Bulan Ramadan membuat kita semua harus berpikir, bersikap dan bertindak secara efisien. Setidaknya kita dapat melakukan “efisiensi” di bulan Ramadan ini dalam empat aspek penting. Pertama, Efisiensi waktu. Momentum Ramadan yang datang hanya dalam satu kali dalam satu tahun dengan waktu hanya 30 hari dari 365 hari, tentu harus digunakan secara efisien untuk senantiasa meningkatkan perbuatan baik disertai niat tulus ikhlas untuk menggapai Ridha Allah agar menjadi pribadi yang semakin bertaqwa.
Sebab momentum Ramadan memiliki “ganjaran” yang tidak gemen-gemen, yaitu diampuninya dosa kita yang telah lalu-lalu, baik di siang harinya maupun di malam harinya. Belum lagi pahala ibadah Puasa yang tidak terbatas, sebagaimana pahala orang yang berpuasa (bi ghairi hisab).
Dimulai dari ibadah khusus seperti puasa dengan menahan hawa nafsu secara fisik yaitu manahan diri dari lapar dan haus meupun berhubungan seksual. belum lagi ibadah rutin seperti qiyamul lail (tarawih dan witir) dan tilawah al-Qur’an.
Di sisi lain, ibadah umum yang dapat dilakukan seperti menyegerakan waktu buka puasa, memberikan makan untuk berbuka, mengakhirkan waktu sahur, berbukan dengan yang manis hingga menjauhkan diri dari perilaku yang sia-sia dan membuang-buang waktu, seperti scroll media sosial selama berjam-jam. Sebab berdasarkan data, netizen Indonesia memiliki waktu yang lama untuk hanya sekadar scroll media sosial. Hingga main game online sepanjang hari.
Kedua, Efisiensi dalam komunikasi. Dalam momentum bulan mulia ini, kita juga harus melakukan “efisiensi” dalam berkomunikasi. Dalam konteks ini, termasuk komunikasi secara verbatim – bertutur kata dengan lisan, maupun komunikasi secara non-verbal seperti update status dan story di media sosial maupun hanya sekadar reply status orang lain.
Terkait hal ini, Rasulullah berpesan kepada kita agara efisien dalam berkomunikasi dalam dua pilihan, yaitu: berkomunikasilah dengan baik (berutur kata baik) atau jika tidak maka lebih baik diam. Sebab menurut orang bijak, kadangkala diam adalah emas (silent is golden), dan juga dalam firman Allah perkataan baik itu lebih baik dari pada memberi namun disertai dengan perilaku tercela (QS. Al-Baqarah[2]: 263).
Dewasa ini, berkomunikasi secara efisien dengan bertutur kata yang baik, asertif dan positif itu penting untuk kita lakukan. Sebab berdasarkan rilis data dalam Digital Civility Index (DCI) pada tahun 2021, dinyatakan bahwa warganet Indonesia adalah pengguna internet yang paling tidak sopan di Asia Tenggara. Dengan rangking ke-29 dari 32 negara yang disurvei di Dunia.
Padahal warga negara Indonesia mayoritas beragama Islam (sebanyak 85 persen) dan juga komunikasi yang baik adalah salah satu indikator dari baiknya keislaman seseorang. Ramadan menjadi momentum untuk mengucapkan kata-kata yang penting, baik dan mendamaikan sehingga ibadah puasa yang kita lakukan tidak rusak akibat ucapan yang menyakiti orang lain. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan kotor dan tercela, maka tiada guna puasanya kecuali hanya lapar dan haus belaka”.
Ketiga, efisiensi dalam tindakan. Momentum Ramadan mengharuskan kita untuk memperbaiki segala tindakan yang kita lakukan. Saatnya untuk melakukan refleksi, apakah tindakan dan perbuatan yang kita lakukan selama ini sudah benar?. Atau hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban, tuntutan dan penilaian orang lain semata.
Dalam ungkapan yang kondang, Sahabat Umar bin Khattab pernah manyatakan “koreksilah (perbaikilah) dirimu sendiri, sebelum kelak engkau akan dievaluasi di akhirat.” Sebab kebisingan yang terjadi di ranah publik akhir-akhir ini terjadi akibat semua orang merasa bebas untuk berpikir, berbicara dan bertindak sesuka hati. Merasa paling benar sendiri, tanpa terbersit suatu tindakan untuk melakukan introspeksi diri. Jangan-jangan justru tindakan kita sendiri yang salah, bahkan justru tindakan orang lain lebih baik dari apa yang kita lakukan. Byung-Chul Han menyatakan bahwa era saat ini adalah era burn out society, dimana masyarakat ‘terjebak’ dalam suasana yang serba harus berusaha keras untuk mencapai sesuatu, hingga merasa kelelahan dan ‘kena mental’ akibat kelelahan dalam usaha untuk mencapai suatu pencapaian.
Keempat, efisiensi dalam konsumsi. Ramadan membuat pola makan kita berubah, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Dalam hari normal, idealnya kita makan sebanyak tiga kali sehari, namun di bulan Ramadan kita hanya makan dua kali dalam sehari. Selain itu, kita dianjurkan untuk tidak berlebihan dalam konsumsi (israf) dan mengonsumsi makan yang sehat, seperti kurma dan berbuka dengan makanan yang halal.
Selain itu, dalam konteks kesehatan, puasa memberikan kita banyak manfaat; di antaranya adalah memperbaiki sistem kekebalan tubuh, menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL), meningkatkan fungsi otak, serta melepaskan hormon stres yang dapat menyehatkan mental kita.
Momentum Ramadan haruslah menjadikan kita pribadi yang lebih efisien, yaitu menjadi pribadi yang lebih baik (muttaqin) dan lebih beruntung (muflih). Sehingga jiwa dan raga menjadi sehat wal afiat. Sebagaimana Sabda Rasulullah, “Berpuasalah kamu agar sehat.” (*)