MALANG POSCO MEDIA, MALANG-Harum jeruk manis Java Baby beriringan udara sejuk pedesaan di Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Warga desa sebagai penjaga hutan lereng Gunung Kawi itu sayangnya tak semua menempati wilayahnya dengan tenang. Sebagian warga masih menanti kejelasan terhadap ruang hidup mereka baik tenpat menetap maupun pengelolaan lahan untuk perkebunan. Dusun Gumuk salah satunya.
Kendati menghuni ratusan tahun, kolektif warga yang dikenal kampung budaya itu mendiami sebagian lahan Perhutani. Termasuk, hutan yang mereka jaga dan kelola untuk perkebunan dan pertanian. Warga desa yang terletak di ketinggian 800-1.200 Mdpl itu sejak lama bercocok-tanam dengan memanfaatkan lahan di antara tegakan (pohon penyangga hutan).
Hal itu tak lain karena alasan pelestarian. Warga sadar betul pentingnya hutan dan sumber daya air akan terjaga, jika hutan sendiri tak mengalami kerusakan. Sembari berharap penuh pada program Tanah Objek Reforma Agraria (Tora) dan Perhutanan Sosial yang kini tengah diperjuangkan warga dan pemerintah desa setempat.
Kekhawatiran itu masih menyelimuti warga seperti Rahmat (56), yang tinggal di Dusun Gumuk. Kediamannya di ujung perkampungan yang berpenghuni sekitar 42 KK itu, di antara kebun jeruk dan hutan.
Di teras rumahnya, Jari jemari Rahmat tengah mengupasi biji jagung dari tongkolnya, Selasa (27/12/2022). Dua ekor Anjing sejenis Tengger menemani di pelataran dan jalanan depan teras. Jagung baru saja dipanen itu merupakan peruntukan pakan ternak. Tentunya dari lahan Perhutani yang dijaga dan dikelola menghasilkan kesuburan tiada tara.
“Semua (lahan) disini subur, tanam apa saja bisa,” kata Rahmat. Tak hafal secara pasti, hanya sekitar satu hektare lahan yang ia manfaatkan selama ini. Itu pun bersama dengan dua anaknya yang kini tengah berkeluarga dan menetap di kampung yang sama.
Menurut Rahmat, Warga Gumuk yang bersebelahan dengan ikon wisata Desa Bumi Perkemahan Bedengan itu, masih menyimpan perasaan tak tenang. Sebab dulu, ada masa di mana warga tertekan dibawah kuasa Perhutani atas lahan mereka. Salah satunya adalah keharusan melakukan kegiatan menyadap getah Pinus.
“Kalau di sini, dulu harus nurut sama Perhutani. Harus nyadap getah pinus. Kalau tidak nyampek target bakal ditakuti, mau diusir,” ungkapnya.
Masa-masa itu, sambung Rahmat, berlangsung cukup lama. Ia dan istrinya Jumaitah (51) yang kini masih mendera sakit syaraf terjepit, dulu juga sempat juga diminta menyadap. Sebab tak punya lahan, ia hanya berusaha mematuhi aturan demi bisa mengelola kebun di hutan untuk hidup. Setidaknya dua kali sebulan targetnya menyadap sampai 1 ton getah pinus.
“Gak tahu buat apa, yang katanya buat pabrik. Pokoknya disuruh nyadap saja,” kata Rahmat.
Singatnya, proses itu berlangsung sekitar tahun 90-an hingga 2000-an. Hingga mulai menurunkan intensitasnya sekitar satu dekade terakhir. Namun, ditanya mengenai kekhawatiran serupa, ia mengaku masih terngiang dan tidak tenang jika belum memiliki kepastian atas ruang hidupnya. Yakni lahan dan rumah. Padahal sejatinya ia sudah tercatat sebagai penduduk Desa Selorejo dengan KTP resmi, dan Dusun Gumuk yang keberadaannya telah diakui negara.
Ia sudah menghuni Dusun Gumuk sekitar 40 tahun. Ayahnya merupakan warga asli yang kini berusia 100-an tahun. Ia juga memahami prigram desa yang sedang diperjuangkan melalui Tora dan Perhutananan Sosial. Terlepas hasilnya seperti apa, Rahmat mrngaku pasrah namun penuh harap.
“Semua memanfaatkan hutan. Sekarang dari Perhutani tidak minta. Kalau inginnya biar tenang, biar tidak khawatir nanti seperti dulu lagi (intimidasi, red),” harap Rahmat.
Upaya konservasi bagi Desa Selorejo adalah harga mati untuk keselamatan orang banyak di masa yang akan datang. Generasi mereka membutuhkan sumber daya yang bisa menghidupi hingga air yang tak menurun debitnya. Salah satunya melalui komunitas warga Selorejo dan sekitarnya Lembaga Adat Desa Andalan Konservasi (Landak).
Pengurus Landak, Yono, menekankan pada menjaga lingkungan sekitar hutan dan wilayah tangkapan air di lereng. Wajib hukumnya pohon tekakan di atas wayah tangkapan sumber air ditumbuhi pohon penyangga. Dalam dua pekan sekali diadakan pembersihan sungai dan lingkungan bantaran. Penanaman dan pembibitan berkala juga tak terlewatkan. Diinisiasi oleh Landak, warga setempat selalu dilibatkan, tak terkecuali Warga Dusun Gumuk.
