Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Sebagai negara muslim terbesar di dunia yang sedang melakukan konsolidasi demokrasi, Indonesia kini sedang menghadapi fase pertaruhan yang paling merisaukan. Besarnya harapan atas jawaban apakah Islam memiliki paralisasi dengan demokrasi, telah lama menjadi beban bagi siapa saja yang mendambakan Islam berfungsi sebagai sumber kedamaian dan keadilan.
Fakta empiris atas minimnya negara-negara Muslim yang menempuh jalan demokrasi, serta adanya kenyataan sosiologis atas maraknya anarkisme sebagai model “pemaksaan” kehendak, rasanya sudah cukup memadai untuk membangun keraguan tentangan masa depan kemapanan demokrasi di Indonesia.
Banyak kalangan yang mulai mempercayai, bahwa terjadinya berbagai distorsi tersebut, sebagian lebih disebabkan oleh minimnya dukungan kultural keagamaan yang kondusif bagi percepatan pertumbuhan masa kanak-kanak demokrasi. Corak keagamaan, yang pada akhir dekade 60-an, disebut Geertz, sebagai “religious mindedness”, yaitu sebuah sikap keagamaan yang open-mind, serba toleran, inklusif, sinkretis, adaptatif; kini telah berubah menjadi model keagamaan yang bercorak “religiousness”, yang eksklusif, radikal, fundamentalis dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan.
Ada sejumlah asumsi atas mekarnya kembali gerakan model Ihwanul Muslimin ini, mulai dari ketidakadilan tata dunia, khususnya sikap ambigu negara-negara barat dalam menangani kasus Palestina-Israel, sampai akutnya ketidakadilan ekonomi yang melanda negara-negara ketiga.
Kerentanan yang paling merisaukan atas meluasnya gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia adalah, dikuasainya ruang-ruang pusat sosialisasi, khususnya di sekolah-sekolah dan kampus-kampus umum, yang terus menjadi sasaran Islamisasi versi ini, tanpa ada tandingan pemahaman Islam alternatif yang moderat.
Minimnya pengetahuan agama, serta semangat yang kuat dalam menerima kepatuhan agama (sami’na waatho’na) yang diikat oleh bai’at merupakan cara klasik dalam membangun kesetiaan. Meskipun fundamentalisme bukanlah sebuah solusi, tetapi semangat yang terus berkobar-kobar menebar kebencian, dalam jangka panjang jelas merupakan bom-waktu atas meledaknya “clash of ideology” dalam bentuk kekerasan-kerasan yang lebih massif yang terlalu mengerikan untuk dibayangkan.
Generasi Muda Terdidik
Sebagai generasi muda terdidik, mahasiswa menjadi harapan terdepan masa depan bangsa dan sekaligus sebagai radar hati nurani rakyat yang paling dianggap “bebas” dari kepentingan. Minimnya kalkulasi politik yang dilakukan mahasiswa membuat gerakannya disebut sebagai moral force. Sebagai gerakan moral gerakan mahasiswa seringkali menjadi parameter suhu politik yang paling sensitif dari setiap pergolakan yang dikobarkan.
Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kadar tertentu organisasi ekstra (kelompok Cipayung plus KAMMI), pada dasarnya merupakan “perpanjangan” ideologis partai politik yang tidak pernah netral atau vakum dari kepentingan. Dunia politik mahasiswa pada akhirnya lebih merupakan cikal-bakal kehidupan politik nasional yang tidak sepenuhnya bebas dari jangkauan ideologis.
Karenanya, tidaklah mudah untuk menilai secara cepat, apakah demontrasi yang dilakukan mahasiswa, misalnya, benar-benar merupakan gerakan moral; ataukah lebih merupakan perpanjangan dari kekuatan politik yang menjadi sponsor ideologisnya.
Ada sejumlah pola pergeseran orientasi mahasiswa Muslim yang menarik untuk diamati. Jika sampai paruh kedua dasawarsa 90-an HMI yang berbasis pada kelompok Islam modernis telah menjadi kelompok dominan, kini kekuatan itu telah bergeser pada KAMMI yang ajarannya tampaknya lebih terilhami oleh Ikhawanul Muslimin di Mesir. Perubahan formasi ini tampaknya akan berdampak pada formasi model demokrasi di Indonesia.
Sementara itu dari perspektif ideologis Indonesia yang menetapkan diri berideologi Pancasila, bukan sebagai Negara agama dan bukan pula sebagai Negara sekuler, saat ini sedang dalam himpitan dua tawaran ideologi besar.
Di satu pihak tawaran ideologi sekuler yang menuntut pemisahan antara agama dan Negara; di lain pihak tawaran ideologi keagamaan yang menginginkan penyatuan antara agama dan negara. Benturan ideologis yang tidak mudah dikompromikan ini, rupanya ikut mempengaruhi dinamika kehidupan politik mahasiswa.
Karena itu, dalam memproyeksikan masa depan demokrasi di Indonesia, rupanya perlu direkam seluruh dinamika politik mahasiswa, termasuk dasar-dasar pemikiran yang mendasarinya. Tampaknya ada benarnya apa yang dinyatakan Martin Van Bruinessen (2009): bahwa “Dinamika pemikiran Islam di Indonesia tidak bisa dipahami tanpa memperhatikan aktivisme Islam di kampus, karena banyak perdebatan-perdebatan penting telah dimulai di situ.
Begitu pula gerakan-gerakan dan diskusi-diskusi di kampus hari ini pasti akan berdampak pada wacana public Islam di masa depan. Satu dasawarsa setelah “reformasi”, ketika gerakan mahasiswa merupakan bagian penting dari proses politik dan cukup menarik perhatian, kehidupan kampus sekarang hampir luput dari perhatian para pengamat.”
Apa saja persisnya yang menjadi perbedaan mendasar dari kedua ideologi itu, baik yang dipersepsikan mahasiswa maupun yang sedangkan dan telah diperjuangkan dalam politik Kampus, termasuk bagaimana perbedaan itu dinegosiasikan, jelas menarik untuk direkam.
Termasuk bagaimana sikap mereka terhadap Pancasila sebagai ideologi yang memiliki fungsi integratif itu dipahami. Sekiranya telah terjadi kritik ideologis terhadap Pancasila, argumentasi apa saja yang dibangun, baik terhadap mereka yang menganut paham sekuler maupun para pendukung paham ideologi keagamaan, dan keduanya membutuhkan elaborasi.
Sementara itu, dalam kenyataannya, para tokoh mahasiswa baik yang berkecimpung dalam kegiatan organisasi intra maupun organisasi esktra kampus, merupakan stock kader-kader kepemimpinan “terpilih” dari seluruh tebaran jabatan, baik dalam partai politik, parlemen, birokrasi, perusahaan dan seterusnya.
Karenanya jika ingin memastikan kualitas kepemimpinan Indonesia dan arah demokratisasi di masa depan, pada dasarnya dapat dimulai dengan melihat dinamika kehidupan mahasiwa saat ini. Termasuk dalam mewacanakan problem-problem empiris, soal ke bhinekaan, NKRI, HAM, keadilan sosial, dan sebagianya. (*)