MALANG POSCO MEDIA – Setelah 19 tahun, sejak 2005 pemilihan langsung berlalu di Indonesia, kini ramai diperbincangkan Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan dipilih oleh DPRD. Wacana ini berkembang pasca Presiden Prabowo Subianto mengatakan sistem Pilkada langsung menghabiskan anggaran banyak. Padahal negara-negara tetangga sangat efisien.
Sebagai evaluasi, apa yang disampaikan Presiden memang obyektif. Faktanya Pilkada serentak yang berlangsung pada 27 November 2024 lalu di seluruh Indonesia memang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Namun Pilkada serentak itu juga keputusan pemerintah yang jauh-jauh hari sudah menetapkan dengan alasan efisiensi.
Sebagai wacana dan dinamika politik, Presiden Prabowo sudah memberikan pancingan isu menarik. Setidaknya ada diskursus, ada dialektika politik di masyarakat. Dan yang pasti ada pro dan kontra dari apa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo terkait pelaksanaan Pilkada ke depannya. Dan itu membuat dinamika politik jadi hidup.
Bukan kali ini saja, wacana pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Tahun 2014 lalu, UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota memperkenalkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Namun saat itu diprotes keras oleh masyarakat. Presiden SBY akhirnya mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 2014 yang mengembalikan mekanisme Pilkada langsung.
Pada masa Presiden Jokowi, UU No 1 tahun 2015 dan UU No 8 Tahun 2015 memperkuat sistem Pilkada Langsung. Dan UU No 10 Tahun 2016 mengatur jadwal pilkada serentak pada 2015, 2017, 2018, 2020 dan puncaknya pilkada serentak nasional pada 2024. Dan semua berjalan dengan dinamika daerah masing-masing.
Kalau dibedah, Pilkada langsung dan pemilihan melalui DPRD, pasti punya plus dan minus masing-masing. Pilkada langsung memberikan ruang politik bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Sementara kalau dipilih DPRD, maka masyarakat tak punya peran apa-apa. Hanya partai politik yang punya kuasa untuk mengatur wakil-wakilnya harus memilih siapa.
Kalau persoalannya difokuskan pada besarnya anggaran Pilkada, maka pertanyaannya, apakah dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak menghabiskan anggaran yang sama besarnya? Apakah calon-calon yang mendaftar menjadi walikota dan bupati tak juga mengeluarkan biaya besar?
Yang utama, jangan membunuh demokrasi. Partisipasi politik masyarakat sudah cukup tinggi. Apa gunanya efisiensi anggaran kalau demokrasi dan empati masyarakatnya justru mati.(*)