spot_img
Tuesday, February 11, 2025
spot_img

Etika Dalam Bersosial Media di Zaman Sekarang

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Bunga Ramanda Arin & Aji Ratu

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

-Advertisement- Pengumuman

         Di era digital seperti saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Platform seperti Instagram, Twitter, Facebook, TikTok, dan lainnya memberikan ruang bagi setiap individu untuk berbagi opini, pengalaman, dan informasi. Namun, kebebasan ini sering kali menimbulkan tantangan etika dalam bersosial media, mengingat pengaruh besar yang bisa ditimbulkan oleh setiap unggahan atau komentar.

         Etika dalam bersosial media menjadi isu yang sangat penting karena dunia maya sering kali tidak memiliki batasan yang jelas seperti di dunia nyata. Banyak pengguna yang merasa “anonim” di balik layar, sehingga cenderung melupakan nilai-nilai moral dan tanggung jawab sosial. Hal ini memicu berbagai masalah, seperti penyebaran hoaks, cyberbullying, ujaran kebencian, dan pelanggaran privasi. Oleh karena itu, memahami dan menerapkan etika dalam bersosial media menjadi kebutuhan mendesak.

         Kata media sosial atau yang biasa kita singkat menjadi medsos pasti sudah tidak asing lagi bagi kita. Seiring dengan perkembangan zaman media sosial menjadi semakin populer. Berdasarkan laporan yang dibuat oleh perusahaan media asal Inggirs We Are Social yang bekerja sama dengan Hootsuite, dari total populasi di Indonesia sebanyak 274,9 juta jiwa, 61,8%-nya merupakan pengguna aktif media sosial yang berarti sebanyak 170 juta. Pengguna media sosial di indonesia pasti bertambah dari tahun ke tahun. Dari banyaknya pengguna media sosial di Indonesia, banyak juga masalah yang telah terjadi di media sosial. Krisisnya etika di media sosial menjadi pandangan negara lain terhadap masyarakat Indonesia.

         Media sosial telah mengubah cara manusia berinteraksi dan berkomunikasi secara drastis. Kehadirannya membuka peluang bagi setiap individu untuk berbagi pemikiran, memperluas jaringan sosial, dan mendapatkan informasi dengan mudah. Namun, di balik manfaat ini, media sosial juga menimbulkan berbagai persoalan etika yang semakin relevan untuk dibahas. Penggunaan media sosial tanpa pedoman moral yang jelas telah memicu konflik, misinformasi, hingga kerusakan reputasi individu maupun kelompok. Oleh karena itu, membahas etika dalam bersosial media di zaman sekarang bukan hanya penting, tetapi juga mendesak.

         Pada dasarnya media sosial mempunyai banyak manfaat, beberapa di antaranya yaitu sebagai tempat bersosialisasi, tempat belajar, dan juga sebagai sumber informasi terbaru. Tidak hanya itu, media sosial juga memberikan kesempatan untuk mulai berinteraksi dengan orang baru atau yang tidak kita kenal. Saat ini media sosial merupakan salah satu alat komunikasi yang efektif untuk dilakukan selama pandemi berlangsung. Terlepas dari segala manfaat yang diberikan oleh media sosial, ada satu hal yang harus diperhatikan bagi pengguna media sosial yaitu etika.

         Salah satu daya tarik utama media sosial adalah kebebasan berpendapat yang diusungnya. Setiap orang memiliki hak untuk menyuarakan pikiran dan perasaannya. Namun, kebebasan ini sering kali disalahartikan sebagai hak untuk berkata atau bertindak tanpa batasan. Akibatnya, muncul banyak kasus penyalahgunaan platform media sosial, seperti ujaran kebencian, fitnah, dan bahkan doxing (pengungkapan data pribadi tanpa izin).

         Etika dalam bersosial media mengajarkan bahwa kebebasan berpendapat harus selalu diiringi tanggung jawab. Setiap pengguna harus memahami bahwa apa yang mereka unggah atau tulis bisa berdampak pada orang lain. Perkataan yang kasar atau tidak pantas, meskipun dianggap sepele, dapat menyebabkan dampak psikologis yang serius, seperti depresi atau kecemasan pada korban.

