spot_img
Friday, October 11, 2024
spot_img

FUFUFAFA

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang

          FUFUFAFA, bukan nama orang, bukan pula sebuah lafal mantra mujarab. Fufufafa adalah nama akun komunitas online di Kaskus yang sudah beberapa pekan ini jadi polemik. Polemik muncul karena akun yang sering mengunggah konten tak pantas itu diduga milik putra sulung Presiden Joko Widodo. Gibran Rakabuming Raka membantah kalau itu akun miliknya. Sementara sejumlah pakar melacak jejak digital akun itu yang kepemilikannya mengarah pada Gibran.

- Advertisement -

          Sifat anonimitas yang melekat pada media digital menjadikan masalah ini sulit terurai. Fenomena second account media sosial (medsos) juga menjadikan kasus ini muncul. Nama akun ini serupa akun nama samaran atau anonim. Akun dengan nama bukan identitas sebenarnya banyak dijumpai di beragam platform medsos. Sengaja akun anonim dipilih sejumlah orang untuk menyerang lawan atau pihak lain dengan tidak bertanggungjawab.   

          Dari beberapa konten akun Fufufafa yang dibagikan ulang oleh warganet menunjukkan bahwa konten dalam akun Fufufafa sering menyenggol politikus senior. Mulai mantan Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Prabowo Subianto. Dari beberapa unggahan akun Fufufafa yang viral di medsos lebih bernada nyinyir dan menghina pada beberapa politisi senior.

           Seiring dengan menggelindingnya kasus akun Fufufafa ini, sejumlah warganet juga terus memunculkan beragam analisa dan jejak digital akun dimaksud. Beberapa unggahan video dari tangkap layar akun beredar di sejumlah platform medsos. Di Twitter (X), Instagram, YouTube, dan TikTok ramai aneka konten tentang Fufufafa. Dengan cepat kasus ini viral dan bikin riuh di ranah maya dan dunia nyata.

Bumerang Jejak Digital

          Mengutip pernyataan Plato bahwa “Jejak langkah kita di masa lalu adalah bayangan yang akan selalu mengikuti, apakah itu terang atau gelap.” Sadar atau tidak, jejak digital mencerminkan identitas dan membentuk narasi tentang siapa kita, apa yang kita lakukan, dan apa yang kita nilai. Dari unggahan di medsos sampai riwayat pencarian, jejak tersebut memperlihatkan kepada dunia bagian dari identitas kita yang mungkin tak pernah kita sadari sebelumnya.

          Mencuatnya kasus Fufufafa menunjukkan betapa jejak digital dapat menjadi ancaman yang serius ketika terungkap kembali, terutama ketika menyangkut hujatan yang mengarah kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto. Munculnya kasus ini juga memperlihatkan bagaimana unggahan masa lalu di medsos bisa menjadi bumerang yang menghancurkan reputasi seseorang di kemudian hari.

          Jejak digital masa lalu sebenarnya sulit dihapus. Memang dimungkinkan sebuah konten yang telah diunggah bisa di delete, namun bisa jadi konten tersebut sudah diunduh atau ditangkap layar (screenshot) oleh orang lain. Ketika sebuah unggahan lebih bersifat negatif, bisa jadi akan diunduh orang lain dan dijadikan amunisi menyerang seseorang di kemudian hari.

          Jejak digital dengan gampang bisa dilacak oleh warganet. Riuhnya kasus Fufufafa hingga dua pekan terakhir ini tak lepas dari banyaknya narasi di medsos yang membahas kasus ini.  Aksi warganet juga dapat mempengaruhi agenda media, terutama di media digital. Melalui platform medsos, warganet juga memiliki kekuatan untuk menentukan isu-isu yang dianggap penting dan mendesak, yang kemudian bisa mempengaruhi liputan media arus utama.

Viralitas Aksi Warganet

          Viralitas kasus ini tak lepas dari efek gema (echo chamber effect) yang melekat pada medsos. Echo chamber adalah ruang di dunia maya, tempat orang berteriak dengan lantang. Echo chamber, efek gema, atau gaung merupakan deskripsi metafora (metaphorical description) dari situasi yang membuat orang percaya pada sesuatu karena adanya pengulangan yang terus menerus. Informasi yang terus direpetisi berpeluang menimbulkan orang lain ikut meniru.

