Tersangkut TPPO, Kini Polisi Usut Dugaan Prostitusi
MALANG POSCO MEDIA – Masalah Kopi Cetol Gondanglegi belum usai. Terbaru enam orang ditetapkan sebagai tersangka oleh Satreskrim Polres Malang karena tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Warkop Cetol yang berada di kawasan Pasar Gondanglegi. (baca grafis di Koran Malang Posco Media)
Sementara kini kepolisian terus mendalami dugaan adanya praktik prostitusi. Enam tersangka merupakan pemilik warung. Mereka terdiri dari dua laki-laki yakni Saiful, 41 tahun warga Desa Brongkal Kecamatan Pagelaran, dan Suliswanto, 38, warga Desa Banjarejo Kecamatan Pagelaran.
Empat tersangka lainnya merupakan perempuan yakni Reni, 53, warga Desa Gondanglegi Wetan Kecamatan Gondanglegi, Luluk, 20, berdomisili di Desa Brongkal Kecamatan Pagelaran, Iswantini, 54, warga Desa Sidorejo Kecamatan Pagelaran, dan Siti, 54, warga Desa Banjarejo Kecamatan Pagelaran.
Wakapolres Malang, Kompol Bayu Halim Nugroho menyampaikan hasil dari penindakan Sabtu 4 Januari 2025 lalu, diterbitkan enam laporan polisi (LP) terkait adanya eksploitasi seksual anak di bawah umur dan TPPO.
“Hasil yang kami temukan ada tujuh anak yang menjadi korban. Rentang usia mereka 14 sampai 17 tahun,” beber Bayu di Mapolres Malang, Senin (20/1) kemarin.
“Sedangkan tersangka yang kami amankan enam orang. Mereka termasuk kategori pemilik warung kopi cetol,” sambungnya.
Ditambahkan Bayu, tarif gaji yang didapat pekerja di bawah umur kisaran Rp 600 sampai Rp 1 juta. Tapi di luar itu menarik dari pengunjung Rp 10 sampai 50 ribu.
Para tersangka dikenakan Pasal 2 Ayat 1 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda minimal Rp 120 juta dan maksimal Rp 600 juta.
Juga dikenakan Pasal 88 Jo Pasal 76 UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
“Berdasarkan undang-undang yang kami terapkan, melibatkan anak di bawah umur kemudian memunculkan tindak asusila. Sehingga ini menjadi atensi kami,” ungkap Bayu.
Kasatreskrim Polres Malang, AKP Muhammad Nur menambahkan bahwa perempuan sebagai pekerja atau pramusaji di bawah umur berasal dari luar Kecamatan Gondanglegi. Yaitu dari Kecamatan Wagir, Pagak, Wonosari, Dampit, dan Kecamatan Sukun Kota Malang.
“Anak-anak direkrut dari masing-masing tersangka dan anak-anak yang jadi korban juga tidak melapor ke orang tuanya,” tambah Nur. Ia menegaskan masih mendalami praktik prostitusi.
Sementara itu, salah satu tersangka yang paling lama sebagai pemilik warkop cetol saat ditanya kepolisian menungkapkan bahwa, anak-anak bekerja dari pukul 09:00 WIB sampai 15:00 WIB.
“Ada (jam tambahan.red) dari setelah isya sampai 24:00 WIB,” tambahnya sembari menegaskan bahwa ia tidak pernah sengaja anak di bawah umur untuk bekerja di tempatnya.
“Sebenarnya enggak (sengaja menaruh anak-anak.red). Saya kalau mengambil pegawai itu di atas 20 tahun. Tapi kok ( Anak anak) memaksa,” kata salah satu tersangka tersebut di hadapan wartawan.
Pekerjaan sosial (Peksos) Dinas Sosial Kabupaten Malang yang mendampingi korban pekerja di bawah umur, Faroha menyampaikan setelah diassemen pada satu anak bahwa tidak memberitahu orang tuanya bekerja di warkop cetol Gondanglegi.
“Artinya ini bahasa kita ada kongkalikong dengan makelarnya dan pemiliknya (Warkop cetol red). Bahwa anak ini tidak terangan bekerja di situ. Hal ini kontrol orang tua sangat penting,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam operasi gabungan Polres Malang, Satpol PP Kabupaten Malang, dan Muspika Gondanglegi menggerebek 24 warung kopi cetol di Pasar Gondanglegi, Sabtu (4/1) lalu. Hasilnya diamankan tujuh perempuan di bawah umur bekerja sebagai pelayan atau pramusaji. (den/van)