         Mayoritas pengguna media sosial di Indonesia adalah penduduk berumur 25-34 tahun. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, mayoritas pengguna media sosial berumur 25+ tahun yaitu sebanyak 55,84% lalu diikuti oleh pengguna berumur 19-24 tahun sebanyak 18,72%, masyarakat berumur 16-18 tahun sebanyak 9,66% dan berumur 13-15 tahun sebanyak 7,86%. Dari laporan tersebut menggambarkan bahwa para remaja pengguna media sosial harus lebih memperhatikan etika saat berkomunikasi di media sosial. Bukan berarti bagi masyarakat berumur 25+ tahun bisa bertindak seenaknya dalam media sosial. Masyarakat berumur 25+ tahun juga harus memperhatikan etika dan sopan santun saat berkomunikasi di media sosial.

         Salah satu tantangan terbesar dalam etika bermedia sosial adalah melawan penyebaran hoaks dan disinformasi. Dengan kemudahan berbagi informasi, banyak pengguna tanpa sadar menjadi bagian dari rantai penyebaran berita palsu. Hal ini sering kali disebabkan oleh kurangnya kebiasaan untuk memverifikasi sumber informasi sebelum membagikannya.

         Misalnya, dalam situasi pandemi COVID-19, banyak sekali informasi keliru yang beredar di media sosial, mulai dari klaim palsu tentang pengobatan hingga teori konspirasi. Akibatnya, banyak orang yang salah mengambil keputusan, yang berujung pada risiko kesehatan atau kerugian lainnya. Dalam konteks ini, etika bersosial media berarti bertanggung jawab untuk menyaring dan memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.

         Fenomena lain yang relevan dengan etika di media sosial adalah budaya cancel culture. Pada dasarnya, cancel culture adalah cara masyarakat untuk memboikot seseorang atau organisasi yang dianggap melanggar norma sosial atau moral. Namun, praktik ini sering kali melampaui batas etika.

         Cancel culture cenderung tidak memberikan ruang bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahan atau memberikan klarifikasi. Sebaliknya, mereka sering kali dihukum secara sosial tanpa melalui proses yang adil. Ini menciptakan lingkungan yang tidak sehat di media sosial, di mana masyarakat lebih fokus pada penghukuman daripada edukasi atau rehabilitasi.

         Masyarakat Indonesia bisa dikatakan krisis dalam etika di media sosial. Dapat kita lihat dari beberapa kasus yaitu kasus caci maki pengantin gay di Thailand, kasus salah serang akun media sosial komedian yang dikira adalah wasit All England, kasus yang seorang paman difitnah memperkosa keponakan, dan kasus selebritas TikTok Indonesia yang biasa disebut Una yang dibully karena terlalu cantik dan imut, dan juga kasus seorang seleb Reemar Martin asal Filipina yang dibully karena terlalu cantik..Seperti yang kita lihat dari kasus-kasus tersebut, beberapa di antaranya merupakan hal yang sepele seperti selebritas TikTok yang dibully karena terlalu cantik. Dan juga maraknya hoaks yang dilakukan di media sosial dengan bertujuan untuk merugikan pihak tertentu merupakan hal yang sering kita temukan di Indonesia. Kasus tersebut menandakan bahwa banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak memperhatikan etika dalam media sosial.

         Selama pandemi ini semua orang menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, jika tingkat kesopanan terus menurun dapat dikatakan bahwa sikap kurangnya etika dalam media sosial merupakan representasi dari sebagian warga Indonesia yang sebenarnya.

         Etika merupakan hal yang sangat penting di kehidupan sehari-hari. Setiap orang pasti telah diajarkan mengenai etika sejak kecil. Karena etika berperan penting dalam membangun suatu hubungan atau kepercayaan. Oleh karena itu, etika dalam berkomunikasi di media sosial harus lebih diperhatikan. Karena media sosial merupakan ruang publik yang berarti setiap kata yang kita buat atau setiap pendapat yang kita berikan harus selalu diperhatikan.

         Seperti halnya juga sebuah kasus yang beredar ditiktok seorang perawat yang membuat video tentang pemasangaan selang kateter terhadap pasien cowo itu juga termasuk menyalagunakan sosial media yang dimanaa terdapat dalam pasal 27 aya t 3 UU ITE menurut Enda disebutkan terkait pencemaran nama baik instansi dan privasi klien.

      Dalam penggunaan media sosial, Enda menerangkan memang tidak ada kode etik tertulis yang mengatur para pengguna media sosial.namun masyarakaat harus memahami adanya etiket atau semacam panduan tidak tertulis agar kita mudah terjebak dalam kasus pelanggaaran Undang-Undang IT.