          Informasi tentang akun Fufufafa terus menggema dan menggelembung karena sistem algoritma di medsos akan terus menyajikan berita dan informasi yang paling sering diklik. Ketika para pengguna medsos mencari informasi tentang Fufufafa maka informasi terkait hal ini otomatis terus menjejali konten di ruang maya mereka. Hal ini persis dengan pola penayangan iklan online yang terus mencekoki iklan sejenis pada mereka yang mencari produk tertentu.

          Munculnya kasus ini tak terlepas dari keisengan warganet. Aksi warganet memang tak bisa dianggap enteng. Seperti yang terjadi dalam banyak kasus, kekuatan aksi warganet bisa menjadikan kasus yang mungkin telah dilupakan bisa kembali muncul ke permukaan. Seperti dalam kasus munculnya kembali unggahan lama akun Fufufafa. Kekuatan viralitas juga menambah kegaduhan dalam kasus ini.

          Jejak digital, yang seringkali tidak dikelola dengan baik, dapat digali dan dieksploitasi oleh lawan politik atau bahkan publik yang haus akan kontroversi. Mengutip penelitian dari Institute for Digital Democracy pada 2022 menunjukkan bahwa konten negatif memiliki kemungkinan 70 persen lebih besar untuk dibagikan dibandingkan konten positif. 85 persen masyarakat mengakui bahwa mereka lebih tertarik pada berita kontroversial daripada berita positif.

          Ada beberapa motif dari munculnya unggahan konten lawas akun Fufufafa ini. Motif politik sepertinya menjadi salah satu motif terkuatnya. Apapun motifnya, fenomena ini menegasikan bahwa kita tak boleh main-main dengan jejak digital. Jejak digital memang mampu melambungkan nama seseorang, namun bisa juga jadi senjata makan tuan. Waspadalah! (*)

x

Oleh: Sugeng Winarno

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP

Universitas Muhammadiyah Malang

          FUFUFAFA, bukan nama orang, bukan pula sebuah lafal mantra mujarab. Fufufafa adalah nama akun komunitas online di Kaskus yang sudah beberapa pekan ini jadi polemik. Polemik muncul karena akun yang sering mengunggah konten tak pantas itu diduga milik putra sulung Presiden Joko Widodo. Gibran Rakabuming Raka membantah kalau itu akun miliknya. Sementara sejumlah pakar melacak jejak digital akun itu yang kepemilikannya mengarah pada Gibran.

          Sifat anonimitas yang melekat pada media digital menjadikan masalah ini sulit terurai. Fenomena second account media sosial (medsos) juga menjadikan kasus ini muncul. Nama akun ini serupa akun nama samaran atau anonim. Akun dengan nama bukan identitas sebenarnya banyak dijumpai di beragam platform medsos. Sengaja akun anonim dipilih sejumlah orang untuk menyerang lawan atau pihak lain dengan tidak bertanggungjawab.   

          Dari beberapa konten akun Fufufafa yang dibagikan ulang oleh warganet menunjukkan bahwa konten dalam akun Fufufafa sering menyenggol politikus senior. Mulai mantan Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Prabowo Subianto. Dari beberapa unggahan akun Fufufafa yang viral di medsos lebih bernada nyinyir dan menghina pada beberapa politisi senior.

           Seiring dengan menggelindingnya kasus akun Fufufafa ini, sejumlah warganet juga terus memunculkan beragam analisa dan jejak digital akun dimaksud. Beberapa unggahan video dari tangkap layar akun beredar di sejumlah platform medsos. Di Twitter (X), Instagram, YouTube, dan TikTok ramai aneka konten tentang Fufufafa. Dengan cepat kasus ini viral dan bikin riuh di ranah maya dan dunia nyata.

