.
Friday, December 13, 2024

Energi Terbarukan Lebih Ekonomis dari Nuklir?

Berita Lainnya

Berita Terbaru

    Beberapa waktu yang lalu, seorang rekan dari Tim Kajian Nuklir PPI sedunia mengirimkan kliping koran di grup WhatsApp. Isinya berita seminar dari salah satu kampus di Jakarta yang cenderung tendensius dan menyerang teknologi fisi nuklir, walau judulnya dibalut dengan “dukungan” terhadap reaktor fusi. Mengingat salah satu pembicaranya dari Dewan Energi Nasional, yang terkenal sebagai salah satu pihak yang paling getol menggembosi teknologi energi nuklir di negeri ini, sebenarnya itu tidak terlalu mengherankan.

    Walau begitu, tetap saja ada klaim yang membuat saya tergelitik. Mereka mengklaim, pada tahun 2030, “energi terbarukan” sudah lebih murah daripada energi nuklir dan fosil. Selain itu, pernyataan soal “ketergantungan” teknologi impor, impor bahan bakar dan limbah radioaktif dipenuhi cacat logika dan tidak berdasarkan data. Di bagian ini, saya mau menguji klaim soal “energi terbarukan” bisa lebih murah dari energi nuklir.

  1. Cacat Logika

    Argumen pembicara yang mengklaim bahwa pada tahun 2030 “energi terbarukan” bisa lebih murah dari energi nuklir, dalam hemat saya, dibangun atas setidaknya tiga kesalahan logika. Pertama, mereka kemungkinan besar menyamakan harga energi nuklir antara di Eropa dan Amerika Utara dengan di Asia, khususnya Indonesia.

    Kalau di dua tempat pertama, nuklir memang relatif mahal karena berbagai faktor, di antaranya politik anti-sains yang lebih meng-anak emas-kan “energi terbarukan” dan, mengutip istilah Prof. Bernard Cohen, “regulatory ratcheting.” Regulasi yang makin ketat dan ketat tapi tidak pernah melonggar, walau tidak ada bukti pengetatan regulasi itu membantu apa-apa dalam meningkatkan level keselamatan reaktor.

    Di grup LinkedIn, saya sering mengamati diskusi dari orang-orang yang sudah puluhan tahun terlibat di industri nuklir, dan mereka rerata sepakat bahwa regulasi dan beban sistem keselamatan di dunia Barat terlalu ketat tapi tidak memberi efek apa-apa. Lagi-lagi, regulatory ratcheting ini diakibatkan oleh politik anti-sains.

    Panel surya dan turbin angin harganya memang terus jatuh, tapi seberapa besar akan terus turun? Saya akan terkesan kalau tahun 2030 harganya bisa turun sampai setengah dari harga sekarang. Saat ini, panel surya memiliki biaya berkisar USD 1000-2000/kW, sementara turbin angin antara USD 2000-4000/kW. Bisa turun sampai setengahnya itu luar biasa.

  • Menguji Klaim

    Oke lah, anggap harga panel surya dan turbin angin bisa turun sampai setengahnya. Sekarang, coba kita mainkan angka-angkanya. Kita uji kebenaran klaim tersebut, dengan mengomparasinya dengan energi nuklir. Untuk pemodelan, saya komparasi PLTS, PLTB, PLTN konvensional dan PLTN maju. Masing-masing pemodelan saya pakai proyeksi saat ini dan perkiraan proyeksi di masa depan.

    Dalam pemodelan ini, biaya penuh diperhitungkan. Tidak boleh yang sudah disubsidi dan segala insentif lainnya. Tujuannya, supaya memberi angka yang benar-benar adil dan terbuka bagi masyarakat yang ingin tahu. Untuk PLTS, saya ambil contoh dari PLTS Cadiz, Filipina.

    Saya baca sebuah publikasi yang mengklaim bahwa “energi terbarukan” di Filipina 10 bisa lebih murah daripada energi fosil, jadi saya pakai yang di sana. PLTS yang diambil sebagai model adalah PLTS Cadiz, memiliki daya terpasang 132,5 MWe dan menelan biaya USD 200 juta. Dimodelkan kondisi saat ini dan kondisi setengah harga.

    Untuk PLTB, kebetulan di Indonesia sudah ada proyeknya, yaitu PLTB Jeneponto di Sulawesi Selatan. PLTB ini dicanangkan memiliki daya 62,5 MWe dan menelan biaya USD 135 juta. Sama seperti PLTS, saya modelkan kondisi saat ini dan setengah harga. PLTN lebih variatif.

    Untuk PLTN konvensional, diambil model PLTN Shin Kori Unit 3 dan 4 di Korea Selatan dan PLTN Barakah di Uni Emirat Arab. Shin Kori diambil karena dianggap memiliki biaya realistis untuk pasar Indonesia, yaitu USD 5 miliar untuk daya 2700 MWe.

    Sementara, PLTN Barakah diambil sebagai batas atas termahal di Asia (walau sebenarnya ini masuk kategori Timur Tengah, tapi tidak apa-apa. Toh masih di benua Asia juga), memakan biaya USD 20,4 miliar untuk daya 5600 MWe. Beda biayanya dua kali lipat, jadi saya kira sudah mewakili.

  • Kesimpulan

Apa yang bisa disimpulkan dari sini? “Energi terbarukan” memiliki keterbatasan alamiah yang menghalanginya menjadi pilihan energi yang murah. Ketergantungannya pada kondisi alam membuat “energi terbarukan” menjadi moda energi paling tidak reliabel dan paling mahal yang pernah ada.         Secanggih apapun teknologinya, ada batasan saintifik dan engineering yang tidak bisa ditabrak. Semurah apapun panel surya dan turbin angin, tidak ada yang bisa memprediksi fluktuasi angin maupun mengubah kondisi siang dan malam. Semurah apapun baterai, ketahanan kimiawinya tidak bisa diperpanjang tanpa batas.

    It’s simply impossible. Ini pil pahit yang mau tidak mau harus ditelan para pemuja “energi terbarukan.” Performa energi nuklir masih jauh melampaui apa yang bisa dilakukan “energi terbarukan.” Bahkan, dalam beberapa skenario, teknologi nuklir “stagnan” masih lebih unggul daripada “energi terbarukan” yang dianggap berkembang dan maju. Hadapilah, “energi terbarukan” tidak bisa lebih ekonomis daripada energi nuklir. Kebijakan yang menomorsatukan “energi terbarukan” dan meminggirkan energi nuklir hanya akan mengundang masalah dalam penyediaan energi nasional maupun dunia.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img