Dulu, orang hanya mengenal istilah ngopi (minum kopi) dari seduhan kopi hitam yang disajikan di rumah. Penyajiannya pun sangat sederhana, kopi bubuk hitam yang diseduh (bersama gula) dalam cangkir atau gelas tanpa memperhatikan estetika. Pada sebagian kalangan masyarakat, kopi bubuk sering kali dibuat dari olahan sendiri, masih tradisional, disangrai (roasted) dan dihaluskan sendiri sehingga memiliki citarasa original.
Sangat berbeda dengan kopi-kopi yang ada saat ini. Bermacam-macam produk kopi telah tersedia, dari jenis kopi lokal daerah dan manca dengan karakteristik rasa yang berbeda-beda. Mau ngopi jenis apa saja, kapan saja, dengan racikan-racikan modern dengan mudah diperoleh. Kedai-kedai kopi pun semakin banyak, sehingga tidak aneh jika ngopi menjadi fenomena populer di semua kalangan usia, tua dan muda.
Tren atau Gengsi
Fenomena ngopi kadang disamaartikan dengan nongkrong (hang out) bersama teman, mengobrol, berdiskusi tentang berbagai hal. Tren ngopi sudah tidak lagi sekadar meminum kopi semata. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widya Gusti Prianti (2022) ditemukan fakta bahwa aktivitas ngopi pada dasarnya bukan dilakukan karena alasan kebutuhan, namun lebih kepada konsumsi simbolik, tren, dan prestise.
Untuk sebagian kalangan, ngopi juga menjadi aktivitas yang mendukung eksistensi sosial. Di beberapa kafe, sengaja ditata sedemikian rupa, dilengkapi pernak-pernik estetik, agar terlihat mewah sehingga menarik minat pengunjung. Tidak jarang, aktivitas ngopi menjadi momen untuk adu gengsi antara individu satu dengan lainnya.
Sederhana saja, identitas sosial seseorang dapat dilihat dari selera dan tempat ngopinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ngopi dapat menjadi salah satu aktivitas untuk mengikuti tren, di samping bagian dari eksistensi yang bergengsi bagi seseorang.
Pada sisi yang lain, menikmati kopi tidak selalu untuk keren-kerenan, apalagi adu gengsi di kafe kekinian. Ada juga sebagian kalangan yang ingin menikmati kopi dengan cara yang biasa dan sederhana. Di pinggir jalan, di beberapa titik keramaian kota, dapat kita temukan penjaja kopi dengan motornya.
Hanya dengan beberapa brand kopi kemasan, alas duduk tikar tanpa meja, penerangan seadanya, sudah cukup memberi ruang untuk menikmati kopi. Ngopi dengan style minimalis seperti ini jauh dari sebutan berkelas, namun tetap diburu oleh kalangan tertentu, untuk tetap disebut ngopi.
Ngopi Sehat dan Produktivitas
Kopi bubuk yang dihasilkan dari biji kopi tentu memiliki kandungan yang bermanfaat untuk tubuh. Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa kandungan kafein pada kopi memberikan manfaat untuk kesehatan. Konsumsi kafein berguna untuk meningkatkan kewaspadaan, menghilangkan kantuk dan menaikkan mood. Kafein juga membantu kinerja fisik dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan kontraksi otot (Ennis, 2014).
Namun demikian, konsumsi kafein yang berlebihan juga berdampak kurang baik. Efek samping kafein yang berlebihan termasuk detak jantung yang tidak normal, pusing, insomnia, masalah lambung, dan masalah pencernaan. Menurut Standar Nasional Indonesia 01-7152-2006, batas konsumsi kafein harian adalah 150 mg atau 50 mg per sajian, tergantung pada makanan atau minuman (Elfariyanti, 2020).
Apabila ngopi dan ngafe menjadi bagian dari rutinitas dan kebutuhan masyarakat saat ini, perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan fisik dan kesehatan finansial. Siapapun boleh menikmati kopi, untuk kebutuhan melepas stres dan menyegarkan pikiran (self-care). Hanya saja, menjadi penting untuk memperhatikan jumlah asupan kopi (dan gula) yang dikonsumsi setiap hari.
Asal tetap pada batas wajar dan tidak berlebihan, maka ngopi tidak akan menjadi masalah berarti. Bukan hanya dari kandungan kopi yang dikonsumsi, pertimbangan lain dari kebiasaan ngopi hingga larut malam, tentu juga berdampak kurang baik terhadap kesehatan.
Sedangkan untuk kesehatan finansial, kebiasaan ngafe sedikit banyak berpengaruh terhadap kondisi keuangan. Apalagi untuk konsumen yang belum memiliki penghasilan tetap. Bagi sebagian orang, ngafe dua tiga kali dalam seminggu, dianggap sebagai kebiasaan yang menguras dompet.
Jika dalam seminggu seseorang menghabiskan rata-rata Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu saja untuk kopi dan camilan, maka pengeluaran dalam sebulan dapat mencapai lebih dari Rp 800 ribu. Jumlah yang cukup besar bila dibandingkan dengan alternatif membuat kopi sendiri di rumah yang jauh lebih ekonomis.
Selain itu, untuk mereka yang memiliki tujuan berinvestasi, kebiasaan ngafe ini dapat menjadi pengeluaran yang kurang bijak. Uang yang dihabiskan untuk ngafe tentu dapat dialihkan ke kebutuhan yang lebih esensial atau investasi jangka panjang. Ngafe secara sadar dan sesuai dengan kemampuan keuangan, dapat menjadi cara yang menyenangkan untuk menikmati hidup.
Kegemaran ngopi memiliki makna dan pengaruh dalam kehidupan seseorang. Ngopi di kafe jika dalam keperluan pekerjaan, bisnis dan membangun relasi, tentu sah-sah saja. Banyak juga para pekerja, pebisnis, komunitas sosial, mahasiswa bahkan pelajar menjadikan acara ngopi sebagai ‘ruang kerja’ produktif.
Coffee Shop (kafe) dengan suasana yang nyaman, dengan akses internet serta alunan musik, dapat menciptakan atmosfer yang berbeda dari rutinitas. Ngopi tidak sekadar ‘having fun’, tetapi sebagai ruang sosialisasi yang juga berperan dalam meningkatkan produktivitas.
Tidak jarang ide-ide kreatif, pengalaman-pengalaman diskusi, brainstormig yang berwawasan global, komunitas-komunitas produktif dapat ditemukan dalam suasana yang lebih santai saat ngopi dan ngafe. Apalagi untuk mereka yang berorientasi pada hasil dan pencapaian, tentu tidak mudah menghabiskan uang dan waktu di kafe, tanpa ada hasil yang sepadan.(*)