Saturday, October 25, 2025
spot_img

Generasi Digital dan Perspektif Baru tentang Pangan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

“Hand in Hand for Better Foods and a Better Future” menjadi tema utama Hari Pangan Sedunia 2025, yang diperingati setiap 16 Oktober. Tema ini mendorong kita untuk meninjau kembali masa depan pangan melalui perspektif yang lebih segar dan terbuka.

          Sebuah perspektif yang tidak hanya melihat bagaimana makanan tersedia di ruang-ruang fisik seperti dapur, restoran, toko, dan pasar. Namun juga di ruang digital, tempat generasi masa depan, yakni generasi milenial dan Gen Z, tumbuh, berinteraksi, dan membentuk persepsi mereka tentang pangan.

-Advertisement- HUT

          Bagi generasi digital ini, “menu” harian tak lagi pangan fisik dan pengisi perut semata, namun juga konten dan narasi. Mereka lebih sering menyantap kata-kata daripada makanan sesungguhnya. Masa depan pangan kini bergantung bukan hanya pada tangan yang menanam, tetapi juga pada dinamika algoritma yang membentuk selera dan kesadaran, di tengah pertarungan tak kasatmata antara edukasi dan ilusi, antara keberlanjutan dan konsumsi.


HUT

Paradoks Gizi dan Narasi

          Data BPS (2021) menunjukkan bahwa Generasi Z mencakup sekitar 27,9 persen populasi Indonesia, sementara Milenial mencapai sekitar 25,9 persen. Jika digabungkan, keduanya mewakili lebih dari separo penduduk negeri ini. Dengan dominasi tersebut, merekalah wajah Indonesia hari ini sekaligus calon pemimpin 2045, generasi digital yang digadang sebagai Generasi Emas di masa depan.

          Namun, harapan emas ini kini dibayangi kuasa algoritma. Survei International Food Information Council (IFIC) atau Dewan Informasi Pangan Internasional (2024) mencatat 54 persen responden, mayoritas Gen Z dan Milenial, mendapat informasi makanan dari media sosial, bertumbuh signifikan dari tahun sebelumnya.

          Ironisnya, riset terbaru Michelle Zeng et al. (2025) atas 1.054 unggahan TikTok menemukan bahwa 55 persen konten pangan tidak berbasis bukti, 75 persen kurang akurat, 82 persen tak transparan dalam mencantumkan iklan, dan 90 persen gagal menyebut risiko maupun manfaat. Ternyata engagement (suka, komentar, bagikan) lebih utama ketimbang akurasi, sehingga generasi digital sangat rentan terhadap misinformasi gizi.

          Kita pun menghadapi paradoks bahwa generasi yang seharusnya dibekali gizi baik, nyatanya justru dijejali narasi “kalori kosong.” Mereka bukan hanya konsumen makanan, tapi juga konsumen narasi yang didikte oleh algoritma dan sering kali dibalut pesan promosi tersamar.

          Seturut dengan penegasan Alfred Korzybski, “You eat not only food but words — taste is tied to value, too.” Apa yang dimakan pikiran, menentukan apa yang dimakan tubuh. Informasi berupa kata-kata, label, narasi ternyata mampu mengubah rasa menjadi lebih kuat daripada substansi fisik makanan itu sendiri.

          Tidak mengherankan jika kini algoritma lebih mampu memengaruhi pilihan makan remaja dibanding ajaran gizi seimbang di sekolah atau rumah. Di TikTok, topik makanan menjadi salah satu tagar terpopuler 2025, namun yang banyak beredar justru konten diet ekstrem, minuman berpemanis, dan pola makan instan.

          WHO telah lama mengingatkan bahwa anak dan remaja kini menjadi target utama promosi pangan tidak sehat yang terselip halus dalam unggahan para influencer dan selebritas digital. Karena itu, perjuangan pangan tak lagi terjadi di meja makan semata, tetapi juga di ruang digital, untuk melindungi generasi emas dari algoritma yang menyesatkan melalui literasi gizi, regulasi iklan, dan konten berbasis bukti.

Pemberdayaan Digital Konsumen Pangan

          Perlindungan konsumen di era digital perlu diwujudkan lewat kebijakan yang adaptif terhadap perubahan perilaku generasi muda yang tumbuh di tengah arus informasi pangan. Pemerintah perlu memperketat regulasi iklan digital, terutama pembatasan promosi makanan tinggi gula, garam, dan lemak jenuh di media social. Serta mewajibkan semacam disclaimer kesehatan pada setiap konten sponsor agar konsumen tidak mudah tersesat oleh pesan komersial.

          Transparansi label gizi menjadi kunci agar konsumen dapat memilih dengan lebih sadar. Penerapan front-of-pack labeling yang sederhana serta standarisasi klaim kesehatan akan mencegah kesalahpahaman. Langkah ini perlu didukung literasi gizi digital di sekolah, komunitas, dan platform daring agar masyarakat mampu memilah informasi dan mengenali narasi pangan yang sehat.

          Langkah penting lainnya ialah menggandeng platform digital untuk membangun algoritma pro-kesehatan yang menonjolkan konten bergizi dan memberi insentif bagi kreator positif. Memperkuat peran sekolah dan komunitas lewat kantin sehat serta program akses pangan bergizi, sehingga perlindungan konsumen meluas ke ruang digital dan generasi muda mampu memilih pangan dengan lebih sadar.

          Hari Pangan Sedunia 2025 seharusnya menjadi pengingat bahwa masa depan Indonesia Emas hanya dapat terwujud jika generasi mudanya tidak sekadar mengonsumsi pangan bergizi, tetapi juga berdaya untuk memenangkan narasi yang menyehatkan pikiran dan kesadaran publik.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img