Oleh: Rachmad K.Dwi Susilo, MA, Ph.D
Sekretaris Prodi Sosiologi S2 & S3 DPPS UMM,
Ph.D lulusan Public Policy and Social Governance,
Hosei University, Tokyo, Jepang
Malang Posco Media – Hunian dan kawasan bisnis ekslusif menjadi tren perkembangan kota-kota di Jawa Timur. Perumahan mewah, hotel, kafe dan lembaga pendidikan yang menyajikan fasilitas elit kini mulai marak. Kondisi ini juga terjadi di Kota Batu. Telah lama muncul dan berkembang perumahan mewah seperti di Desa Oro-Oro Ombo Desa Pesanggrahan, Desa Torongrejo, Desa Sumberejo, Desa Songgokerto dan desa-desa lain.
Jika dikaitkan dengan kondisi “asli” Kota Batu sebagai pedesaan dengan pemandangan bervariasi lingkungan alam, sejatinya ini merupakan kondisi yang problematik. Hunian mewah marak berdiri di tengah perkebunan, tegalan, sungai, bukit dan gunung,
Karakter pedesaan ditandai homogenitas didasarkan oleh mata pencaharian, adat istiadat sama seperti mudah kita temui di pelosok-pelosok Desa Torongrejo, Desa Oro-Oro Ombo, Desa Tulungrejo dan desa-desa lain. Tetapi homogenitas ini berubah menjadi homogenitas “buatan” dikarenakan berdiri pemukiman mewah, hotel, resto, cottage dan kafe serta destinasi wisata buatan.
Selain perumahan mewah, lembaga pendidikan modern religius juga mewarnai kota ini. Keduanya, mampu mengorganisir diri tanpa memedulikan sistem sosial yang berinteraksi.
Kita lihat kawasan desa di kota ini tiba-tiba menjadi mengkota (urbanization) yang melepaskan ciri agraris dan menawarkan nilai-nilai baru yang kontras berbeda dengan karakter masyarakat sekitar. Wilayah ini tidak terintegrasi dengan desa-desa di sekitar.
Ibaratnya satu desa mengadakan ulang tahun dusun atau ulang tahun desa yang mengarak tumpeng ke punden kramat, sementara itu warga gated community tidak peduli dengan budaya tersebut. Mungkin penghuni sibuk bekerja atau memang tidak berpenghuni disebabkan pemilik sedang di luar kota.
Fenomena Gate Community
Dalam sosiologi kota, kemunculan kawasan segregasi yang kontras berbeda dengan wilayah asli disebut komunitas berpagar (gated community). Kawasan ini diprivatisasi, dimana ruang publik dibatasi akses, diamankan oleh dinding dan pagar, dan pintu masuk dikontrol untuk mencegah penetrasi oleh bukan penduduk (Blakely dan Snyder,1997). Dengan demikian, dinding dan pagar telah membatasi akses publik (Atkinson dan Flint 2004)
Sebagai wilayah yang terkonsentrasi pada wilayah tertentu, ditopang oleh sistem organisasi ekonomi otonom, tidak membutuhkan keterlibatan lingkungan sekitar. Bahkan, kontrol/ pengendalian sosial pengambil kebijakan dan masyarakat sering tidak bisa atau gagal menembus.
Kita bisa bandingkan dengan kampung-kampung di Dusun Cangar, Desa Bulukerto atau Dusun Pandan Desa Pandanrejo misalnya, warga mengenali asal usul dan silsilah keluarga dari tetangga. Secara alamiah, Jika ada salah satu warga meninggal, secara spontan warga mengantar ke makam. Dengan kata lain, warga mampu memonitor siapa penduduk yang keluar dan masuk.
Banyaknya gate community melahirkan kekhawatiran atas pelanggaran nilai-nilai, norma dan moralitas lokal. Warga Kota Batu sudah mendapati contoh dari efek negatif komunitas berpagar. Sekolah Selamat Pagi di Desa Pandanrejo yang tertutup, ternyata di dalamnya terjadi praktik menyimpang.
Padahal berlokasi di masyarakat Kecamatan Bumiaji yang terkenal guyub. Daerah-daerah sebagai persinggahan sementara para teroris juga fenomena yang sama. Sudah dua kali Kota Batu kecolongan terhadap musuh negara ini.
Lembaga-lembaga pendidikan ekslusif juga ternyata tidak berkontribusi riil pada kesejahteraan masyarakat sekitar. Penulis pernah mewawancarai seorang warga tentang lembaga eksklusif tertentu.
Pada awal beroperasi lembaga ini mengambil simpati warga dengan membolehkan membuka warung bakso, tetapi saat lembaga sudah “kuat”, warung di dalam area sekolah dikelola sendiri oleh lembaga tersebut. Konsekuensinya kesempatan mengais rezeki warga tertutup kembali.
Dibutuhkan Kebijakan
Gated community seharusnya menjadi salah satu agenda penting perencana kota, terlebih Kota Batu sedang menyelenggarakan Pilkada. Kegagalan mengontrol kemunculan dan perkembangan komunitas ini, melahirkan wajah ingkungan fisik kota, 90 persen hunian homogen. Bahkan, kecenderungan yang terjadi orang-orang kaya dari luar Kota Batu memiliki rumah mewah yang tidak ditempati. Jika kondisi demikian, bagaimana relasi sosial dibangun di dalamnya?
Dari sisi kultural kita mendapati perubahan tata sosial dimana guyub yang sebelumnya terlembaga, lambat laun berubah sebagai hunian individualis. Mustahil gated community melembagakan lembaga-lembaga sosial lokal. Seperti susuk wangan, sonjo, sayan, gugur gunung, barikan dan gadeso.
Dari sisi struktural, eksistensi masyarakat lokal akan terpinggirkan. Kondisi ini dipicu karena warga dan terutama anak-anak muda kurang antusias bercocok tanam di tegalan. Mereka memilih sektor formal menjadi pelayan hotel atau tukang ojek online, maka pilihan pragmatis pemilik tanah yakni menjual lahan yang akhirnya dimiliki orang-orang kaya.
Karena semakin menjamurnya pemukiman mahal dengan harga tidak terjangkau, akhirnya warga lokal hanya sanggup membeli tanah di kampung-kampung. Di sini sejatinya perencana kota dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit antara mengendalikan liberalisasi kepemilikan tanah atau mengimplementasikan kebijakan yang membela kelompok-kelompok lemah.
Dari sini, mutlak dibutuhkan kebijakan-kebijakan pemerintah agar menahan warga menjual tanah atau perkebunan mereka. Tentunya tidak cukup dengan himbauan, tetapi intervensi kuat yang benar-benar berpihak pada pemilik lahan dari warga lokal tersebut.(*)