         Seperti yang kita ketahui bersama, apapun yang diunggah ke media sosial tentu saja akan menimbulkan pro dan kontra. Terlebih menggunakan medsos, seseorang dengan mudahnya memberi komentar kepada orang lain, sekalipun tidak saling mengenal. Komentar yang tidak baik tentu saja akan membuat orang lain yang membacanya bisa merasa sakit hati. Apalagi jika menggunakan medsos, membuat ‘status’ yang berisi pernyataan yang belum tentu kebenarannya diketahui di banyak orang bahkan menjadi viral sangat mudah untuk dilakukan.

         Etika merupakan prinsip-prinsip yang diterima untuk mengatur perilaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebelum mengatakan atau menyampaikan sesuatu kepada orang lain, kita memiliki tanggung jawab untuk memikirkan apa yang akan disampaikan dan konsekuensinya. Penggunaan medsos yang tidak proporsional dapat berujung pada tindak kriminal dan menimbulkan konsekuensi hukum. Hal penting lain yang harus dilakukan ketika kita berkomunikasi di medsos, kita harus tetap memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain.

         Salah satu tantangan utama adalah sifat viral dari media sosial. Informasi, baik yang benar maupun salah, dapat menyebar dengan cepat dan mencapai jutaan orang dalam waktu singkat. Hal ini sering kali mempersulit kontrol atas dampak negatif dari unggahan yang tidak bertanggung jawab.

         Selain itu, budaya cancel culture juga menjadi isu etika yang kompleks. Di satu sisi, cancel culture dapat menjadi alat untuk menuntut tanggung jawab sosial terhadap perilaku yang tidak etis. Namun, di sisi lain, budaya ini sering kali berujung pada perundungan massal tanpa memberikan ruang untuk klarifikasi atau perbaikan.

         Prinsip dasar etika di media sosial, a. Jujur dan Bertanggung Jawab Dalam bersosial media, kejujuran adalah kunci. Jangan menyebarkan informasi yang belum diverifikasi kebenarannya, karena hal itu dapat menimbulkan kerugian besar bagi individu maupun masyarakat. Tanggung jawab dalam setiap unggahan mencakup memastikan bahwa apa yang kita bagikan tidak merugikan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, b. Menghormati Privasi Orang Lain, Tidak semua hal layak untuk dibagikan ke publik, terutama yang menyangkut kehidupan pribadi orang lain. Mengunggah foto atau informasi tanpa izin bisa melanggar hak privasi seseorang dan menimbulkan dampak buruk, baik secara sosial maupun hukum, c. Menghindari Ujaran Kebencian, Media sosial sering digunakan sebagai ruang diskusi, tetapi perbedaan pendapat tidak seharusnya menjadi alasan untuk melontarkan ujaran kebencian. Komentar yang bernada kasar, rasis, atau diskriminatif dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat di dunia maya, d. Berempati dan Menghargai Perasaan Orang Lain, Sebelum mengunggah sesuatu, penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Apakah konten tersebut bisa melukai perasaan seseorang? Apakah komentar tersebut bisa menyakiti pihak tertentu? Berempati dalam bersosial media adalah salah satu cara untuk menjaga harmoni dalam komunikasi digital.

         Membangun Kesadaran Etika, Penting bagi setiap pengguna media sosial untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya etika dalam bersosial media. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:

Edukasi Digital: Pendidikan tentang literasi digital harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah untuk mengajarkan generasi muda tentang cara menggunakan media sosial dengan bijak. Regulasi yang Tegas: Pemerintah dan platform media sosial perlu memperketat aturan untuk mencegah penyebaran konten yang tidak etis. Menjadi Teladan: Sebagai pengguna media sosial, kita harus berusaha menjadi contoh yang baik dalam bersikap dan berkomunikasi.

         Salah satu dampak buruk dari kurangnya kesadaran etika di media sosial adalah maraknya cyberbullying dan ujaran kebencian. Dunia maya sering kali memberikan rasa anonimitas kepada pengguna, sehingga mereka merasa bebas untuk menghina, mengejek, atau mengintimidasi orang lain.

         Kasus-kasus cyberbullying sering kali berakhir tragis, terutama bagi korban yang tidak memiliki dukungan mental yang kuat. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memahami bahwa komentar atau tindakan mereka di media sosial dapat memiliki konsekuensi yang sangat nyata di dunia nyata. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img