spot_img
Saturday, June 28, 2025
spot_img

Gen Z: Generasi Gampang Patah

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang

          Generasi Z (Gen Z) adalah mereka yang saat ini berusia antara 15-24 tahun. Gen Z lahir pada rentang tahun 1997-2012. Di Indonesia ada sekitar 75 juta jiwa yang termasuk generasi Z ini. Gen Z lebih unggul menggunakan teknologi komunikasi. Mereka lahir dan tumbuh menggunakan teknologi (digital native). Mereka banyak menghabiskan waktu di depan gadget daripada berinteraksi langsung dengan sesama manusia.

          Gen Z hidup banyak bergantung teknologi. Generasi ini dikeluhkan banyak pihak kurang memiliki empati dan kepedulian pada kehidupan sesama. Gen Z suka rebahan dan malas bergerak. Mereka lembek dan rapuh. Sepertinya terlihat kuat, namun sejatinya lemah dan gampang patah. Kepentok sedikit saja mereka mudah menyerah dan pasrah. Mereka tak tahan banting menghadapi tekanan eksternal.

          Sejumlah cerita tentang gen Z bermunculan di media sosial (medsos). Beberapa perusahaan dibikin pusing dengan karyawan dari gen Z ini. Mereka tak mampu bekerja dengan serius. Mereka sering tidak masuk kerja dengan alasan yang sepele. Seperti dalam podcast Rhenald Kasali yang berjudul “Gen Z: Generasi Serba Instan dan Tidak Mau Rugi,” diceritakan ada gen Z yang tidak masuk kerja hanya karena kucingnya sakit.

          Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru terdapat 9,9 juta gen Z yang menganggur. Mereka sedang tidak dalam kondisi menuntut ilmu juga tidak sedang bekerja. Jumlah gen Z yang menganggur terdiri dari 5,7 juta perempuan dan 4,17 laki-laki. Sementara berdasarkan rentang usia terdiri dari 3,4 juta berusia 15-19 tahun, sebanyak 6,4 juta berusia 20-24 tahun. Sebesar 15,53 juta berusia 15-19 tahun dan 28,91 juta berusia antara 20-24 tahun.

Krisis Kesehatan Mental

          Gen Z merupakan generasi yang terlahir dengan kemajuan teknologi yang pesat. Namun, dengan kondisi ini menyebabkan gen Z dinilai memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah. Para generasi Z cenderung rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Generasi ini dikenal memiliki mental “tempe” atau manja dan sangat sensitif dengan perubahan emosi yang ada.

          Survei I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 menemukan, sekitar 1 dari 20 atau 5,5 persen remaja usia 10-17 tahun didiagnosis memiliki gangguan mental yang biasa disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Sementara, sekitar sepertiga atau 34,9 persen memiliki setidaknya satu masalah kesehatan mental atau tergolong Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK).

          Survei Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK-UGM) yang terlibat dalam I-NAMHS, menemukan bahwa gangguan cemas merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja, mencapai 26,7 persen. Berikutnya masalah terkait pemusatan perhatian dan atau hiperaktivitas mencapai 10,6 persen, depresi 5,3 persen, masalah perilaku 2,4 persen, dan stres pascatrauma 1,8 persen.

          Beberapa remaja juga melaporkan kecenderungan perilaku bunuh diri dalam 12 bulan terakhir. Di antara keseluruhan sampel, 1,4 persen melaporkan bahwa mereka memiliki ide bunuh diri, 0,5 persen telah membuat rencana untuk bunuh diri, dan 0,2 persen melaporkan bahwa mereka telah mencoba melakukan percobaan bunuh diri. Kenyataan ini sangat memprihatinkan mengingat gen Z merupakan tumpuhan dalam mewujudkan generasi emas 2045.

Second Account

          Fenomena second account menunjukkan kepribadian yang kurang sehat. Dalam penggunaan medsos, para gen Z harus memakai banyak topeng layaknya bermain peran. Jika fenomena ini berlangsung cukup lama maka akan dapat memengaruhi kesehatan mental mereka. Saat menggunakan medsos, otak mengeluarkan dopamin, zat dalam otak yang membuat pengguna merasa rileks, sehingga medsos sering menjadi pelarian dari masalah kehidupan nyata.

          Sebuah studi menemukan 48 persen gen Z mengalami kecanduan internet dan medsos yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari. Banyaknya waktu yang dihabiskan gen Z untuk bermain di dunia maya dan mengakses medsos  berpotensi menyebabkan penurunan produktivitas, masalah tidur, dan isolasi sosial. Banyaknya paparan konten digital yang konstan dapat memengaruhi kemampuan gen Z dalam mempertahankan fokus dan konsentrasi.

           Rentang perhatian gen Z menjadi pendek dan tidak terbiasa tekun memperhatikan maupun berusaha menyelesaikan masalah. Medsos juga kerap memamerkan kehidupan sempurna seseorang yang membuat Gen Z merasa tidak cukup dan merasa harga dirinya rendah. Mereka seringkali membandingkan kondisi kehidupan sendiri dengan yang ditampilkan orang lain di medsos.

          Paparan konten dan kehidupan yang dibagikan orang lain tanpa disadari dapat memengaruhi cara pandang dan penilaian gen Z pada kehidupan mereka sendiri. Gen Z lebih mudah merasa tidak puas akan kehidupannya hingga memicu depresi dan kecemasan. Tak jarang situasi ini menjadikan gen Z menampilkan diri dalam wajah yang berbeda (second account) dan menjadikan dirinya bukan seperti dirinya yang sesungguhnya.

          Kalau 2045 digadang-gadang bakal jadi Indonesia emas, lantas bagaimana kalau generasi yang mengisinya justru mereka yang gampang patah dan menyerah? Situasi ini menuntut perhatian dan kepedulian serius dari banyak pihak. Pada lingkungan terkecil keluarga, pemerintah, dan masyarakat. Jangan sampai generasi emas yang diharapkan itu justru menjadi generasi cemas. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img