spot_img
Tuesday, September 17, 2024
spot_img

Gen Z dan Problem Pengangguran

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Rahmad Hakim

Kaprodi Ekonomi Syariah, Universitas Muhammadiyah Malang

              Berdasarkan rilis data lembaga Internasional Moneter Fund (IMF) dalam laporan World Economic Outlook April 2024 lalu, dinyatakan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia berada pada titik tertinggi di antara enam negara ASEAN.

              Dari total jumlah penduduk Indonesia sebanyak 279,96 juta orang, 5,2 persennya adalah pengangguran. Meskipun telah terjadi penurunan 0,1 persen dari 5,3 persen pada tahun 2023 lalu. Dengan demikian, terdapat sekitar 14,6 juta orang yang tanpa pekerjaan di Indonesia per April 2024.

              Statistik di atas selaras dengan temuan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa tahun 2023 sebanyak 9,9 juta orang dengan rincian 5,73 juta Gen Z termasuk kategori tidak sedang belajar, bekerja, dan dalam pelatihan atau not in education, employment, and training (NEET) alias mengganggur. Jumlah Gen Z tanpa pekerjaan tersebut setara dengan 22,25 persen dari total penduduk usia 15-24 tahun.

              Padahal, dasar yang digunakan adalah persentase angkatan kerja atau penduduk berusia 15 tahun ke atas yang sedang mencari pekerjaan, belum lagi jika jumlah penghitungan lain seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, dan orang tidak mencari kerja.

Pengangguran Tinggi Gen Z

              Gen Z adalah generasi yang lahir pada tahun 1997-2012, saat ini rentang usia mereka ada pada kisaran usia 15 hingga 25 tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rentang waktu 2021-2022, tercatat 10 juta gen-Z yang sekarang memasuki usia produktif, tidak mengikuti pendidikan, pekerjaan, dan pelatihan alias menganggur.         Hal ini juga ditegaskan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) bahwa mayoritas pengangguran Gen Z adalah sebanyak 44,47 juta anak atau sebesar 22,25 persen. Dimana pengangguran didominasi oleh perempuan muda yakni 5,73 juta orang dan 4,17 juta adalah laki-laki.

              Faktor utama tingginya tingkat pengangguran pada penduduk muda berusia 15-24 tahun atau dikenal sebagai Generasi Z adalah adanya ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan permintaan tenaga kerja. Akibatnya, kompetensi lulusan tidak sejalan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini.

              Hal ini selaras dengan pernyataan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah beberapa waktu lalu, yang menyatakan bahwa terdapat miss-match dari output lembaga pendidikan yang ada sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar kerja (Antara, 20/5/2024).   Mencermati fenomena ini, Filosof Barat terkemuka Bertrand Russell menyatakan “Manusia lahir bukan dalam keadaan bodoh, tapi tidak tahu. Sistem pendidikanlah yang menjadikan mereka dalam kondisi yang bodoh.

              Berdasarkan rilis data Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi penurunan lapangan pekerjaan selama periode Agustus 2017-2022. Bahkan selama kurun waktu 15 tahun terakhir jumlah ketersediaan lapangan kerja formal terus menurun. Padahal jumlah tenaga kerja yang baru lulus semakin hari semakin membeludak.

              Hal ini ditengarai oleh Kurikulum yang dirancang boleh jadi tidak selalu diperbarui sesuai dengan perkembangan di dunia industri. Lembaga pendidikan selayaknya memberi bekal pengetahuan bagi angkatan kerja, namun sayangnya mereka seringkali tertinggal dalam merespons kebutuhan pasar.

              Apabila terjadi pengangguran dalam skala besar di kemudian hari, maka angkatan kerja yang menganggur saat ini menjadi sebuah beban. Oleh karena itu, jika ada generasi yang menghambat terwujudnya pembangunan, maka ada risiko Indonesia Emas tidak akan tercapai. Di sisi lain, angkatan kerja ini diharapkan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan Indonesia emas.

              Upaya kolaboratif para stakeholders yang sinergis dan selaras perlu ditingkatan dalam menangani permasalahan ini, di antaranya adalah institusi pendidikan dan pelatihan vokasional, tenaga kerja, dan pemerintah.

Keunggulan dan Kekurangan Gen Z

              Setiap generasi tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Hal ini dilatabelakangi oleh faktor sosio kultural yang ada pada setiap zaman. Dengan demikian, setiap generasi memiliki modal positif dan negatif. Job burnout, life style, sandwich generation inilah tiga masalah utama yang dihadapi oleh Gen Z.

              Randstad Workmonitor (2022) menyatakan bahwa sebesar 41 persen Gen Z lebih memilih menjadi pengangguran daripada tidak bahagia di tempat kerja atau menjalani pekerjaan mereka. Dalam konteks ini, mereka rela untuk meninggalkan perkerjaan berapapun gaji dan fasilitas yang mereka dapatkan jika tidak merasa nyaman.

              Di sisi lain, berdasarkan rilis data survey CBNC Indonesia (2021) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (2023), ditemukan bahwa sebesar 48,7 persen angkatan kerja produktif termasuk di dalamnya Gen Z, menjadi tulang punggung kebutuhan ekonomi keluarga mereka, baik orang tua maupun saudara, kondisi ini biasa disebut dengan generasi sandwich. Padahal rata-rata gaji buruh Indonesia hanya sebesar Rp3 ,04 juta (Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024).

              Maka dari itu, diperlukan beberapa upaya penting dari Gen Z untuk ditingkatkan, terutama terkait dengan tiga hal. Yaitu: sikap proaktif dan inisiatif, etos kerja dan komitmen yang kuat, hingga kemauan untuk upgrade skill atau keterampilan yang dimiliki.

              Dalam konteks ini, penting untuk menelaah apa yang dikatakan oleh Todd Rose dalam karyanya,“The end of Average” menyatakan bahwa, Gen Z memiliki tantangan berat hari ini, sebab dengan kompleksitas tantangan dan kompetisi yang ketat diperluan kompetensi di atas rata-rata. Baik kompetensi berupa soft skill yaitu kerja keras, sikap proaktif dan penuh inisiatif. Maupun kompetensi hard skill yang termanifestasi pada keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) seseorang.

              Belum lagi jika hal ini dihadapkan dengan situasi tidak menentu dan tak terprediksi yang biasa disebut sebagai situasi VUCA –volatile, unpredictable, complex, agile. Maka dari itu, etos kerja, sikap proaktif, komitmen yang tinggi dan juga kemauan untuk meningkatkan keterampilan para gen Z juga harus dibangun untuk memastikan tenaga kerja siap menghadapi dinamika pasar kerja.

              Sembari proses updating yang dilakukan oleh institusi pendidikan terhadap perangkat kurikulum dan pembelajaran yang mereka miliki untuk memastikan bahwa proses belajar selaras dengan kebutuhan industri. Dengan demikian, growt mindset harus dipakai dan fix mindset harus ditinggalkan.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img