Malang Posco Media – Eksibisionisme adalah kata yang asing terdengar di masyarakat. Masyarakat lebih mengenalnya dengan memamerkan alat kelamin kepada orang lain. Menurut Psikolog Forensik Kasandra, eksibisionisme merupakan bentuk paraphilia atau penyimpangan fungsi seksual. Hal ini dikuatkan oleh American Psychiatric Association (APA, 2013) bahwa eksibisionisme adalah perilaku memperlihatkan bagian genital kepada orang lain baik diwujudkan secara fantasi maupun tingkah laku.
Senin, 24 Januari 2022 ada kejadian warga Kota Malang yang mendapat perlakukan tidak senonoh dari laki-laki asing yang datang ke outlet ricebox miliknya (New Malang Pos, 24 Januari 2022). Pelakunya seolah-olah berniat memesan makanan kemudian menunjukkan alat kelaminnya kepada penjaga ricebox. Mengapa perilaku memamerkan alat kelamin lebih sering dilakukan oleh laki-laki dan korbannya adalah perempuan?.
Eksibisionisme yang dilakukan oleh laki-laki tidak hanya sebatas memperlihatkan alat kelamin saja, akan tetapi ada juga yang sampai melemparkan air mani kepada korbannya seperti yang terjadi di Tasikmalaya dan Baleendah, Jawa Barat (Republika.co.id, 20 November 2019). Yang kemudian perilaku eksibisionisme ini berubah menjadi kasus pelecehan seksual.
Banyak di antara pelaku eksibisionisme tidak menunjukkan atau menggambarkan orang yang mengalami gangguan penyimpangan seksual. Mereka seperti orang kebanyakan dan berperilaku normal serta berpakaian seperti orang pada umumnya. Karena itulah para korban pada umumnya tidak menyangka bahwa akan mengalami perlakuan yang tidak senonoh dari pelaku eksibisionisme.
Siskaeee
Eksibisionisme tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, akan tetapi juga dilakukan oleh perempuan. Pada perempuan eksibisionisme, tidak hanya menunjukkan genitalnya saja tapi juga bagian tubuh yang menunjukkan seksualitas di antaranya payudara, paha dan bokong.
Masih ingat Siskaeee yang pernah viral dengan membuat video memperlihatkan payudara di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Dalam kasus Siskaeee karena perilaku eksibisionisme direkam dalam bentuk video dan disebar luaskan melalui media sosial. Maka Siskaeee terjerat Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Pornografi.
Perilaku eksibisionisme pada laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Pada laki-laki, pelaku berkeinginan untuk membuat kaget korban yang diincarnya dan pelaku mendapatkan kepuasan seksual. Sedangkan pada perempuan, pelaku berkeinginan untuk mendapatkan perhatian dan penghargaan dari lawan jenis.
Data menunjukkan bahwa pelaku eksibisionisme laki-laki 2-4 persen lebih banyak daripada jumlah pelaku perempuan. Tidak ada angka yang pasti tapi jumlah pelaku eksibisionisme perempuan diyakini lebih rendah (APA, 2013).
Penyebab Penyimpangan
Lalu apa yang menyebabkan orang mengalami penyimpangan seksual?. Pelaku eksibisionisme biasanya berasal dari orang yang mengalami gangguan kepribadian seperti memiliki kepribadian antisosial, pengonsumsi alkohol, pelaku pedofilia, korban kekerasan seksual di masa kanak-kanak, dan orang yang memiliki hypersexuality. Sedangkan pada pelaku yang sudah menikah bisa mengalami penyimpangan seksual karena perkawinannya sering terganggu yang disebabkan oleh penyesuaian sosial dan seksual yang buruk.
Terkait pengalaman pribadi, penulis juga sempat mengalami eksibisionisme ini. Saat itu pelaku berada di lingkungan kampus dan berpura-pura memanggil dan seolah-olah bertanya jalan keluar dari kampus. Setelah saya mendekati pelaku ternyata menunjukkan alat kelaminnya. Reaksi yang muncul saat itu kaget dan langsung balik kanan untuk mencari jalan lain agar tidak bertemu dengan orang tersebut.
Pengalaman dua orang teman yang juga mengalami eksibisionisme di lingkungan kampus juga memunculkan reaksi yang beragam. Ada yang bereaksi memukul dengan hak sepatu kemudian lari meninggalkan pelaku. Ada juga yang bereaksi menjerit kemudian berlari meninggalkan pelaku.
Dari semua kejadian tersebut, pelaku mendapatkan kepuasan dari reaksi yang dimunculkan oleh korban. Reaksi yang muncul dari empat pengalaman ini adalah reaksi yang diharapkan oleh pelaku.
Pengalaman eksibisionisme biasanya jarang dibicarakan oleh korban karena dianggap tabu, atau khawatir adanya stigma dari masyarakat yang muncul apabila membicarakan pengalaman mendapat perlakuan eksibisionisme yang bisa memandang korban sebagai orang yang rendah atau kotor.
Hal ini sesuai seperti yang saya hadapi, saya tidak membicarakan kepada orang lain di sekitar saya bahkan kepada keluarga saya sendiri. Selain pengetahuan saya yang kurang tentang kasus eksibisionisme, saya juga belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi waktu itu.
Peristiwa eksibisionisme yang saya alami bisa jadi hanya trauma ringan, tapi pada orang lain belum tentu sama. Peristiwa eksibisionisme tidak semua diungkap oleh media. Sama halnya kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual yang seperti gunung es. Apa yang muncul dipermukaan adalah sebagian kecil dari apa yang terpendam di dalam lautan.
Korban eksibisionisme mengalami dampak yang sama seperti korban pelecehan seksual atau korban kekerasan seksual. Mereka mengalami depresi, stres, trauma, kecemasan dan histeria. Akan tetapi siapa yang menyangka jika kejadian yang hanya sebentar membawa dampak yang bertahun-tahun?.
Cara Menghadapi
Cara menghadapi eksibisionisme disarankan oleh Kasandra sebaiknya tidak berteriak, atau dengan memperlihatkan wajah cuek atau wajah tidak ramah. Karena itu yang diinginkan oleh pelaku, mereka mengejar ekspresi takut, malu, merasa dilecehkan, kaget, marah dan ekspresi yang lain.
Bagaimana korban dapat memperlihatkan reaksi yang berlawanan jika mayoritas masih merasa tabu ketika membicarakan tentang organ seksual. Solusi yang disarankan saat menghadapi bukan hal yang mudah untuk dilakukan, jika cara pandang sebagian orang dalam membicarakan masalah organ seksual masih menjadi hal yang tidak patut untuk dibicarakan. Mendiskusikan saja kita masih malu dan menutup separo wajah, apalagi kita menghadapi penyimpangan seksual dari orang yang tidak kita kenal.
Bisa saja hampir sebagian besar orang akan menjadi korban eksibisionisme, hanya saja tidak terungkap, dan bisa saja semua orang berpotensi menjadi korban eksibisionisme selanjutnya. Maka dari itu penting untuk memiliki pengetahuan tentang eksibisionisme.
Keterbukaan mendiskusikan tentang pendidikan seksual juga memiliki pengaruh besar karena untuk mengubah stigma masyarakat bukan perkara mudah. Berbagi cerita kepada orang yang dipercaya juga akan mengurangi beban korban eksibisionisme.(*)