MALANG POSCO MEDIA – Dialah Tsumamah bin Utsal al-Hanafi, salah seorang pembesar orang-orang Arab di Zaman jahiliyah, pemuka Bani Hanifah yang terpandang. Ia adalah raja Yamamah yang perintahnya senantiasa ditaati.
Dalam proses penaklukan kota Makkah, Tsumamah ini tanpa disengaja tertangkap oleh pasukan kaum muslimin yang sedang mengadakan patroli. Tsumamah tertangkap saat ia hendak melakukan perjalanan untuk melaksanakan umroh.
Singkat cerita Tsumamah ini ditawan dan dalam proses penawanannya itu Rasulullah dan para sahabat memperlakukannya dengan sangat terhormat. Tsumamah diberi makanan terbaik dan pelayanan terbaik, sampai pada akhirmya Rasulullah membebaskan Tsumamah tanpa syarat. Pembebasan Tsumamah tanpa syarat inilah yang menyebabkanya bersyahadat dan masuk ke dalam Islam.
Seperti pada umumnya, saat itu orang melakukan umroh dengan bertalbiyah kepada berhala-berhala. Kehadiran Tsumamah saat umroh saat itu cukup menggemparkan para tokoh dan masyarakat. Hal ini dikarenakan kalimat Talbiyah yang dilantunkan oleh Tsumamah adalah kalimat Talbiyah sebagaimana seorang muslim. “Kamu telah murtad Tsumamah”, teriak para tokoh Arab waktu itu, dan seketika Tsumamah ditawan karena dianggap membahayakan keyakinan mereka.
Mereka tidak tahu bahwa Tsumamah ini adalah Raja Yamamah, dan Yamamah ini adalah sebuah negara yang menjadi pemasok satu-satunya kebutuhan bahan pokok warga Makkah. “Sampaikan kepada semua penduduk Yamamah. Mulai hari ini stop mengirim kebutuhan bahan pokok ke Makkah”, Ujar Tsumamah kepada salah seorang utusannya.
Dalam waktu yang tidak lama, perekonomian Makkah Lumpuh total. Barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi, masyarakat bergejolak. “Wahai Tsumamah suruhlah rakyatmu untuk mengirim kembali bahan makanan ke Makkah”, berkata salah seorang tokoh Quraisy kepada Tsumamah.
Singkat cerita setelah melalui negosiasi yang panjang, Rasulullah SAW melalui suratnya berkirim surat kepada Tsumamah untuk membuka kembali embargo ekonomi yang ia lakukan.
Sudah 12 kali Pemilihan Umum sebagai representasi demokrasi di negeri ini diselenggarakan, sudah 7 kali Presiden berganti dan sudah 25 tahun perjalanan reformasi di Indoenesia sejak 1998. Di 78 tahun bangsa ini merdeka, etika berbangsa dan bernegara rasanya masih menjadi sesuatu yang langka. Terlebih dalam konteks politik, seolah ungkapan “tidak ada kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi” menjadi sebuah pembenaran.
Hiruk pikuk jelang pemilu 2024 yang tidak lama lagi berlangsung tentu harus dibarengi dengan semangat untuk mewujudkan bangsa dan negara kita menjadi bangsa yang maju, berdaulat, adil dan makmur, sebagaimana amanat yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Karena hadirnya negara dalam konteks kemasyarakatan dan kebangsaan adalah dengan melihat seberapa besar masalah sosial kemasyarakatan dan hajat hidup manusia di Indonesia ini bisa terselesaikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, angka kemiskinan mencapai 9,36 persen dari total populasi Indonesia setara dengan 25,90 juta orang. Di satu sisi ketimpangan di Indonesia terus naik. Berdasarkan data BPS ketimpangan yang diukur dari gini ratio justru naik.
Pada Maret 2023 gini ratio di Indonesia sebesar 0,388, dimana sebelumnya di bulan yang sama tahun 2022 sebesar 0,384. Fakta ini menunjukkan bahwa di Indonesia orang yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Besarnya sumber daya yang dimiliki oleh bangsa ini belum menjawab permasalahan sosial kemasyarakatan yang terjadi.
Menurut laporan yang sama dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2023 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,99 juta orang, 13 dari 1.000 anak di Indonesia hari ini mengalami putus sekolah, 1 dari 3 balita di Indonesia mengalami stunting yang tentu kondisi ini akan sangat membahayakan kualitas dan daya saing generasi bangsa di masa yang akan datang.
Setidaknya ada tiga kunci untuk menjadikan bangsa dan negara ini menjadi sebuah bangsa yang maju dan juara dalam dinamika nasional dan global yang tengah terjadi. Pertama, Adanya pemimpin yang hebat dan berdedikasi tinggi. Pemimpin adalah penentu, baik dan buruknya perjalanan sebuah bangsa, tergantung dari seberapa kuat dan hebat pemimpin tersebut dalam menjalankan roda pemerintahan. Makmur dan tidaknya sebuah bangsa tergantung dari seberapa cermat dan tepat sang Pemimpin tersebut menjalankan fungsinya.
Kedua, Regulasi pemerintah yang jelas dan adil. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah janji konstitusi yang tertuang dalam falsafah dasar bangsa, bahwa terwujudnya masyarakat yang merasakan keadilan dalam seluruh aspek kehidupannya, atas terselenggaranya pemerintahan dan bangsa adalah hak bagi semua masyarakat. Oleh karenanya kejelasan regulasi dan keadilan dalam pelaksanaannya, merupakan aspek penting yang harus dilakukan.
Ketiga, Masyarakat maju, berpendidikan tinggi dan beragama dengan kuat, hal ini merupakan aspek mendasar yang selayaknya dimiliki oleh bangsa kita. Semakin banyak masyarakat Indonesia yang memiliki sampai pada jenjang pendidikan tinggi, maka potensi untuk menhadirkan masyarakat yang maju akan besar. Tentunya dibarengi dengan kekuatan spiritual yakni agama sebagai pondasinya.
Jika setiap individu terlahir menjadi manusia yang baik dalam artian berpendidikan tinggi, agamanya kuat, dan maju, maka akan tercipta keluarga-keluarga yang baik. Jika keluarga-keluarga di seluruh Indonesia baik maka secara otomatis masyarakatnya pun akan baik dan berkualitas. Jika masyarakatnya baik dan berkualitas maka bangsa dan negara pun akan berkualitas dan baik.
Cerita Raja Yamamah di atas memberikan sebuah gambaran kepada kita betapa pentingnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Betapa pentingnya kejelasan etika bagi terwujudnya sebuah tatanan masyarakat dan bangsa yang baik.
Kontestasi Pemilu yang tinggal menghitung hari ke depan, seyogyanya mampu menjadi sebuah momentum untuk melahirkan kembali para pemimpin, para perwakilan rakyat yang menjujung “etika” demi kemakmuran dan keadilan, demi kedaulatan dan harga diri bangsa.(*)