MALANG POSCO MEDIA – Beberapa waktu terakhir ini kita dibisingkan dengan beberapa isu yang menjadi perhatian banyak publik. Salah satunya adalah munculnya varian baru Covid-19 yakni “Omicron” yang sempat beberapa waktu lalu menyebabkan level karantina di beberapa daerah naik levelnya.
Wabah Covid yang sudah mengguncang selama lebih dari dua tahun di Indonesia, isu kejadiannya semakin di “musuhi” oleh masyarakat karena muncul banyaknya kebijakan-kebijakan publik yang dinilai semakin membuat masyarakat susah. Wajibnya swab antigen atau PCR dalam setiap perjalanan, kontroversi vaksinasi dan aktivitas perekonomian rakyat yang semakin susah semakin memperburuk konstalasi sosial kemasyarakatan.
Tidak lama setelah itu, minyak goreng langka di pasaran, minyak goreng yang terlihat “sepele” ini ternyata cukup menyedot perhatian publik. Masyarakat berteriak karena kelangkaan minyak goreng yang berjalan cukup lama ini dicurigai adalah bagian dari permainan “oligarki” untuk mempermainkan stok dan harga.
Di sudut yang lain, terkuaknya misteri di balik keglamoran “grazy rich” juga menjadi bagian yang menguras perhatian masyarakat. Istilah “grazy rich” yang muncul akhir-akhir ini memang menjadi bagian yang menyedot perhatian publik, karena perilaku yang mereka pertontonkan kepada publik benar-benar membuat masyarakat “wowww.”
Harta kekayaan dan kemewahan dalam aktivitas keseharian mereka semakin membuat orang ingin tahu apa sebenarnya di balik itu. Bahkan Prof. Renald Kasali, Guru Besar di Universitas Indonesia melalui Channel Youtubenya mengulas fenomena ini dengan istilah “flexing.” Pasalnya, di tengah situasi wabah, ekonomi kusut dan perekonomian carut marut, ada sekelompok orang yang justru mempertontonkan kekayaan dan keglamorannya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, publik juga di hebohkan dengan perhelatan MotoGP di Mandalika NTB. Mulai dari kehebohan masyarakat dalam merespon perhelatan perdana di Indonesia ini, sampai munculnya “pawang hujan” di tengah-tengah event yang akhirnya menjadi pembicaraan nasional dan international.
Peristiwa “Wadas” di Purworejo Jawa Tengah juga menjadi sederetan peristiwa sosial yang menjadi isu Nasional. Penolakan warga Wadas atas penambangan batu andesit yang hendak digunakan untuk Bendungan Bener ini berujung pada konflik berkepanjangan antara masyarakat setempat dengan aparat dan pemerintah. Bendungan Bener yang akan dibangun di desa Wadas dengan kisaran anggaran Rp 2,06 Trilliun ini, diklaim oleh pemerintah sebagai Bendungan tertinggi di Indonesia. Namun masyarakat melawan, bahkan tidak sedikit masyarakat yang diamankan oleh pihak aparat dan mengalami trauma fisik ataupun mental.
Aksi Mahasiswa beberapa hari teakhir ini juga menjadi peristiwa yang tidak terelakkan menjadi pembahasan publik. Gerakan Mahasiswa ini semakin besar setelah keluarnya pernyataan dari beberapa pihak terkait penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Tidak hanya itu, gerakan mahasiswa yang sudah lebih awal dilakukan di berbagai daerah sejak 28 Maret 2022 hingga 11 april 2022 itu, menuntut sikap tegas wakil rakyat untuk berpihak dan mendengar aspirasi rakyat.
Keriuhan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang terjadi saat ini merupakan wujud dari, betapa “empati” terhadap sesama elemen bangsa mutlak dibutuhkan.
Dalam konsep tatanan negara modern sinergitas antara tiga sektor, yakni Pertama, Negara, antara lain Pemerintah, militer, badan peradilan, birokrasi, polisi, partai politik, legislatif, BUMN, intelejen dan regulasi. Kedua, Civil Society, antara lain organisasi masyarakat, organisasi sosial, LSM, organisasi profesi, serikat buruh, organisasi pengusaha, mahasiswa. Ketiga, Pasar, antara lain Pasar modal dan perusahaan, harus benar-benar terjadi.
Ketiga sektor negara ini harus memberikan “empati” terbaiknya dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam menjalankan negara. Empati harus menjadi juru bicara atas semua kepentingan dan masalah yang terjadi di negara dan masyarakat.
Keteladanan menjalankan negara dengan menumbuhkan “empati” pada seluruh elemen masyarakat telah dicontohkan kurang lebih 14 abad yang lalu pada zaman Nabi Muhammad SAW. Beliau bersama para sahabat yang melakukan hijrah ke Madinah setelah 13 tahun menjalani aktivitas ke-Nabiannya di Makkah, adalah representasi keteladan dalam mengelola dan memanajemeni negara yang patut dijadikan rujukan bagi kita semua.
Masyarakat Madinah yang heterogen mampu di satukan oleh Nabi dengan saling menjaga kesepakatan, nilai-nilai dan menjujung tinggi empati antar sesama masyarakat. Nabi adalah sosok pemimpin negara yang memberikan perhatian terbaiknya kepada masalah-masalah yang dialami oleh masyarakatnya. Beliau adalah sosok tegas dan cerdas dalam mengembangkan negara, beliau juga sosok yang menyatukan seluruh elemen heterogen di Madinah. Nabi juga sekaligus seorang pemimpin yang memberikan keteladanan akan sikap perilaku terbaik selama menjadi pemimpin negara.
Berbagai fenomena yang terjadi pada bangsa kita beberapa waktu terakhir ini seolah menjadi penanda, bahwa perkara “empati” ini harus benar-benar diinstall dan dirawat dengan baik dalam diri dan mindset seluruh elemen masyarakat Indonesia, baik Negara, Civil Society dan pasar.
Empati yang secara implisit terkandung dalam Pancasila sebagai Dasar Negara dan Falsafah Bangsa harus menjadi panduan bagi kita semua dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Teringat pesan yang disampaikan oleh Bung Hatta Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga sekaligus Proklamator kemerdekaan Bangsa ini dari penjajahan Belanda. Beliau berpesan “Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian di peta.” (*)