Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang
Di beragam platform media sosial (medsos) banyak orang mengunggah foto yang diolah hingga hasilnya menyerupai gambar animasi khas studio Ghibli asal Jepang. Aneka gambar apapun dalam sekejap bisa berubah jadi kartun animasi ini berkat campur tangan artificial intelligence (AI). Kemunculan olah gambar AI ini menuai kritik banyak kalangan terutama terkait soal hak cipta dan etika.
Tak sedikit pengguna medsos yang mengunggah foto kebersamaan saat Lebaran, ketika rekreasi, atau foto kebersamaan keluarganya yang dijadikan gaya kartun. Aneka foto ala Ghibli tersebut selanjutnya banyak dibagikan di beragam akun medsos. Olah gambar ini kini jadi tren di kalangan pengguna medsos. Mereka mengolah foto koleksinya agar menjadi visual baru yang lebih unik dan karikatural.
Melalui fitur generate picture pada aplikasi generative AI ChatGPT, gambar apapun bisa diubah jadi kartun atau animasi yang biasanya hanya bisa dilakukan studio Ghibli Jepang. Kemunculan teknologi ini di satu sisi menunjukkan kekuatan teknologi AI, namun di sisi lain menimbulkan keprihatinan karena hal ini dapat melanggar hak cipta karya seni dan etika oleh OpenAI selaku pengembang ChatGPT.
Fenomena ini juga memunculkan tren baru yakni jasa edit foto ala Ghibli yang kini menjamur di platform Instagram dan online shop seperti Shopee. Dengan harga yang sangat murah, mulai dari Rp 1.000 hingga Rp15.000, siapa pun kini bisa masuk ke dunia Ghibli hanya dengan mengirimkan fotonya dan diubah jadi gambar karakter anime yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh studio Ghibli.
Presiden Donald Trump juga ikut-ikutan tren buat foto ala Studio Ghibli di ChatGPT dan mengunggahnya di akun resmi Gedung Putih di X. Di tanah air, sejumlah politisi, artis, dan figur publik rame-rame mengunggah foto ala Ghibli dan dalam sekejap diikuti banyak pengguna medsos. Banyak yang hanya ikuti tren agar tak dianggap ketinggalan tanpa peduli tentang hak cipta dan etika.
Tabrak Hak Cipta
Olah foto ala studio Ghibli yang dengan sekejap membuat karya seni visual ini bisa membunuh karya seni konvensional yang dibangun bertahun-tahun. Studio Ghibli asal Jepang butuh waktu tahunan hanya untuk menghasilkan karya visual kartun dengan durasi beberapa detik atau menit. Beberapa film karya Studio Ghibli butuh waktu tahunan untuk merampungkannya.
Pendiri Studio Ghibli, Miyako Hiyazaki (84), memberikan pandangannya terhadap karya seni yang dibuat oleh kecerdasan buatan. Miyazaki mengecam penggunaan AI dalam karya animasi. Ia menggambarkan seni yang dihasilkan AI sebagai “penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri.” Miyazaki dikenal karena animasi yang digambar dengan tangan dan metode bingkai demi bingkai yang cermat. Kini hanya sekali klik, karya serupa produksi studio Ghibli bisa dihasilkan lewat ChatGPT.
Fenomena ini menunjukkan kemudahan AI dalam memproduksi karya seni yang mempercepat proses produksi dan mengurangi biaya. Akan tetapi, perkembangan teknologi ini berpotensi dapat menggantikan kreativitas para seniman. Kalau hal ini terus terjadi dan banyak cabang seni yang mampu dihasilkan lewat campur tangan AI maka kehidupan berkesenian bisa terpuruk.
Sebaiknya AI dilarang apabila penggunaannya menggantikan seniman dan merugikan industri kreatif. Sebaliknya, AI dapat digunakan sebatas sebagai alat bantu itupun harus dapat dipastikan jika etika dan praktik penggunaannya tak merugikan. Dalam kaitan ini, perlu ada regulasi yang mengatur hak cipta atas praktik penggunaan AI dalam produksi karya seni dan karya bidang apapun.
Perlu Bijak
Menggunakan teknologi memang perlu bijak. Seiring dengan perkembangan teknologi, kehadiran AI telah menjadi keniscayaan. Namun, kehadiran AI pelan namun pasti bakal menggeser peran manusia. Regulasi yang mengatur AI kalah cepat dengan perkembangan AI itu sendiri sehingga kehadiran teknologi dalam kehidupan manusia lebih dominan dampak negatifnya ketimbang manfaatnya.
AI dalam segala bidang kehidupan manusia sejatinya hanya sebagai alat bantu, bukan mengganti peran manusia. AI itu lebih tepat sebagai co-pilot manusia. Artinya, kendali utamanya (pilot)-nya tetap manusia. Keberadaan dan penggunaan AI dalam banyak bidang kehidupan perlu sikap bijak. Para kreator AI perlu bijak dengan tetap mengutamakan peran manusia. Sementara bagi pengguna teknologi juga wajib bijak dalam pemanfaatannya.
Tren foto ala Ghibli memperlihatkan bagaimana masyarakat digital kerap mengabaikan aspek legal demi mengikuti arus viralitas. Untuk itu kita perlu bijak sebelum memutuskan untuk ikut ubah foto jadi gambar ala Ghibli dan menjadikannya foto profil. Jangan gara-gara demi ikut tren, tanpa sadar ikut melanggar hak cipta kreatif orang lain. Karena di balik keindahan visual Ghibli, ada nilai dan integritas seni yang tak bisa dengan gampangnya dihasilkan oleh satu klik AI.
Tak dapat dipungkiri bahwa AI membawa banyak perubahan dan memberikan kemudahan di setiap bidang, termasuk seni. Penggunaan AI perlu bijak. Bukan melarang sepenuhnya, tetapi mengaturnya agar tak merugikan seniman dan industri kreatif. Perlu batas yang jelas di mana AI dilarang terutama jika AI menghilangkan kreativitas dan ekspresi manusia. Prinsipnya, kehadiran AI tak boleh “membunuh” keberadaan manusia.(*)
KUTIPAN //
‘’Miyazaki mengecam penggunaan AI dalam karya animasi. Ia menggambarkan seni yang dihasilkan AI sebagai “penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri.” Miyazaki dikenal karena animasi yang digambar dengan tangan dan metode bingkai demi bingkai yang cermat. Kini hanya sekali klik, karya serupa produksi studio Ghibli bisa dihasilkan lewat ChatGPT.’’
-Advertisement-.