“Yang jelas mereka memanfaatkan hutan tanpa merusak. Menanam di bawah tegakan, jadi bukan menebang untuk membuka lahan,” sungkat Yono. Sembari menantikan kepastian, kata Yono, ruang hidup mereka agar segera diakui melalui Tora dan Perhutanan Sosial, untuk hidup dan pengelolaan sebagian perkebunan.
“Mereka (warga Gumuk dan Desa Selorejo) menjaga hutan, kependudukannya diakui dengan KTP dan KK. Perwujudan lainnya, sudah adanya pembangunan dan masuknya fasilitas negara berupa listrik PLN,” kata Sudarmadi, tokoh masyarakat adat Selorejo.
Selama belum memiliki kepastian akan ruang hidup mereka, Sudarmadi mengatakan bahwa warga masih merasa khawatir, bahkan masih terancam. Yang diharapkan, warga Gumuk berhak mendapatkan akses terhadap lahan yang ditempati. Oleh kementrian sudah dilakukan pengawasan, sementara untuk Perhutanan Sosial telah dimohonkan hak melalui KLHK untuk proses legalisasi.
“Bukan hanya khawatir, karena pengalaman dulu mereka merasa masih terancam. Takut kalau kembali seperti dulu. Sebab mereka belum punya hak yang jelas,” jelasnya.
Kepala Desa Selorejo Bambang Soponyono mengungkapkan, progres Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) melalui Tora, semua berkas telah masuk ke Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Kini pihaknya menunggu langkah percepatan dari Pemerintah Kabupaten Malang.
“Untuk Perhutanan Sosial, kami masih nunggu vertek (verifikasi teknis) dari KLHK. Kalau yang diajukan atau dimohonkan seluas kurang lebih 13 hektare, Perhutanan Sosial (PS) seluas kurang lebih 1574,45 hektare. Itu semua luasan hutan yang masuk wilayah desa, 1.174 hektare nya hutan lindung, sisanya hutan produksi,” rinci Bambang.
Kini, pemerintah desa mengharapkan penuh dukungan masyarakat, dan upaya Pemerintah Kabupaten Malang untuk mendorong dan menyosialisasikan. Sebabnya, selama ini kurangnya sosialisasi masih menjadi kendala tersendiri.
Kendala dari internal desa tidak ada, yang ada kurangnya sosialisasi program pemerintah pusat ini ke seluruh instansi lain di daerah. Biar tidak ada anggapan kita melakukan ini seolah olah maunya desa sendiri. Padahal kita melaksanakan program pemerintah yang sudah jelas aturan dan dasar hukumnya,” tambah Kades.
Pihaknya berharap adanya kepastian hukum tentang kepemilikan lahan kepada masyarakat yang selama ini tinggal dalam kawasan hutan. Dengan Perhutananan Sosial bagi desa yang menjadi tujuan utama adalah kelestarian. “Hutan lebih terpelihara, kesejahteraan masyarakat akan lebih meningkat,” tukasnya.
Pemkab Malang, melalui Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto menanggapi bahwa selama ini mendukung. Namun tak bisa berbuat banyak jika sudah berbicara mengenai keputusan dan prosedur dari kementrian. Selama sesuai syarat yang ada, ia menyebut prosesnya bakal berjalan semestinya. Ia berjanji akan menekankan kepada gak masyarakat asal sesuai prosedur. Selain itu juga untuk konservasi.
Dikonfirmasi Jumat (30/12), Kepala Sub Seksi (KSS) Kemitraan Produktif Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Malang Bidang Perhutananan Sosial, Tamat Totok mengatakan dalam hal Tora, tanah tetap dikelola oleh Perhutani selaku penanggung jawab selama belum ada persetujuan atau ketetapan kementerian terkait.
“Selama jni kami tidak mempersulit. Selama sesuai aturannya maka bisa diajukan. Dan justru bagus. Di Malang, lahan Perhutani sekitar 90 ribu hektare. Di antaranya mungkin 50 persen bisa keluar dari Perhutani masuk KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus),” tuturnya.
Dijabarkannya bahwa hutan yang dikelola harus memiliki penanggungjawab melalui Kelompok Tani Hutan (KTH). Jika SK dari Kementerian terkait telah dikeluarkan maka akan disosialisasikan oleh Perhutani. “Setelah itu dengan Perhutanani Tora dan Perhutananan Sosial kerja sama bisnis ke bisnis,” katanya.
Ia mengatakan, dalam konteks Gumuk, dia mengatakan prosesnya juga masih menunggu tanggapan dan hasil verifikasi pemerintah pusat melalui KLHK. Ia bersedia membantu jika lahan yang dimaksud dalam permohonan disetujui. “Yang jelas kita tidak mempersulit. Selama masih di wilayah tanggung jawab Perhutani jangan sampai menjadi tidak ada komunikasi dan koordinasi dengan kami. Hal ini yang biasa menimbulkan problem karena tidak bekerjasama. Soal lama atau tidaknya proses itu (Perhutanan Sosial dan Tora) kita tidak tahu,” tutupnya.(tyo/jon)