Akhir-akhir ini gaya hidup menjadi sorotan banyak kalangan. Pasalnya gaya hidup memberikan banyak opsi di berbagai lini kehidupan. Apabila ditinjau dalam keilmuan psikologi, gaya hidup merupakan struktur kepribadian yang secara konsisten berkembang dan terus melekat pada diri seseorang.
Adler sebagai tokoh psikologi penggagas life style memaparkan bahwa gaya hidup merupakan bagian dari minat atau selera hidup seseorang. Gaya hidup itu sendiri mencakup mengenai sikap, tujuan, konsep diri, perasaan terhadap orang lain dan sikap terhadap dunia.
Adler percaya bahwa setiap orang memiliki alasan tersendiri dan diperkuat oleh kebebasan untuk menciptakan gaya hidupnya sendiri. Dimana setiap orang memiliki kendali penuh atas diri sendiri, bagaimana ia bersikap dan berperilaku, serta bertanggungjawab atas pilihan hidup yang diambil (Feist, 2017).
Lifestyles berkembang karena ada kebutuhan, tuntutan dan penguatan. Berdasarkan pedekatan behavioristik dapat diketahui bahwa suatu perilaku akan cenderung diulang kembali apabila perilaku tersebut memberikan kepuasan atau kenikmatan pada diri seseorang.
Adapun beberapa ciri dari Gaya Hidup terdiri dari perilaku konsumtif, hedonistik, instan, kapitalistik, dan suka pamer adalah perilaku impor yang banyak dipakai sebagai persona atau topeng pada masyarakat secara luas (Wimbarti, 2011).
Nadzir dan Ingarianti (2015) mengungkapkan bahwa gaya hidup hedonis merupakan suatu pola hidup seseorang yang melakukan aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, menghabiskan waktunya di luar rumah untuk bersenang-senang dengan temannya, gemar membeli barang yang tidak dibutuhkan, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian di lingkungan sekitarnya.
Akhir-akhir ini banyak ditemui fenomena gaya hidup hedonis yang beredar di masyarakat secara luas di berbagai kalangan terlepas dari usia ataupun gendernya. Hal tersebut sudah tidak menjadi rahasia lagi, ketika banyak dijumpai para pemuda pemudi yang cenderung menghabiskan waktunya di berbagai tempat keramaian.
Seperti pusat perbelanjaan, bioskop, theater, wana wisata alam maupun buatan, atau hanya sekadar untuk nongkrong di pinggir jalan. Mereka juga tidak lupa untuk mendokumentasikan aktivitas yang sedang dilakukan kemudian mempublikasikannya di berbagai media sosial. Bahkan dewasa ini cukup banyak pergeseran nilai-nilai di lingkungan sosial masyarakat, seperti banyak dijumpai golongan ciwi-ciwi (cewek-cewek) yang terang-terangan merokok secara elektrik maupun non elektrik di tempat umum dengan pakaian yang terbuka disertai dengan dandanan yang cetar membahana lengkap dengan rambut yang telah diberi cat warna.
Di samping itu juga cukup banyak dijumpai para pemuda yang memilih untuk racing, minum minuman keras hingga mengkonsumsi zat adiktif dengan dalih untuk healing. Selain itu juga cukup banyak dijumpai beredarnya pasangan pemuda pemudi yang menghabiskan waktu di tempat hiburan malam dengan dalih “staycation” untuk menjernihkan pikiran.
Sungguh miris rasanya ketika mengetahui pergeseran nilai, budaya dan gaya hidup masyarakat yang berkiblat ke arah Barat. Tentunya hal tersebut tidak terlepas dari kemudahan teknologi yang dapat diakses dari mana saja dan kapan saja. Kemudahan teknologi tersebut memegang kendali dalam proses akulturasi budaya yang dapat memicu seseorang untuk mencontoh segala bentuk perilaku yang dirasa menyenangkan.
Lantas, apakah gaya hidup hedonis memberikan pengaruh positif secara psikologis? Sejauh ini tidak banyak ditemukan penelitian yang mengemukakan pengaruh positif secara psikologis dari perilaku hedonis. Namun berdasarkan asumsi penulis, gaya hidup hedonis cenderung memberikan pengaruh yang negatif daripada positif.
Hal tersebut dikarenakan orang dengan gaya hidup hedonis memiliki kecenderungan untuk ingin terlihat mewah, ber-ada, bahagia, gaul dan asik meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sehingga ia akan melakukan banyak upaya untuk dapat menunjukkan sisi hebatnya dengan berperilaku hedonis, agar ia dapat dikagumi, dipuji dan diterima oleh lingkungan sosialnya. Namun nahasnya, hal tersebut justru dapat memantik seseorang untuk menetapkan standar kebahagiaan. Dimana ia akan cenderung lebih merasa bahagia ketika dapat makan-makanan mahal, nongkrong bersama teman-teman, menggunakan barang branded dan up to date, menghabiskan waktu ke tempat hiburan dan lain sebagainya.
Begitu pula sebaliknya, ketika ia tidak dapat melakukan hal tersebut, maka ia akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, merasa sedih, kecewa hingga dapat berujung ke stress dan depresi.
Fenomena gaya hidup hedonis tidak dapat dihindarkan lagi seiring dengan perkembangan teknologi. Segala bentuk perilaku yang dipilih tidak terlepas dari kendali diri sendiri. Lantas, apakah kita akan terus terombang-ambing untuk mengikuti gaya hidup hedonis? Atau bahkan apakah kita akan terus mengikuti perkembangan yang ada tanpa melakukan filterisasi?
Mari kita belajar untuk menyelami kebutuhan dan keinginan diri sendiri, apakah perilaku yang selama ini kita lakukan murni untuk meraih kebahagiaan sejati atau justru malah ingin terlihat bahagia karena sudah lama tidak merasakannya?
Lantas, apakah gaya hidup hedonis yang selama ini dilakukan hanya untuk mencari kebahagiaan yang fatamorgana? Atau mungkin apakah gaya hidup hedonis yang dilakukan hanya untuk numpang narsis? Untuk apapun alasan yang ada di baliknya, semoga gaya hidupmu tidak merumitkan keadaanmu. Karena gaya hidupmu ada di bawah kendalimu, gaya hidupmu akan mempengaruhi masa depanmu.
Apa yang dilakukan saat ini adalah bagian dari pilihan hidup, dan apa yang akan terjadi di masa mendatang adalah hasil dari kebiasaan-kebiasaan perilaku atas gaya hidup.(*)