spot_img
Friday, October 11, 2024
spot_img

Generasi Emas Awal dari Malang, Dipercaya PB ISSI

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Sugeng Tri Hartono, Pelatih Hebat Atlet Sepeda

Di balik kesuksesan tim balap sepeda Jawa Timur pada PON Aceh-Sumut, tak  bisa lepas dari tangan dingin Sugeng Tri Hartono. Pria yang akrab disapa Tono itu, merupakan pelatih utama yang menangani tim balap sepeda Jawa Timur.  Ia juga ekstra ofisial di PB  Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI).

MALANG POSCO MEDIA- Ternyata, sosok Tono ini tidak bisa dianggap remeh. Bukan tanpa sebab, selama ini Tono sudah cukup lama melahirkan sejumlah atlet balap sepeda ternama dan telah  mengukir prestasi di tingkat internasional. Tidak hanya ajang bergengsi seperti PON, tapi juga Sea Games hingga Asian Games.

- Advertisement -

Bahkan kini ia masih dipercaya menjadi ekstra ofisial di PB  Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI). Tak heran, saat Olimpiade Paris, dia masih diajak untuk ikut serta. Dilihat dari rekam jejaknya, sosok Tono memang tidak main-main. Tono dulunya merupakan seorang atlet balap sepeda yang dulunya menjadi generasi emas di masanya.

“Malang itu kelihatan ‘bakat’ meraih prestasi sepeda saat tahun 1984. Mulai dilirik daerah lainnya era 1985-an, itu sudah dikuasai oleh ‘Generasi Malang’. Itu generasi emas awal, di waktu itu,” kenang Tono, kepada Malang Posco Media, kemarin.

Tono pertama menjadi atlet sejak 1980-an. Pertama kali ia menjadi atlet adalah di kategori sepeda BMX di usianya yang masih 16 tahun. Even-even skala kecil seperti even 17 Agustusan atau even kampung ia lakoni. Dia ikut dalam klub kecil di kampungnya, yakni di Polehan dan didominasi oleh anak-anak kampung setempat.

Baru sekitar 1983-1984 ia mulai aktif di balap sepeda roadbike. Saat itu, mulai banyak ikut beragam kejuaraan baik tingkat kota maupun tingkat provinsi. Pada 1984, ia ikut Kejurprov di Pasuruan dan masuk 10 besar. Meski belum menang, dari situlah sosok Tono mulai dipantau dan dikenal di tingkat Jawa Timur.

“Baru kemudian diberi kesempatan dipanggil TC (training center) PON Jakarta 1985. Ikut PON sendirian karena dari Malang hanya saya. Waktu itu Alhamdulillah dapat juara dua, dapat medali perak,” kenang pria kelahiran 27 Juli 1967 ini.

Setelah itu, prestasi Tono makin moncer. Beragam kejuaraan tingkat nasional balap sepeda sukses ia taklukkan. Dia bahkan pernah tiga kali berturut turut menjuarai kejuaraan dari SIWO PWI yang kemudian menjadi titik krusial dihadiahkannya pembangunan velodrome di Kota Malang.

Tahun demi tahun Tono sukses meraih prestasi yang membanggakan. Namun stelah beberapa tahun, tepatnya sekitar 1994 akhir, Tono memutuskan berhenti menjadi atlet. Padahal dirinya saat itu masih cukup bersinar seperti teman seangkatannya di ‘generasi emas’.

Akan tetapi, ia menyadari meski di usianya yang waktu itu masih 24 tahun, bisa melihat banyak atlet lain yang berpotensi. Ia sadar diri dengan kemampuannya yang sudah mencapai batas.

“Kemudian diberi tahu oleh teman bagaimana untuk ikut kepelatihan. Sekitar 1995 awal dipanggil kepelatihan di Jakarta untuk UCI-NOC (Union Cyclist International-National Olympic Comitee). Dilatih oleh Shane Banen dan saya dapat ranking 5 besar,” sebut alumnus Jurusan Sosial Politik FISIP UMM ini.

Sejak saat itu, Tono pun resmi menjadi pelatih. Ternyata, kiprah ketika menjadi pelatih pun tidak kalah moncer seperti ketika menjadi atlet. Pada tahun yang sama, Tono bahkan sudah dipercaya untuk melatih timnas untuk Sea games Thailand 1995. Waktu itu, ia sukses membawa pulang dua emas dari kategori putri.

Hasil positif itu, berlanjut di tiap kali ajang Sea Games. Tono menjadi pelatih utama untuk tim putri. Selain itu, ia juga menjadi pelatih untuk Provinsi Jawa Timur serta Kota Malang.

Khusus di PB ISSI, terakhir menjadi pelatih pada 2013. Pada 2016, ia didapuk menjadi Binpres (Pembinaan dan Prestasi) PB ISSI. “Jadi sekarang lebih banyak mengevaluasi atlet dan pelatihnya. Sampai sekarang saya masih diajak menjadi ekstra ofisial, makanya seperti Olimpiade Paris, saya diajak ke sana. Menurut saya, tetap lebih enak jadi pelatih,” tegas pria penghobi motor vespa ini.

Diakui Tono, melatih seorang atlet di olahraga balap sepeda bukan hal yang mudah. Bukan tanpa sebab, olahraga yang cukup ekstrem ini sering sekali dihadapkan dengan potensi cedera yang selalu menghantui. Sejak menjadi atlet, Tono pun sudah sering sekali mengalaminya. Baik di kategori BMX, downhill maupun roadbike.

Ia mengingat, pernah ditabrak sepeda lain hingga sepedanya pecah. Ia pun cedera kaki hingga beberapa lama tidak bisa jalan. “Cedera terkilir otot, atau cedera engkel, selalu menghantui. Namanya musibah di lomba, di latihan menghantui karena olahraga ini memang bahaya, keras dan berat,” sebut warga Kedungkandang ini.

Beruntung, dari waktu ke waktu, kini sudah makin mudah dijumpai perlengkapan safety hingga pengobatan yang baik. Sehingga faktor terjadinya cedera bisa diminimalisir. Sehingga dari segi pembinaan kepada atlet, diakui Tono makin berkembang.

Pembinaan berupa banyaknya kejuaraan seperti Porprov, Kejurprov hingga Popda juga berpengaruh memberikan atlet sepeda yang terbaik di Kota Malang. Tapi di sisi lain, tantangan kedepan memang lebih berat. Sebab tentunya akan bersaing dengan 34 kota kabupaten di Jawa Timur yang mempunyai atlet yang cukup bersaing.

Menurut Tono, atlet-atlet di Kota Malang kini juga bisa dibilang generasi yang cukup bagus. Terbukti dengan segudang prestasi yang berhasil dicapai. Termasuk juga prestasi PON Aceh-Sumut, dimana lima dari 10 medali yang didapat oleh Jatim, berasal dari atlet Kota Malang. Namun ia tidak terlena, karena tantangan kedepan cukup besar.

“Kami tidak henti-hentinya dengan tim pelatih bagaimana misal atlet BMX atau MTB, itu bisa juga nomor road race. Tentu tidak mudah, karena mungkin sudah nyaman di nomor itu. Tapi kami optimis, nantinya tetap akan ada penerusnya,” pungkasnya. (ian/van)

- Advertisement -
spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img