Scroll TikTok sambil ngemil snack atau minum boba memang terdengar seperti cara healing yang sah. Tanpa disadari, gaya hidup santai ala Gen Z ini mulai memunculkan tanda tanya besar. Apakah tubuh mereka benar-benar baik-baik saja akibat asupan makanan sembarangan?
Generasi Z atau mereka yang lahir sekitar tahun 1997 hingga awal 2010-an adalah generasi paling akrab dengan dunia digital. Kedekatan ini juga bikin mereka lebih sering duduk lama di depan layar, entah itu buat mengerjakan tugas atau sekadar scroll medsos. Aktivitas fisik jadi minim, sementara asupan kalori dari makanan instan, gorengan, dan minuman manis malah makin tinggi.
Menurut laporan dari World Health Organization (WHO), lebih dari 80 persen remaja usia 11 hingga 17 tahun di seluruh dunia kurang bergerak secara fisik. Gen Z adalah bagian besar dari angka itu. Di Indonesia, kebiasaan kurang gerak ini ditambah kemudahan pesan makanan lewat aplikasi, membuat siapa pun bisa makan junk food tanpa harus keluar rumah.
Padahal, tubuh manusia butuh gerak. Duduk terus-menerus selama berjam-jam tanpa aktivitas fisik bisa memperlambat metabolisme, meningkatkan risiko penumpukan lemak, dan bikin tubuh lebih cepat lelah. Kalau ditambah dengan pola makan tinggi gula, garam, dan lemak, maka risiko seperti obesitas, kolesterol tinggi, hingga penyakit jantung bukan lagi masalah “orang tua.”
Banyak Gen Z menjadikan makanan sebagai pelarian dari stres. Saat mood jelek, pesan ayam geprek level 5. Saat lagi senang, traktir diri dengan es kopi gula aren. Dan tentu saja, camilan-camilan viral di TikTok. Yang bikin penasaran langsung dicoba dan dimakan, meski kandungannya belum tentu ramah buat tubuh.
Fenomena ini dikenal sebagai emotional eating. Yaitu makan bukan karena lapar secara fisik, tapi untuk menenangkan emosi. Jika terjadi terus-menerus, berat badan bisa naik perlahan tanpa disadari.
Selama ini, kolesterol sering dikaitkan dengan usia 40-an ke atas. Padahal gaya hidup yang buruk sejak remaja bisa menyebabkan kolesterol tinggi di usia muda. Kolesterol sendiri adalah zat lemak yang dibutuhkan tubuh, tapi jika jumlahnya berlebihan terutama LDL alias kolesterol jahat, bisa menyumbat pembuluh darah dan memicu penyakit jantung atau stroke.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI, tren kolesterol tinggi pada usia muda meningkat dalam satu dekade terakhir. Hal ini diperparah oleh kebiasaan makan tinggi lemak jenuh, kurang konsumsi serat (sayur dan buah), serta minimnya aktivitas fisik.
Sayangnya, banyak anak muda yang tidak sadar tubuhnya bermasalah karena gejala kolesterol tinggi jarang terasa di awal. Gejala seperti mudah lelah, nyeri di dada, atau pusing sering kali diabaikan atau dianggap efek begadang.
Satu lagi faktor yang memperparah kondisi ini adalah budaya “sibuk = keren.” Banyak anak muda rela melewatkan makan demi kerja atau kuliah, lalu ujung-ujungnya pesan fast food karena cepat dan praktis. Belum lagi tren minuman kekinian yang mengandung gula berlebih, tapi dikemas dengan image estetik dan gaya hidup “produktif.” Padahal, tubuh tetap butuh asupan yang seimbang. Melewatkan makan bukan solusi untuk jadi lebih produktif, tapi malah bisa menurunkan konsentrasi dan bikin tubuh rentan kena penyakit.
Mengubah pola hidup bukan berarti harus langsung jadi anak gym atau makan clean setiap hari. Langkah kecil bisa dimulai dari hal sederhana. Misalnya, mencoba jalan kaki 30 menit sehari, ganti camilan keripik jadi buah potong, atau minum air putih lebih banyak daripada kopi susu. Sesekali pesan boba boleh, asal jangan jadi kebiasaan harian.
Mulai juga membatasi waktu duduk berlama-lama. Misalnya setiap satu jam duduk, berdiri atau stretching sebentar. Bisa juga ikut challenge workout 10 menit dari YouTube. Kalau dilakukan secara rutin, efeknya sangat besar buat metabolisme tubuh.
Yang tidak kalah penting, perbanyak konsumsi makanan alami. Sayur, buah, biji-bijian, dan protein tanpa lemak bisa membantu menurunkan kadar kolesterol jahat. Kurangi makanan olahan dan gorengan, serta pilih cara masak yang lebih sehat seperti kukus, rebus, atau panggang.
Media sosial punya dampak besar pada pola makan Gen Z. Banyak yang tertarik mencoba makanan bukan karena lapar, tapi karena tergoda review atau tren FYP. Penting juga menonton konten yang mendorong gaya hidup sehat. Seperti meal prep atau olahraga singkat di rumah.
Begitu juga dengan sekolah dan lingkungan. Edukasi soal gizi dan kesehatan tubuh harus mulai dikemas menarik dan relevan dengan keseharian anak muda. Bukan sekadar teori di buku pelajaran, tapi aplikatif dan relatable.
Menjaga tubuh tetap sehat bukan berarti harus meninggalkan gaya hidup kekinian. Gen Z tetap bisa produktif, eksis di TikTok, dan menikmati hidup, asalkan tahu batas dan paham kebutuhan tubuh sendiri. Tidak semua harus diet ekstrem. Tapi mulailah dari sadar apa yang masuk ke tubuh dan seberapa banyak tubuh diajak bergerak.
Kolesterol, obesitas dan stroke bukan cuma urusan orang tua. Kalau tidak dijaga dari sekarang, efeknya bisa muncul lebih cepat dari yang dibayangkan. Jadi, mari mulai seimbangkan hidup digital dengan gaya hidup sehat.(*)