang ada di wilayah Malang Raya. Karena kelompok masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah mendapat lebih banyak kesempatan karena dimudahkan.
Menurut dia ada dua komponen yang cukup menjadi beban masyarakat saat membeli rumah secara kredit selama ini. Pertama adalah uang muka (DP) dan juga BPHTB.
“Jadi melalui Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), DP rumah hanya dikenakan 1 hingga 5 persen. Kalau dengan kebijakan saat ini ditambah dengan penghapusan PBG masyarakat tidak perlu membayar sebesar 5 persen. Jadi akan lebih murah harga beli rumah,” papar Dony.
Sebelumya jika warga hendak membeli rumah dengan adanya pembayaran retribusi PBG dan BPHTB, harga beli akan bertambah kurang lebih Rp 10-an juta. Atau bahkan bisa lebih.
Dengan kebijakan penghapusan BPHTB dan Retribusi PBG yang menjadi kebijakan saat ini, maka pengurangan yang dirasakan cuukup meringankan masyarakat di kalangan MBR.
Sebelumnya diketahui, Kriteria MBR yang dijelaskan dalam SKB adalah masyarakat dengan penghasilan Rp 7 juta untuk yang belum menikah, dan Rp 8 juta untuk masyarakat yang sudah menikah.
Hal yang sama disampaikan Ketua Real Estate Indonesia (REI) Malang Suwoko. Menurut dia kebijakan penghapusan BPHTB dan Retribusi PBG akan membantu lebih banyak masyarakat memiliki rumah sendiri.
“Dengan dibantu seperti ini yang jelas penjualan rumah kan bisa lebih meningkat. Mereka yang sebelumnya kesulitan bisa mendapat opsi lebih baik untuk membeli rumah. Termasuk di Malang Raya ini,” katanya.
Apersi juga menyambut baik kebijakan pemerintah terkait penghapusan BPHTB. Itu karena tidak merugikan para pengembang. Sebaliknya penghapusan BPHTB lebih menguntungkan pengembang. Karena memudahkan penjualan unit rumah. Sekalipun rumah yang dihapus BPHTB merupakan rumah subsidi.
“Justru yang mengalami kerugian adalah pemerintah daerah. Mengingat BPHTB merupakan salah satu sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kalau kami (Apersi) justru menguntungkan,’’ kata Ketua Bidang Pembinaan dan Pelatihan Anggota DPD Apersi Jatim Evan Djunaedi.
Dia mengelaskan menguntungkan pengembang karena pengembang bisa langsung menawarkan rumah bebas BPHTB.
Evan menyebutkan bahwa BPHTB sejatinya tidak mahal. Untuk rumah subsidi sesuai aturan Kementerian PUPR tahun 2023 yaitu Rp 166 juta, BPHTB yang harus dibayar tidak lebih dari Rp 2,5 juta.
“Tapi sekali lagi, biaya BPHTB itu tidak masuk ke pengembang. Melainkan ke Pemerintah Daerah,’’ ungkapnya.
Sekalipun lebih menguntungkan, namun Evan mengatakan tidak semua pengembang mau menyediakan rumah subsidi. Bahkan di Malang Raya menurut owner PT Vandha Globalindo Grup hanya sekitar ada di 40 lokasi saja. Masing-masing lokasi membangun 100-120 unit.
“Hanya 40 pengembang yang mengusulkan rumah subsidi. Pengembang lainnya memilih membangun atau menyediakan rumah komersil,’’ ungkapnya. Alasan bahwa pengembang tetap memilih rumah komersil salah satu faktornya adalah lahan.
Menurut dia, pengembang menyediakan rumah subsidi di atas lahan dengan harga tidak lebih dari Rp 300 ribu permeter. “Jika harganya lebih dari itu, maka pengembang akan rugi. Dan tanah dengan harga itu pastinya tidak diperoleh di Kota Malang. Tapi di daerah-daerah pinggiran,’’ ungkapnya.
Selain itu, pengembang tidak mengambil pembangunan rumah subsidi lantaran Malang merupakan wilayah yang sejuk, dan menjadi jujugan orang untuk tinggal. Sehingga meskipun rumah komersil, pasarnya masih sangat besar di Malang.
“Survei salah satu media bahwa Malang ini adalah wilayah yang nyaman untuk tinggal. Itu sebabnya, rumah komersil ini pasarnya masih ada. Sehingga teman-teman kami di Apersi ini masih banyak bertahan dengan membangun rumah komersil,’’ katanya.
Sementara itu rumah subsidi sulit terealisasi di Kota Batu. Hal itu ditegaskan oleh Owner PT Alcazar Bangun Nusantara (ABN) yang berlokasi di Kota Batu, Aryo Kusumo.
“Jadi pada intinya kalau untuk perumahan di Kota Batu, khususnya perumahan subsidi sangat berat direalisasikan. Ini karena harga tanah saja sudah cukup tinggi,” ujar Aryo kepada Malang Posco Media.
Ia menjelaskan untuk harga tanah paling murah di Kota Batu per meter Rp 1,1 juta. Sedangkan kalau untuk rumah subsidi pengembang biasanya mendapatkan harga tanah di bawah Rp 1 juta.
“Untuk perumahan subsidi per unit biasanya dijual Rp 180-200 juta. Ini hampir tidak ada di Kota Batu. Sehingga akan sangat berat bila pengembang memasarkan perumahan subsidi di Kota Batu,” bebernya.
Kecuali, lanjut dia, untuk daerah pelosok di Kota Batu seperti Tulungrejo ke atas hingga Sumberbrantas harga tanah masih diangka Rp 800-900 ribu per meter. Akan tetapi sangat tidak mungkin karena di sana masuk area pertanian atau lahan hijau sehingga tidak bisa didirikan perumahan dan izin (PBG) tidak akan keluar.
“Contohnya saja di Kota Batu untuk standar prumahan tipe 36/60 atau rumah memiliki luas bangunan 36 meter persegi dan luas lahan 60 meter persegi biasanya dijual dengan harga diatas Rp 285-300 juta. Sehingga jika tipe 36/60 di Kota Batu dijual dengan harga perumahan subsidi terbilang susah dan agak berat,” ungkapnya.
Karena sudah diketahui bahwa biasanya untuk perumahan subsidi harga tanah di bawah Rp 1 juta per meter. Seperti di daerah Tumpang, Kabupaten Malang yang terdapat banyak perumahan subsidi dengan harga tanah yang hanya Rp 700-800 ribu per meternya. (ica/ira/eri/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img