Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi menjadi penentu arah kebijakan pemerintahan. Salah satu unsur esensial dalam demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Indonesia akan dihadapkan dengan tahun pemilu yaitu tahun 2024.
Dengan diselenggarakan Pemilu 2024, pasti tidak asing lagi dengan yang namanya kampanye politik. Kampanye politik adalah suatu kegiatan yang terorganisir yang bertujuan mempengaruhi proses pengambilan keputusan pemilih dan merujuk pada kampanye pemilihan umum.
Dalam demokrasi terdapat nilai dan kedaulatan yang dijunjung tinggi. Warga negara serta perangkat negara dengan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Setiap elemen masyarakat berperan aktif dalam pembangunan nasional terutama dalam lingkup politik.
Masyarakat diberi ruang untuk berperan aktif dalam proses demokrasi. Sistem politik demokrasi berjalan apabila memiliki pemilu diselenggarakan bebas berkala, pemerintahan akuntabel, perlindungan HAM dan adanya perkembangan dari civil society.
Saat ini kita berada di era digital yang berarti perkembangan teknologi semakin pesat. Berdasarkan laporan We Are Social dan Meltwater bertajuk “digital 2023” jumlah penggunaan internet di Indonesia per Januari melesat mencapai 212,9 juta. Mengalami kenaikan 5 persen. Hampir semua aktivitas yang berhubungan dengan politik, olahraga, ekonomi pasti memanfaatkan kemajuan teknologi informasi terutama di sosial media.
Tetapi dengan adanya kemajuan teknologi di era digital terdapat beberapa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya seperti memudahkan dalam akses informasi sedangkan dampak negatif yaitu tersebarnya berita-berita hoaks. Tetapi dengan di era digital ini masyarakat lebih tahu bagaimana pemerintah bekerja secara seharusnya, mengetahui dan berlaku kritis.
Maksud dari tulisan ini yaitu efektifkah demokrasi digital mampu meningkatkan kesadaran politik dan kualitas demokrasi Pancasila di era digital terutama bagi masyarakat dan generasi Z menjelang kampanye 2024 serta bagaimana peran pemerintah nasional terkait kampanye berbasis demokrasi digital.
Kepala Departemen Politik dan perubahan sosial Lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes dalam acara diskusi publik yang membahas survei nasional mengatakan bahwa Pemilu 2024 yang akan datang didominasi oleh kaum generasi Z dan milenial yang rentan usia 17-39 tahun mendekati 60 persen berdasarkan periode survei pada 8-13 Agustus 2022.
Demokrasi digital adalah sekumpulan usaha untuk mempraktikkan demokrasi tanpa batas waktu, ruang, dan fisik. IDR (Indonesia Development Research) menyebutkan bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 lebih efektif dan efisien jika kampanye dilakukan secara digital. Yang dimaksud efektif yaitu dari aspek ketepatan sasaran pemilih, sedangkan efisisen yaitu dibutuhkan agar pemilu tidak menghambur-hamburkan dana para kandidat.
Dari pernyataan tersebut sebenarnya pemerintah harus lebih akuntabel dalam sistem kepemiluan sehingga masyarakat ataupun generasi Z dapat mengedepankan politik ide atau gagasan.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asya’ari dalam acara Verifikasi Administrasi Bacaleg RI, di Hotel Grand Melia, Jakarta mengatakan bahwa uang elektronik hingga jasa transportasi masuk ke dalam laporan dana kampanye yang harus dihitung. Jadi, dana kampanye memiliki batasan nominal yang dapat disumbangkan sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku serta data sumbangan yang masuk harus dilaporkan dan dihitung.
Jumlah sumbangan dana kampanye untuk pemilu presiden, wakil presiden, dpr, dpd diatur dalam peraturan KPU (PKPU) Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilu. Maka diketahui bahwa dana kampanye baik digital harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan apabila terdapat dana sumbangan yang masuk harus dilaporkan dengan jujur.
Kemudian, kampanye digital membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat terutama generasi Z yang melek teknologi.
