spot_img
Saturday, July 27, 2024
spot_img

Gatot Soekardi, Wartawan Empat Zaman, Dulu Serba Terbatas, Sekarang Pers Lebih Bebas

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Hari Pers Nasional (HPN) menjadi momen spesial bagi segenap insan pers maupun organisasi pers yang ada di Indonesia. Seiring berjalannya waktu ke waktu, dunia pers dituntut profesional seiring dengan kemerdekaan pers.Uauh sebelumnya, di era tahun 1960 hingga 1980an, pers sangat terbelenggu.

Jurnalis senior, Gatot Soekardi menjadi salah satu saksi perubahan iklim pers dari zaman ke zaman. Ia merasakan betul bagaimana sulitnya untuk memproduksi untuk satu buah berita. Tidak hanya dari sisi mengolah produksi berita, tantangannya juga adalah berita yang sudah diterbitkan acap kali membuat jurnalis menjadi ‘tahanan’ sehari.

- Advertisement -

“Dulu kebebasan pers tidak seperti sekarang. Sekarang lebih bebas. Ketika seorang jurnalis menulis berita yang bertentangan dengan pemerintah, akhirnya urusan dengan militer, kalau sudah urusan dengan itu, tidak pulang kita. Diminta keterangan dan macam macam,” kenang Gatot.

Gatot sudah menjadi seorang jurnalis sejak tahun 1964, bergabung dengan Harian Manifesto Surabaya. Tidak hanya itu, Gatot juga sekaligus merangkap jadi jurnalis di beberapa media lain. Seperti Harian Merdeka dan Harian Angkatan Bersendjata.

Di kala itu, untuk mengetik sebuah berita juga menjadi salah satu tantangan. Tidak seperti sekarang yang bisa menulis berita di komputer, laptop atau smartphone, dulu harus mengetik berita di mesin ketik yang ada di rumahnya.

Karena Gatot juga adalah seorang jurnalis foto, jadilah dirinya juga harus mencuci cetak foto yang ia jepret sebelumnya. Artinya, proses penyusunan berita ini hitungannya bisa berjam jam.

“Kamar gelap, terus cuci film, digantungkan, langsung sambil mengetik berita. Kalau film sudah kering, dicetak baru berangkat masukkan berita itu ke amplop dan kirim ke kantor pos. Satu satunya harus melalui pos kilat, paling tidak 24 jam baru sampai beritanya (ke redaksi),” bebernya.

Sedangkan saat ini, dirasakan Gatot semua serba ada kemudahan. Untuk produksi berita, mulai dari pengumpulan data hingga penyusunan berita bahkan bisa langsung diproses. Hasilnya pun bisa instan, atau segera tayang beberapa saat kemudian.

“Kalau masalah metode pengumpulan data tetap sama, tapi sekarang lebih dipercepat lewat adanya telepon, WhatsApp. Kalau dulu, ada kendala di jalan ya tidak terkirim karena harus produksi berita di rumah. Tidak bisa di warung seperti sekarang,” sebutnya.

Belum lagi masalah kesejahteraan jurnalis, sangat berbeda dengan sekarang. Saat itu banyak jurnalis yang serba keterbatasan hingga untuk operasional saja kesulitan. Beruntung, dirinya masih lebih beruntung dibanding lainnya.

“Dulu orang punya kamera, bahkan jurnalis punya kamera, itu bisa dihitung. Tahun 1964 saja, itu hanya ada 10 jurnalis jumlahnya dan yang punya kamera hanya saya,” beber jurnalis senior yang kini berusia 80 tahun ini.

Ia pun teringat ada pengalaman yang tidak terlupakan ketika melakukan proses jurnalistiknya. Suatu ketika, ia diajak untuk liputan sebuah peristiwa ke Lumajang menaiki helikopter bersama Angkatan Udara RI di Abd Saleh. Ketika berangkat hingga sampai di Lumajang, tidak ada masalah dan data untuk berita sudah dikantonginya.

Namun ketika kembali, helikopter yang ia tumpangi, setelah melewati rute pantai selatan ternyata cuaca sangat gelap hingga tidak memungkinkan untuk memasuki rute baliknya.

“Akhirnya kembali lagi ke pantai, udara sudah klir baru kembali ke Lumajang untuk menginap. Jadi hari itu tidak bisa mengetik apalagi kirim berita. Atasan memahami karena kondisinya seperti itu,” kata Gatot yang juga Ketua PPNg (Paguyuban Perkewutan Ngalam) Jawa Timur ini.

Tapi tentu bukan duka saja, dari profesi sebagai jurnalis ini, Gatot bisa merasakan kesempatan berharga dengan tokoh bangsa saat itu. Ia pernah naik pesawat jet pribadi yang berisi hanya 8 orang bersama Widjojo Nitisastro, yang merupakan Kepala Bappenas RI dan juga mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dari Abd Saleh, Malang ke Jakarta.

Terlepas dari itu, banyak perubahan yang sudah terjadi pada dunia pers di Indonesia ini. Makin banyak kemudahan, tinggal bagaimana insan pers saat ini bisa memanfaatkan semuanya untuk menyajikan informasi yang berkualitas dan bertanggung jawab. Terutama jurnalis, harus pandai pandai memanfaatkan semua potensi yang ada untuk kepentingan masyarakat luas.

“Semua tergantung dari kita sendiri. Kita mau jadi jurnalis seperti apa. Apa hanya menulis berita landai landai saja kah, atau menulis yang penuh manfaat. Jadilah jurnalis yang berpena tajam, ketika tulisannya itu dibaca oleh pembaca, itu sangat membela kepentingan masyarakat,” tutup ayah dari 5 anak ini. (ian/aim)

- Advertisement - Pengumuman
- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img