MALANG POSCO MEDIA- Bisa jadi sudah tak banyak orang yang tertarik menjadi petani di zaman ini. Apalagi masyarakat di perkotaan yang lahannya sangat terbatas. Namun berbeda dengan Slamet Hariyadi. Warga Kelurahan Kebonsari Kecamatan Sukun Kota Malang ini menggerakan warga menjadi petani. Kini hasilnya mulai tampak lantaran mereka menerapkan smart farming.
Bukan saja telah menciptakan peluang keuntungan ekonomi, Slamet juga telah menggerakkan puluhan warganya menjadi petani. Yakni melalui pertanian perkotaan atau urban farming yang menjadi salah satu percontohan di Kota Malang.
Melalui kelompok tani yang disebut Poktan Lestari, ia berhasil membawa konsep urban farmingnya ini menjadi pemenang dalam Lomba Urban Farming dan Budikdamber (Budidaya Ikan Dalam Ember) tingkat Kota Malang tahun ini. Bukan tanpa sebab, di lahan greenhouse miliknya, terdapat urban farming berteknologi pintar atau smart farming, budidaya ikan dengan empat kali filter hingga dukungan tenaga surya atau solar panel untuk energi listriknya. Hasil pertaniannya pun telah dipasok ke beberapa wilayah.
“Untuk yang rutin itu kami pasok ke Gunung Kawi, itu ada suplayernya. Yang terbaru, baru saja ini ada peluang dari Bali untuk memasok. Sudah disampaikan harga yang ditawarkan mereka dan setelah saya lihat sangat sesuai bagi kami,” kata Slamet ketika ditemui Malang Posco Media.
Untuk mencapai hal ini, tentu bukan proses yang mudah. Slamet menceritakan, keberadaan greenhouse atau lahan pertanian di kampungnya, yakni di RT 1 RW 2 Kelurahan Kebonsari, bermula ketika datangnya pandemi Covid-19. Slamet yang juga m Ketua RT ini begitu merasakan beratnya masa-masa pandemi yang serba keterbatasan.
Termasuk sulitnya pasokan bahan pangan yang sehat. Menyikapi hal ini, Slamet tergugah untuk mewujudkan sebuah fasilitas yang bisa memenuhi kebutuhan pangan warganya. Dari situlah, Slamet kemudian menggerakkan sejumlah warganya untuk menanam sayur-sayuran.
“Awalnya menanam sayur-sayuran dengan sistem hidroponik yang sederhana. Tujuannya tidak ada profit sama sekali, murni untuk ketahanan pangan masyarakat saat Covid-19. Walaupun pandemi, mereka pakai masker tapi tidak terlalu jaga jarak. Yang penting warga antusias dan syukurnya bisa berjalan lancar,” cerita Slamet.
Di masa awal tersebut, Slamet menyebut ada beberapa jenis sayuran yang ditanam. Misalnya seperti sawi, kubis, pakcoy, brokoli, terong, cabai dan lainnya. Setidaknya lebih dari 10 jenis sayuran yang ditanam.
Dari situ, pelan-pelan sistem urban farming di tempatnya itu dikembangkan menjadi urban farming yang terintegrasi. Artinya, selain menanam sayuran, juga sekaligus budidaya ikan. Misalnya ada budikdamber, dimana ikan lele diternak di dalam ember, sementara di atasnya ditanami sayuran kangkung.
“Jadi warga yang suka menanam ya menanam sayur-sayuran, ada yang suka ternak ikan ya kami kembangkan budikdamber. Kemudian ini diintegrasikan. Kami menggerakkan seperti ini supaya warga mau untuk melakukan aktivitas pertanian yang menghasilkan bahan pangan ini,” tambah dia.
Tidak hanya itu, urban farming ini pun dikembangkan menjadi sustainable atau berkelanjutan. Jika salah satu jenis sayuran sudah memasuki masa panen, maka jenis lainnya akan menyusul panen. Sehingga terus berputar tidak ada henti. Tiap minggunya selalu ada saja beberapa sayuran yang bisa dipanen.
Dari situlah kemudian makin banyak warga yang ikut aktif menjadi petani di greenhousenya. Setidaknya ada 20 warga di RT yang dipimpinnya menjadi petani.