Media sosial Instagram dan Tiktok merupakan media yang sangat populer hampir generasi Z menggunakan platform tersebut. Yang menjadi persoalan bagaimana peran pemerintah dengan adanya kampanye digital karena kampanye tersebut bisa dilakukan kapan saja dan tanpa batas.
Pemerintah harus menciptakan ruang digital bagi masyarakat. Bagi generasi Z dan milenial terdapat beberapa cara dalam berkampanye berbasis digital. Seperti membuat konten yang menarik di Instagram maupun di Tiktok tentang ciri khas setiap paslon dan parpol, juga berisi tentang politik yang berasaskan LUBERJURDIL (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil).
Di sisi lain ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai tantangan-tantangan jika kampanye politik di pemilu 2024 berbasis digital. Menurut koordinator Divisi Data dan informasi KPU RI Betty Epsilon Idroos dalam diskusi virtual dengan badan riset dan inovasi Nasional (BRIN) mengatakan bahwa akan ada aturan khusus kampanye digital karena masa kampanye hanya berlangsung 75 hari.
Bisa dikatakan bahwa jika adanya peraturan khusus untuk kampanye digital politik di pemilu 2024, maka peraturan harus dilandaskan agar bisa mengendalikan proses digital kampanye. Sehingga ada batasan untuk menghindari penyalahgunaan media sosial.
Apalagi jika pemerintah tidak antisipasi dampak yang terjadi jika kampanye digital ini berjalan tanpa batas sehingga timbul politik identitas yang memperlambat perkembangan demokrasi di Indonesia.
Jika kita lihat dari kampanye pemilu 2019, kampanye pada tahun itu didominasi dengan politik identitas yang mengkapitalisasi konten berita palsu dan olok-olok politik antar kubu terkait isu-isu yang tidak substantif. Yang awal tujuannya menciptakan pemilu yang berkualitas, tetapi dengan adanya perbuatan tersebut berakibat terjadinya polarisasi di masyarakat karena ulah kepentingan politik tertentu yang tidak sehat dan tidak bertanggungjawab serta mendorog apatisme dan menguatnya gerakan golput.
Jika kita melihat dari kasus-kasus kampanye digital yang terjadi di pemilu 2019 maka usaha untuk menghindari sebaran berita hoaks dan disinformasi maka bisa dilakukan dengan literasi politik digital. Literasi politik digital adalah aktivitas partisipasi politik dan edukasi dengan memanfaatkan media digital seperti alat komunikasi.
Literasi politik digital di Indonesia tergolong rendah disebabkan karena beberapa faktor. Seperti kurang berfungsinya partai politik, politisi, dan LSM yang bergerak di ranah sosial politik. Maka dari itu setiap elemen masyarakat terutama generasi Z harus memperkuat literasi digital sehingga sadar untuk menjaga, menghormati, keberagaman dan etika berkomunikasi. Kemudian, mereka juga harus paham dan mengerti aspek hukum UU ITE dalam bermedia sosial.
Masyarakat digital memiliki ruang publik sendiri yaitu platform digital kemudian menjadi ruang publik baru bagi masyarakat terutama generasi Z yang melek tekonologi. Untuk membahas permasalahan politik dan kinerja pemerintahan yang seharusnya. Dengan adanya demokrasi digital ini maka memiliki peranan khusus dalam perkembangan demokratisasi yang sangat strategis.
Masyarakat dan generasi Z bebas berpendapat termasuk menyampaikan kritik pada partai politik dan pemerintah yang merupakan pilar demokrasi sehingga mewujudkan pemilu yang berintegritas. Pemilih muda tidak apatis terhadap politik tetapi meningkatkan partisipasi dengan cara mengikuti zamannya.
Penerapan teknologi informasi menjadikan terjalinnya kumunikasi politik. Tetapi di sisi lain tergantung pihak yang terlibat di dalamnya serta kemampuan negara dalam mengontrol jalannya demokrasi digital.(*)