Makan bergizi gratis (MBG) merupakan salah satu program Kabinet Prabowo-Gibran yang mendapat perhatian selain program-program lain seperti: Sekolah Rakyat dan Koperasi Merah Putih. Berkali-kali Prabowo menegaskan pentingnya MBG untuk memperbaiki gizi warga yang akhirnya berefek kepada penurunan angka stunting.
Selain itu program ini memang populis menarik demi mendulang simpatik politik. Siapapun orang yang diberi sesuatu secara “gratis” pasti senang. Persoalannya apakah sebagai program “charity”, perumus dan pelaksana MBG sudah memikirkan usia jangka panjang?
Tentunya mudah menjawab pertanyaan di atas karena kenyataan-kenyataan lapang jauh dari ideal. Keracunan terjadi di Cianjur, Sukoharjo dan Bombana, Sulawesi Tenggara menjadi catatan kurang bagus. Mitra dapur MBG mengalami kerugian hampir Rp 1 miliar sehingga “kapok” mengikuti program ini. Salah satu kasus ditemui di kawasan Kalibata, Pancoran, Jakarta Pusat. Belum lagi, pelajar di Dekai, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan lebih memilih Pendidikan Gratis dari pada MBG. Belum lagi bicara akses dan pemerataan program yang seharusnya sudah menjangkau semua wilayah NKRI, pasti implementasi masalah ini kian rumit.
Perlu Evaluasi
Apapun kebijakan, tidak ada jaminan implementasi kebijakan berjalan mulus sesuai tujuan dan dampak yang diharapkan. Ingat, subyek dan obyek kebijakan makhluk yang bebas menentukan kehendak. Kapasitas pelaksana program juga tidak selalu bisa diandalkan. Telebih jangkauan program nasional dengan cakupan luas yang membutuhkan koordinasi dan konsolidasi, maka sebaik apapun konsep atau perencanaan, belum tentu ideal ketika diterapkan di lapangan. Ada-ada saja masalah konsep, pelaksana, pendanaan, sasaran program dan lingkungan kebijakan.
Benarkah implementasi sudah seperti diharapkan? Masalah-masalah apa saja yang dihadapi program di lapangan? Benarkan pelaksana di lapangan telah bekerja sesuai konsep ideal yang dirumuskan? Benarkah ia pelaksana lapangan yang kredibel jauh dari nepotisme penguasa? Benarkah, tidak ada efek negatif baik bagi pelaksana maupun penerima program? Sampai dimana capaian program hari ini? Informasi tentang sebab dan akibat dari suatu kebijakan yang sedang diimplementasikan perlu digali sebanyak-banyaknya.
Evaluasi bertujuan, menjaga kebijakan sesuai tujuan dan sasaran, menemukan kesalahan sedini mungkin sehingga mengurangi risiko lebih besar dan melakukan tindakan modifikasi terhadap kebijakan apabila hasil monitoring mengharuskan langkah untuk itu (Subarsono, 2006).
Agar MBG Lebih Baik
Sebenarnya banyak indikator yang bisa dibuat untuk evaluasi program ini. Poin terpenting yaitu identifikasi dengan bantuan indikator sesuai, agar mudah dioperasionalkan untuk “mengukur” dampak dari program yang sedang berlangsung (Wollmann, 2017). Evaluasi akan menaruh perhatian kepada proses, efisiensi, outcome dan dampak (Kurniawan dkk, 2023). Penulis membatasi pembahasan tentang struktural, kultural dan kelembagaan pada evaluasi.
Analisa struktural menjelaskan bahwa implementasi program membutuhkan hirarkis power dan kewenangan dari pusat sampai daerah. Kepala Badan Gizi nasional harus memastikan jalannya garis komando dan sigap memodifikasi program jika ditemukan perilaku menyimpang. Analisa struktural menyatakan, MBG merupakan program organisasi politik makro yang terkait program-program lain dengan anggaran tidak sedikit. Pertanyaan kita, benarkah, APBN kita cukup membiayai semua program setidak-tidaknya lima tahun ke depan?
Sementara itu, analisa kultural menjelaskan tentang kinerja aktor-aktor di lapangan, baik pelaksana, stakeholders dan penerima program. Kasus-kasus keracunan makanan dan katering yang belum dibayar menunjukkan kultur kinerja yang tidak profesional. Di era konsumsi “tanda” hari ini butuh keteladanan perilaku aktor-aktor, aktor harus sigap, begitu ditemukan kelemahan langsung klarifikasi dan perbaikan.
Sedangkan, keorganisasian MBG belum sepenuhnya impersonal. Entah sengaja apa tidak, tim pelaksana masih terkait kekuatan politik yang memerintah, akibatnya birokrasi kurang bekerja profesional.
Ada baiknya evaluasi MBG ditindaklanjuti perbaikan komitmen. Langkah yang bisa dilakukan yaitu. Pertama, berpikir teoritis. Selama ini evaluasi dilakukan para politisi dengan bersilat lidah dalam ruang wacana. Dalam melaksanakan program mau tidak mau, pemerintah dan semua pelaksana program harus berpikir teoritis.
Tidak saja yang penting kerja, kerja dan kerja, tetapi kajian teoritik program dibahas. Sayangnya, Prabowo kurang suka dengan wacana yang ia identikkan “omon-omon.” Bagaimana kita tahu efektivitas program tanpa diskusi atau focus group discussion (FGD) yang membahas masalah itu?
Kedua, budgeting. Evaluasi merupakan penilaian komprehensif terhadap seluruh proses dan konteks kebijakan (Nugroho, 2015), maka ia melibatkan komponen-komponen lapangan bersama-sama. Untuk itu dibutuhkan biaya dan penganggaran untuk kepentingan evaluasi multidimensi, maka political will tentang penganggaran harus jelas.
Ketiga, penguatan kolaborasi. Pelaksanaan MBG seharusnya mempraktikkan tata kelola pemerintahan kolaboratif (collaborative governance) yang telah menjadi trend global hari-hari ini. Selain sinergi digaungkan lapis pemerintahan, sinergi dengan sektor-sektor bisnis dan sosial harus dilakukan seperti: kolaborasi dengan cerdik pandai dan masyarakat sipil. Memang tidak mudah melakukan ini, tetapi jika berhasil mengoptimalkan peran masing-masing, maka capaian maksimal akan diperoleh. Semoga.(*)