“Setidaknya tiap KK ada yang ikut menjadi petani. Bagi saya yang penting adalah memberdayakan warga dan mereka bisa beraktivitas yang positif dan produktif,” tutur Slamet.
Urban farming di Poktan Lestari ini makin unggul dengan sistem smart farming. Untuk penyiraman dilakukan secara otomatis melalui aplikasi dengan memanfaatkan internet (Internet of Things). Sehingga di waktu yang telah ditentukan, petani atau warga tidak perlu khawatir terlupa atau terlewatkan karena telah disiram secara otomatis.
Sementara untuk budidaya ikan, di Poktan Lestari ini terdapat dua jenis ikan yang dikembangkan. Yakni budidaya Ikan Lele dan Ikan Nila. Meski sekilas budidaya ikan yang diterapkan ini hampir sama dengan budikdamber biasanya, namun sebenarnya sangat berbeda.
Slamet menyebut, budidaya ikan di tempatnya ini menggunakan sistem RAS atau Resirculation Aquacultur System. Ada empat filter yang digunakan, mulai filter mekanis, filter organis hingga filter biologis. Dengan sistem ini, budidaya ikan bisa lebih maksimal dan lebih mudah.
“Dengan sistem seperti ini, kami dipermudah perawatannya. Air selalu jernih, lalu tidak bau airnya, tidak sering ganti air, sehingga hemat air. Lelenya juga sangat cepat besar dan perlu diketahui di sini murni tidak pakai makanan tambahan. Saya yakin sistem RAS ini belum ada setidaknya di Malang,” papar pria kelahiran 4 Desember 1970 ini.
Dengan pertanian sayur-sayuran serta ikan ini, Slamet menyebut pihaknya bisa memanen hasilnya secara berkelanjutan. Untuk sayur-sayuran, setidaknya per minggu minimal bisa sampai 10 kilogram berbagai jenis. Lalu untuk Ikan Nila dan Ikan Lele, minimal juga bisa mencapai 10 kilogram tiap kali panen.
Untuk hasil sayur-sayuran, warga bisa mengkonsumsi secara gratis. Sedangkan untuk warga luar, dijual dengan harga yang terjangkau.
Sementara untuk hasil panen ikan, warga setempat tetap harus membeli namun dengan harga yang lebih murah. Untuk Ikan Lele perkilogram dijual
Rp 20 ribu, dari harga normal untuk warga luar Rp 25 ribu per kilogram. Untuk ukuran besar, Rp 30 ribu per kilogram.
Sedangkan Ikan Nila, dijual seharga Rp 25 ribu per kilogram. Sementara untuk warga luar dijual Rp 30 ribu per kilogram. Pangsa pasarnya kini mulai terbentuk dan terus berkembang.
“Hasil profit ini kami masukkan kas Poktan, ada tabungan sendiri atas namanya kelompok. Dari profit kelompok inilah kemudian bisa membangun RT. Misalnya pembangunan paving, kami tidak dapat bantuan, tapi kami bisa membangun sendiri,” beber alumnus Jurusan Statiska Universitas Gajayana ini.
Dengan bukti berkembangnya urban farming di Poktan Lestari ini, Slamet penggerak pertanian yang sukses. Ia bersyukur aktivitas pertanian urban di tempatnya bisa berjalan lancar dan maksimal hingga menjadi percontohan di Kota Malang.
Tidak pelit ilmu, Slamet membuka diri kepada semua pihak atau semua masyarakat yang ingin mempelajari urban farming. Ia mempersilakan untuk datang di Greenhouse Poktan Lestari untuk berbagi ilmu.
“Menggerakkan warga itu gampang-gampang sulit. Awalnya susah, karena biasanya di awal itu tidak berlanjut. Maka yang kami fokuskan sejak awal itu adalah menyalurkan kesukaan mereka terlebih dahulu,” katanya.
“Dengan begitu selanjutnya mereka akan semangat. Kalau ada warga lain ingin meniru seperti ini ‘monggo’ bisa studi tiru. Kami tidak menutup diri untuk saling sharing ilmu, karena saya sendiri terus belajar,” sambung Slamet. (ian/van)