Oleh:
Ahmad Fatoni
Pengajar Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang
Ada cerita menarik ketika seorang penjual sate ayam marah-marah gara-gara tidak dipanggil ‘Pak Haji’ oleh tetangganya. Ada pula seorang emak-emak yang tidak mau menoleh saat disapa tanpa penyebutan ‘Bu Hajah.’ Pertanyaannya apakah orang yang telah menunaikan ibadah haji harus menggunakan gelar ‘haji’ atau ‘hajah’?
Pemberian gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ bagi setiap jamaah haji yang sudah kembali ke Tanah Air masih menjadi tradisi yang dipertahankan hingga kini di masyarakat. Umumnya gelar tersebut disematkan di depan nama untuk menandakan bahwa ia telah melaksanakan ibadah haji.
Banyak orang kemudian menuliskan gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ dalam dokumen kependudukan seperti KTP, KK, dan SIM. Seolah ada kebanggaan tersendiri saat dipanggil sebagai ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Hajah.’ Bahkan ada sebuah keluarga yang menuliskan stiker di belakang kaca mobil mereka: ‘Keluarga Haji.’
Dalam batas tertentu, penggunaan gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ dapat menaikkan status seseorang di tengah masyarakat. Setidaknya, seseorang yang bergelar ‘haji’ atau ‘hajah’ dianggap memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi. Namun demikian, tak jarang pula gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ hanya dijadikan komoditas politik atau bisnis yang justru perilaku penggunanya bertentangan dengan nilai-nilai ritual haji.
Asal Usul Gelar ‘Haji’
Dalam konteks historis di Hindia Belanda, penggunaan gelar ‘haji’ sering disematkan pada seseorang yang telah pergi haji bertujuan untuk identifikasi para jamaah haji yang mencoba memberontak sepulangnya dari Tanah Suci. Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme, dengan pakaian ala penduduk Arab yang disebut oleh VOC sebagai “kostum Muhammad dan serban.”
Dengan demikian, gelar ‘haji’ masa itu digagas oleh pemerintah kolonial sendiri sebagai simbol pergerakan politik pribumi atas kekuasaan kolonialisme. Pada awal abad XX, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar ‘haji.’ Sejak itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari Makkah diberi gelar ‘haji.’
Pemberian gelar ‘haji’ kenyataannya justru berpengaruh besar bagi gerakan politik kebangsaan, yaitu mengajak umat Islam melakukan perlawanan atas cengkraman kolonial Belanda. Gelar ‘haji’ secara implisit selain mengandung pengakuan kesalihan, derajat sosial-budaya, juga sekaligus otoritas politik.
Para kolonialis Belanda semakin berpikir keras disebabkan setiap ada warga pribumi pulang dari ibadah haji selalu terjadi pemberontakan. Bisa dikatakan, tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama ‘Kiai Haji’ dari pesantren-pesantren.
Munculnya pergerakan Islam yang menimbulkan pemberontakan kepada kolonialisme kian membuat Belanda khawatir. Maka, tujuan awal pemberian gelar ‘haji’ bagi setiap rakyat Indonesia yang kembali dari ibadah haji agar mudah mengenali mereka jika terjadi pemberontakan.
Persoalan Gelar ‘Haji’
Dalam penggunaan gelar ‘haji’ yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, kerap mendapatkan kritikan dari ulama salafiyah. Penyematan gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ dinilainya sebagai perbuatan riya’ dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat. Tidak pernah tertulis, misalnya, H. Muhammad, H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, dan H. Ali bin Abi Thalib, dan seterusnya.
Jamak dimaklumi, di antara lima rukun Islam hanya ibadah haji saja yang digunakan sebagai gelar, dan tidak ada orang usai mengerjakan rukun Islam yang lain seperti mengucap kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa yang diberi gelar seperti halnya ibadah haji. Pemerintah Saudi Arabia pun tidak pernah mengeluarkan secara resmi sertifikat gelar ‘haji’ bagi para jamaah haji.
Pemberian gelar ‘haji’ jika dilihat dari dimensi yang lain, juga menyimpan beberapa persoalan, terlebih dari aspek sosial. Pertama, gelar ‘haji’ akan cenderung mengurangi keikhlasan seseorang. Pemberian gelar ‘haji’ berpotensi membuat niat orang yang beribadah haji tersebut bergeser. Memang tidak semua orang demikian, namun dikhawatirkan kondisi itu terjadi pada orang yang tidak memahami substansi dari haji itu sendiri.
Kedua, pemberian gelar ‘haji’ menyebabkan hikmah dari ibadah haji menjadi kabur. Seseorang yang telah menjalankan ibadah haji merasa cukup dengan adanya gelar ‘haji’ tersebut. Ketiga, pemberian gelar ‘haji’ juga berisiko mendatangkan kesombongan. Dengan adanya titel ‘haji’ atau ‘hajah’ itu, strata sosialnya akan terangkat di mata masyarakat. Implikasinya akan muncul rasa takabur atau sombong yang dilarang dalam Islam.
Keempat, pemberian gelar itu berpotensi disalahgunakan untuk komoditas politik atau kepentingan pribadi. Kita dapat melihat pada pemilu, pilkada, dan pilpres. Semua calon yang berkompetisi seakan berlomba memasang gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ di depan namanya.
Namun sikap dan perilakunya setelah terpilih tak sesuai dengan gelar yang disandangnya. Begitu banyak kita dapati penyandang gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ yang melakukan korupsi atau membela kepentingan keluarga dan kelompoknya.
Dalam catatan riwayat, Rasulullah SAW sendiri dan para sahabat memang tidak menggunakan gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ di depan nama mereka, padahal mereka sudah menunaikan ibadah haji. Persoalannya, apakah penggunaan gelar keulamaan juga dianggap bid’ah? Apakah ulama yang kita kenal dengan Imam Syafi’i, Imam al-Bukhari, Syeikh Yusuf al-Qaradhawi dan sebagainya juga dianggap pelaku bid’ah?
Hemat penulis, pencantuman gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ di depan nama bukan merupakan bid’ah dan terlarang. Penggunaan gelar keilmuan atau kesarjanaan seperti Profesor, Doktor, Master of Art, atau gelar keulamaan seperti Kiai Haji, Buya, Syeikh, Imam, juga tidak dikenal pada zaman Nabi dan para sahabat.
Tidak ada perintah maupun larangan untuk menggunakan gelar ’haji’ atau ‘hajah’ bagi yang telah menunaikan ibadah haji. Hal itu hukumnya mubah (boleh) asalkan tidak untuk riya’, takabur, dan kesombongan. Maka, jika ada orang yang sudah beribadah haji dan bila tidak dipanggil dengan gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ lalu marah, menurut saya, orang itu perlu mengaji esensi ibadah haji, agar tidak menghilangkan pahala amalnya.
Gelar ‘haji’ atau ‘hajah’ yang digunakan sebagai tambahan di depan nama senyatanya menjadi pertaruhan nama baik seseorang agar menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah haji mestinya dikembalikan dalam posisinya sebagai ibadah kepada Allah semata, bukan sebagai status sosial.(*)