MALANG POSCO MEDIA, KOTA BATU- Anggota Komisi A DPRD Kota Batu, Ludi Tanarto mendorong agar hotel dan restoran atau PHRI Kota Batu bisa menyerap hasil produksi telur ayam para peternak ayam petelur di Kota Batu. Hal tersebut diusulkan agar ada pemberdayaan pada peternak ayam petelur di Kota Batu.
“Ada banyak peternak ayam petelur di Kota Batu. Namun sayang pasar yang dilayani lebih banyak adalah pasar luar daerah. Sehingga keuntungan yang didapat peternak lokal sangat minim karena harus terpangkas biasa operasional,” ujar Ludi kepada Malang Posco Media, kemarin.
Lebih lanjut, Ketua Fraksi PKS Kota Batu ini mengatakan jika kualitas telur para peternak di Batu tergolong bagus dan mampu memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan restoran dan hotel. Sehingga hal ini harus bisa wadahi oleh OPD terkait untuk bisa mempertemukan peternak ayam petelur di Kota Batu dengan PHRI Kota Batu.
“Sampai saat ini belum kerja sama antara produsen lokal dengan industri hotel dan restoran. Ini sangat disayangkan sekali. Oleh karena itu OPD terkait dalam hal ini Diskoperindag bisa mengambil peran untuk mempertemukan kedua belah pihak,” bebernya.
Ketika produksi telur dari peternak lokal bisa diserap oleh PHRI Kota Batu, maka akan bisa menjadi solusi terhadap pengeluaran transpor yang lebih besar karena pengiriman ke luar kota. Serta sebagai bentuk upaya pemberdayaan peternak lokal.
Selain minim serapan di dalam daerah sendiri, permasalahan peternak ayam petelur dikarenakan harga telur ayam di pasaran sering kali mengalami naik turun atau tidak stabil. Bahkan saat harga turun bisa mencapai separuh dari harga normal. Hal itu sering kali membuat gelisah Kelompok Peternak Ayam Petelur Kota Batu.
Sebagai Penasihat Kelompok Peternak Ayam Petelur Kota Batu, Ludi Tanarto mengungkapkan kegelisahan para peternak ayam petelur di Kota Batu terkait hal tersebut. Ludi menilai bahwa Pemda tidak tegas dalam menertibkan potensi adanya telur infertil sebagai telur konsumsi. Selain merugikan peternak kecil, telur infertil sangat berbahaya jika dikonsumsi.
Padahal lanjut Ludi, menjual telur infertil telah diatur dalam Permentan Nomor 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi. Pasal 13 menjelaskan, pelaku usaha integrasi, pembibit GPS, pembibit PS, pelaku usaha mandiri dan koperasi dilarang memperjualbelikan telur tertunas dan infertil sebagai telur konsumsi.
“Sebenarnya sudah ada aturan bahwa perusahaan besar sebagai integrator dilarang menjual telur infertil. Perusahaan punya pembibitan ayam yang kemudian ditetaskan untuk dijual ke peternak. Namun pada kondisi tertentu, perusahaan ini tidak menjual anak ayam tersebut. Tapi telur yang telah ditetaskan dijual ke pasar secara bebas,” tuturnya.
Ia menerangkan dijualnya telur yang seharusnya di tetaskan tersebut karena tidak adanya pesanan anak ayam dari peternak. Sehingga membuat perusahaan melempar telur infertil dengan harga murah ke pasar, dan membuat peternak ayam petelur mengalami kerugian karena stok telur di pasar melimpah.
“Ini perlu ketegasan Pemda. Dalam hal ini Diskumdag dan Satpol PP Kota Batu harus sering turun untuk melihat harga telur di pasar. Serta memastikan agar tidak ada telur infertil yang dijual. Kalau perlu Satpol sebagai penegak Perda harus tegas dan berani menertibkan dengan menyita telur infertil yang dijual,” tegas warga Desa Junrejo ini.
Diungkapnya untuk saat ini, harga telur di pasar masih normal, Rp 26-28 ribu per Kg. Namun jika ada telur infertil yang beredar harga telur bisa turun sampai Rp 14 ribu per Kg. Sehingga dengan turunnya harga yang sangat drastis tersebut membuat peternak ayam petelur skala kecil mengalami kerugian per hari mencapai Rp 2,5 juta. (eri/udi)