Friday, February 21, 2025

Gen Z dan Pernikahan Dini

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Pernikahan dini menjadi sebuah isu Nasional dewasa ini. Berdasarkan rilis data Unicef 2023, Indonesia menempati peringkat keempat global dalam kasus pernikahan anak di bawah umur dimana anak perempuan di bawah umur yang dinikahkan mencapai 25,53 juta jiwa. Angka ini menahbiskan Indonesia sebagai pemenang Pernikahan Dini di kawasan ASEAN.
Berdasarkan rilis data SUSENAS tahun 2023, angka pernikahan dini masih tinggi dimana 25,53 juta perempuan menikah di bawah usia 19 tahun. Angka ini menyiratkan besarnya tantangan kita dalam menanggulangi pernikahan dini beserta problem turunannya di Indonesia.

Selain untuk memenuhi kewajiban agama, kebutuhan biologis-psikis, menikah juga diharapkan dapat “mengentaskan” kemiskinan bagi keluarga dan dapat menanggulangi problem kesenjangan ekonomi di negara kita yang di atas batas normal.
Sebab permasalahan ini merupakan masalah laten, jika tidak dikatakan abadi, di negara kita. Mungkin beberapa waktu lalu, berdasarkan rilis data BPS tingkat kemiskinan dan kesenjangan terdapat tren penurunan, hanya saja penurunan tersebut tidak banyak memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

-Advertisement- Pengumuman

Makna Pernikahan
Pernikahan sejatinya merupakan syariat Islam dan sekaligus Sunnah Rasulullah Saw yang berlaku selaras dengan fitrah manusia yang merupakan makhluk sosial, yang membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam konteks Islam, kebutuhan ini ditandai dengan penciptaan manusia yang berpasang-pasang untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah untuk menuju masa depan yang baik.
Al-Ghazali dalam karyanya Kimmiya Sa’adah (Jalan menuju kebahagiaan), menyatakan bahwa manusia memiliki empat unsur nafsu (watak) dalam dirinya, yaitu: watak hewan, watak syetan, watak binatang buas dan watak malaikat.
Menurutnya, hanya manusia yang mampu untuk memenangkan nafsu atau watak malaikatnya lah yang akan mampu mencapai kebahagiaan, tentunya dengan pertolongan Allah Swt. Sebab empat nafsu atau watak ini niscaya ada dalam diri manusia sejak kelahirannya.
Dalam konteks pernikahan, syariat pernikahan dimaksudkan untuk “menertibkan” nafsu hewan yang dimiliki oleh manusia, yaitu hasrat dan kebutuhan untuk makan, minum dan berhubungan seksual.


Lingkaran setan pernikahan dini

Kemiskinan, rendahnya pendidikan, problem keluarga dan budaya yang lestarikan ibarat lingkaran setan yang mengakibatkan tingginya angka pernikahan dini di Indonesia.

Dalam konteks legal formal, Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 seolah menjadi “emergency exit” yang memungkinkan adanya dispensasi pernikahan dengan alasan tertentu: seperti situasi mendesak akibat kehamilan, tekanan norma sosial dan agama, dan minimnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi.  
Pasal 7 Ayat 1 dari UU ini memberikan pedoman bahwa usia minimal menikah untuk laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun.

Dalam konteks agama, pernikahan dini dalam Islam tidak secara eksplisit dilarang, namun hanya disebutkan terkait dengan adanya kemampuan (istitha’ah) dalam pernikahan. Namun arti dari kata kemampuan (istitha’ah) ini bersifat kompleks dan multidisiplin. Apakah kemampuan terkait fisik, psikis, ekonomi ataukah kemampuan secara religius maupun emosional.
Sebab tujuan pernikahan adalah membentuk pribadi dan keluarga menjadi lebih baik dari sebelumnya dalam bingkai sakinah, mawaddah dan rahmah.

Dalam perspektif sosiologis kebudayaan, pernikahan dini memiliki dampak negatif yang multidimensional, diantaranya mengakibatkan: terhentinya proses pendidikan dan cita-cita masa depan, kerentanan tertular penyakit, tekanan mental dan psikis, kemiskinan, kekerasan rumah tangga.
Maka dari itu, pernikahan dini tidak dianjurkan bagi Gen Z sebab generasi ini memiliki karakteristik kekuatan mental yang tidak sekuat generasi sebelumnya, dengan demikian pola asuh yang benar dan baik dari orang tua yang saat ini adalah mereka generasi X menjadi sangat penting. Terutama dalam hal berkaitan dengan pernikahan dan pergaulan antar lawan jenis. Apalagi di tengah budaya medsos dan teknologi digital. 

Dalam konteks psikologis, beberapa penelitian menyebutkan bahwa seseorang dianggap memiliki kematangan otak yang cukup pada usia 25 tahun. Dengan kematangan otak diharapkan dapat memiliki kekuatan mental yang cukup untuk menghadapi tantangan dan problematika kehidupan dalam pernikahan. Hal ini penting bagi perempuan untuk mengelola kesadaran terhadap realitas kepuasan pernikahan yang sering kali tidak sesuai dengan ekspektasi. Sementara bagi laki-laki, kekuatan mental dibutuhkan untuk menyeimbangkan antara kehidupan rumah tangga dan kehidupan dunia kerja.

Dengan demikian, sebagai solusi untuk membendung pernikahan dini bagi Gen Z membutuhkan peran kolaboratif antara berbagai pihak, yang utama orang tua, keluarga terdekat dan guru di sekolah. Selain itu, lingkungan pertemanan (circle) gen Z juga dapat berperan sebab seseorang cenderung terwarnai oleh teman di sekitanya.

Di sisi lain, pemerintah dengan kebijakannya perlu untuk melakukan sosialisasi bahaya pernikahan dini bagi gen Z dan melakukan upaya untuk meningkatkan usia minimal menikah dalam bentuk legal formal. Selanjutnya, dalam bidang kesehatan diperlukan sosialisasi terkait pendidikan seksual yang integratif dan menyeluruh. 

Dengan demikian program Indonesia Emas 2045 semoga dapat terwujud. Sebab ditangan pemuda (Gen Z) lah, masa depan bangsa ini akan dipertaruhkan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img