Bumerang Jejak Digital

          Mengutip pernyataan Plato bahwa “Jejak langkah kita di masa lalu adalah bayangan yang akan selalu mengikuti, apakah itu terang atau gelap.” Sadar atau tidak, jejak digital mencerminkan identitas dan membentuk narasi tentang siapa kita, apa yang kita lakukan, dan apa yang kita nilai. Dari unggahan di medsos sampai riwayat pencarian, jejak tersebut memperlihatkan kepada dunia bagian dari identitas kita yang mungkin tak pernah kita sadari sebelumnya.

          Mencuatnya kasus Fufufafa menunjukkan betapa jejak digital dapat menjadi ancaman yang serius ketika terungkap kembali, terutama ketika menyangkut hujatan yang mengarah kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto. Munculnya kasus ini juga memperlihatkan bagaimana unggahan masa lalu di medsos bisa menjadi bumerang yang menghancurkan reputasi seseorang di kemudian hari.

          Jejak digital masa lalu sebenarnya sulit dihapus. Memang dimungkinkan sebuah konten yang telah diunggah bisa di delete, namun bisa jadi konten tersebut sudah diunduh atau ditangkap layar (screenshot) oleh orang lain. Ketika sebuah unggahan lebih bersifat negatif, bisa jadi akan diunduh orang lain dan dijadikan amunisi menyerang seseorang di kemudian hari.

          Jejak digital dengan gampang bisa dilacak oleh warganet. Riuhnya kasus Fufufafa hingga dua pekan terakhir ini tak lepas dari banyaknya narasi di medsos yang membahas kasus ini.  Aksi warganet juga dapat mempengaruhi agenda media, terutama di media digital. Melalui platform medsos, warganet juga memiliki kekuatan untuk menentukan isu-isu yang dianggap penting dan mendesak, yang kemudian bisa mempengaruhi liputan media arus utama.

Viralitas Aksi Warganet

          Viralitas kasus ini tak lepas dari efek gema (echo chamber effect) yang melekat pada medsos. Echo chamber adalah ruang di dunia maya, tempat orang berteriak dengan lantang. Echo chamber, efek gema, atau gaung merupakan deskripsi metafora (metaphorical description) dari situasi yang membuat orang percaya pada sesuatu karena adanya pengulangan yang terus menerus. Informasi yang terus direpetisi berpeluang menimbulkan orang lain ikut meniru.

          Informasi tentang akun Fufufafa terus menggema dan menggelembung karena sistem algoritma di medsos akan terus menyajikan berita dan informasi yang paling sering diklik. Ketika para pengguna medsos mencari informasi tentang Fufufafa maka informasi terkait hal ini otomatis terus menjejali konten di ruang maya mereka. Hal ini persis dengan pola penayangan iklan online yang terus mencekoki iklan sejenis pada mereka yang mencari produk tertentu.

          Munculnya kasus ini tak terlepas dari keisengan warganet. Aksi warganet memang tak bisa dianggap enteng. Seperti yang terjadi dalam banyak kasus, kekuatan aksi warganet bisa menjadikan kasus yang mungkin telah dilupakan bisa kembali muncul ke permukaan. Seperti dalam kasus munculnya kembali unggahan lama akun Fufufafa. Kekuatan viralitas juga menambah kegaduhan dalam kasus ini.

          Jejak digital, yang seringkali tidak dikelola dengan baik, dapat digali dan dieksploitasi oleh lawan politik atau bahkan publik yang haus akan kontroversi. Mengutip penelitian dari Institute for Digital Democracy pada 2022 menunjukkan bahwa konten negatif memiliki kemungkinan 70 persen lebih besar untuk dibagikan dibandingkan konten positif. 85 persen masyarakat mengakui bahwa mereka lebih tertarik pada berita kontroversial daripada berita positif.

          Ada beberapa motif dari munculnya unggahan konten lawas akun Fufufafa ini. Motif politik sepertinya menjadi salah satu motif terkuatnya. Apapun motifnya, fenomena ini menegasikan bahwa kita tak boleh main-main dengan jejak digital. Jejak digital memang mampu melambungkan nama seseorang, namun bisa juga jadi senjata makan tuan. Waspadalah! (*)

- Advertisement -
spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img