Saat menjadi mahasiswa dulu, saya sempat berandai-andai “Apa yang terjadi jika hukum pada akhirnya tidak ada?”. Pertanyaan itu sempat terjawab di sesi diskusi kelas, namun kurang begitu mengena. Hal serupa juga terjadi saat sesi belajar bersama di suatu forum. Malah berakhir menjadi topik obrolan biasa dan menjadi angin lalu.
Sekarang, saya kira dunia tanpa hukum mungkin saja bisa terjadi dan bukan menjadi isapan jempol belaka. Bukan berarti saya menyalahi adagium populer dari Cicero, ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Namun, saya merasa bahwa hukum cenderung tertinggal jika dibandingkan dengan perubahan yang ada di masyarakat.
Padahal hukum memainkan peran penting dalam dinamika kehidupan, dalam hal ini perkembangan teknologi. Hukum dapat memastikan bahwa teknologi tidak melanggar nilai-nilai sosial serta hak asasi manusia yang dimiliki oleh tiap individu. Misalnya saja, pembentukan regulasi terkait data pribadi maupun hak cipta yang dirasa mampu mencegah penyalahgunaan teknologi. Lebih jauh juga mampu melindungi kepentingan umum.
Sayangnya, lagi-lagi perbedaan kecepatan yang signifikan antara keduanya menjadi tantangan. Ketika teknologi sudah berlari sejauh 100 kilometer, hukum masih berada di kisaran 50 kilometer. Ketika perusahaan teknologi berlomba-lomba mengembangkan inovasi karena persaingan dan kebutuhan pasar, pembentukan hukum masih dirasa lambat dan kaku.
Proses pembuatannya juga melalui diskusi panjang yang kadang dinilai berlarut-larut. Akhirnya, hukum menjadi kurang efektif dalam mengatasi beragam masalah terkait. Hal-hal itulah yang akhirnya bermuara pada kekosongan hukum—keadaan di mana tidak ada peraturan yang mengatur hal-hal baru di masyarakat.
Jika dikaitkan dengan teknologi, kita bisa menyebutkan sederet kegiatan. Sebut saja penggunaan drone, kecerdasan buatan, hingga kendaraan yang berjalan dengan otomatis. Meski tiga aktivitas itu sudah lazim ditemui di masyarakat, namun belum ada peraturan yang sepenuhnya jelas. Hingga memunculkan ketidakpastian bagi berbagai pihak, baik itu konsumen, pelaku industri, pengembang teknologi, dan masyarakat secara luas.
Regulasi Belum Cukup
Undang-undang yang mengatur teknologi di Indonesia masih bisa dihitung jari. Salah satu yang sering muncul adalah Undang-Undang (UU) Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Terbaru, adapula UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang disahkan di akhir tahun lalu.
Banyak pihak yang menilai bahwa sederet regulasi yang ada belum cukup untuk mengakomodasi kemajuan teknologi. Jika tidak segera ditangani, berbagai bahaya akan mengintai dan terjadi di tengah masyarakat. Tidak hanya satu saja, namun ada beberapa kemungkinan yang mungkin saja bisa mengganggu kedamaian masyarakat.
Pertama, meningkatnya risiko kejahatan siber. Semakin ke sini semakin banyak modus yang dilakukan penjahat dalam melakukan aksi cybercrime. Mulai dari peretasan, konten ilegal, pelanggaran hak cipta, data forgery, cracking hingga carding. Semakin berkembangnya teknologi, maka semakin beragam juga modus yang muncul. Ini menjadi tantangan tak terelakkan yang harus dihadapi hukum.
Kedua, ketidakpastian hukum. Jarak kecepatan antara hukum dan teknologi melahirkan keambiguan karena regulasi tidak mampu mengakomodasi kompleksnya teknologi. Di bidang bisnis misalnya, ketidakpastian ini membuat individu atau pebisnis menjadi bingung dan saling berselisih.
Satu pihak berkeyakinan bahwa kegiatan A itu legal, sementara yang lain meyakini bahwa aktivitas A itu ilegal. Sementara hukum belum bisa menjelaskan secara gamblang.
Ketiga, potensi penyalahgunaan teknologi makin tinggi. Ketiadaan hukum yang mengatur, membuat teknologi bisa disalahgunakan dengan mudah. Misalnya saja sistem pengenalan wajah yang bisa digunakan untuk kejahatan.
Pun dengan data-data di media sosial yang entah diapakan oleh penyedia layanan. Semua yang belum diatur, ditakutkan bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Mengejar Ketertinggalan
Untuk mencegah terciptanya ”dunia tanpa hukum”, memang perlu adanya upaya agar hukum bisa mengejar ketertinggalan dengan teknologi. Namun perlu digarisbawahi, regulasi yang ada tidak boleh menghambat kemajuan inovasi. Khawatirnya, hal ini akan mengancam potensi pertumbuhan ekonomi dan manfaat yang mungkin saja diberikan oleh teknologi baru.
Satu langkah yang bisa diambil adalah dengan membentuk wadah di mana pembuat kebijakan dan ahli teknologi bisa bertemu dan berdiskusi. Saling berkolaborasi untuk memahami tren teknologi serta efeknya bagi masyarakat. Diharapkan, dari wadah ini lahir peraturan yang lebih efektif dan relevan dengan waktu penyusunan yang cepat.
Selain itu, pembaharuan hukum secara teratur juga bisa menjadi jalan keluar. Bisa dengan menambah aturan baru atau juga menghapus peraturan yang dinilai tidak relevan dan usang. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan memastikan keamanan teknologi baru.
Hukum bukan satu-satunya aspek yang diberi tanggungjawab. Para ahli hukum juga harus melek teknologi. Termasuk di dalamnya mereka yang akan berkarir di dunia hukum. Perguruan tinggi harus bisa memasukkan pelajaran yang berkaitan dengan teknologi.
Misalnya dengan mendirikan pusat keunggulan atau center of excellence hukum digital. Sehingga materi yang diterima tidak hanya berkutat pada masalah-masalah usang. Dengan begitu, para pengacara, hakim, jaksa dan profesi hukum lainnya memiliki kompetensi yang mencukupi dalam menghadapi kemajuan zaman.
Ketika hukum mampu mengikuti perkembangan teknologi, maka sudah barang tentu dapat membantu menjaga keseimbangan perlindungan masyarakat dan kemajuan inovasi. Pun dengan menekan angka risiko penyalahgunaan teknologi, termasuk cybercrime.
Fenomena “dunia tanpa hukum“ memang memiliki kemungkinan kecil untuk terjadi. Apalagi dengan cepatnya para pembuat kebijakan dalam membuat aturan. Namun, kecepatan tersebut masih perlu ditingkatkan agar tidak semakin dan selalu tertinggal.
Jika tidak ada upaya untuk melakukannya, boleh jadi “dunia tanpa hukum” versi lite dapat muncul—seperti kekosongan hukum di berbagai aspek kehidupan.(*)