MALANG POSCO MEDIA – Riset menunjukkan bahwa pandemi berakibat adanya learning loss pada siswa di seluruh Indonesia terutama pada kemampuan literasi dan numerasinya. Sementara hasil survei menyatakan bahwa siswa mendapatkan capaian belajar yang lebih baik selama menggunakan Kurikulum Darurat daripada Kurikulum 2013 secara penuh.
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah berupaya menawarkan Kurikulum Prototipe sebagai pilihan bagi satuan pendidikan untuk melakukan pemulihan pembelajaran. Tentu saja, diberlakukannya Kurikulum Prototipe merupakan salah satu wujud merdeka belajar dalam memberikan pelayanan pendidikan. Fokus utama dalam kurikulum ini memang didasarkan pada capaian pembelajaran.
Meskipun Kemristekdikti mengungkapkan rencana penawaran kurikulum yang lebih fleksibel tersebut membawa berbagai pendapat yang pro dan kontra. Namun pemerintah mencoba mengklarifikasi bahwa kurikulum ini sudah diujicobakan pada ribuan sekolah di seluruh Indonesia.
Kurikulum Prototipe yang lebih fokus pada materi esensial dan tidak terlalu padat materi ini harapkan mampu mendorong pembelajaran yang sesuai dengan minat, kompetensi, karakteristik, serta memberi ruang lebih luas pada pengembangan karakter dan kompetensi dasar siswa. Namun yang perlu disadari, hal ini tentu saja tidak mampu berjalan dengan baik jika tidak diikuti dengan peran seorang guru sebagai pelaksana di lapangan.
Guru harus mengambil peran penting diberlakukannya kurikulum prototipe ini. Guru adalah penggerak terselenggaranya pembelajaran yang bermutu dan berkualitas bagi anak bangsa. Disadari atau tidak fungsi dan tugas guru menjadi ujung tombak dalam keberhasilan pendidikan bangsa.
Ada beberapa poin yang bisa kita sepahamkan bahwa pelaksanaan Kurikulum Prototipe ini mendudukkan guru sebagai sutradara di dalam kelas yang mana, mengajak dan memotivasi peserta didik untuk mampu mengembangkan dan menumbuhkan skillnya, mengaplikasikan kompetensi yang dimilikinya dalam kehidupan yang nyata dan memiliki karakter unggul sesuai dengan karakter pelajar Pancasila.
Oleh karena itu dibutuhkan seorang guru yang mampu memahami bahwa karakteristik Kurikulum Prototipe memiliki kekhususan dalam pelaksanaanya. Di antaranya: Pertama, pengembangan soft skills dan karakter (akhlak mulia, gotong royong, kebinekaan, kemandirian, nalar kritis, kreativitas) atau karakter pelajar Pancasila mendapat porsi khusus dalam setiap pembelajaran terutama melalui pembelajaran berbasis proyek.
Pembelajaran berbasis proyek mampu mengarahkan siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis, berpikir kreatif, kolaborasi, dan komunikasi didasarkan pada permasalahan yang ada dalam kehidupannya. Pembelajaran yang berorientasi pada siswa ini memberikan ruang kepada siswa untuk berkreasi dan mengembangkan potensi belajarnya sehingga menemukan makna belajar dan bisa memecahkan masalahnya sendiri secara mandiri maupun berkelompok. Di sinilah sisi akademik dan nonakademiknya berkembang secara utuh.
Kedua, pembelajaran lebih difokuskan pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Jadi siswa tidak harus menguasai dan menuntaskan materi pembelajaran sehingga disesuaikan dengan kemampuan siswa. Lebih lanjut bahwa kurikulum ini lebih mengarah pada pengembangan kemampuan siswa secara holistik bukan secara parsial.
Ketiga, guru lebih fleksibel melakukan pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa (teach at the right level) danmelakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal. Pembelajaran dilakukan secara diferensiasi yang memberi keleluasaan pada siswa untuk meningkatkan potensi dirinya sesuai dengan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar siswa tersebut.
Pembelajaran yang akan memberikan keadilan bagi seluruh siswa. Pembelajaran yang berkeadilan ini, memberikan peluang besar bagi guru untuk menyiapkan beragam sumber belajar/ bahan ajar yang menyesuaikan gaya belajar, minat dan bakat siswa.
Di samping itu dibutuhkan variasi tugas yang bisa diselesaiakan oleh masing-masing individu tersebut dalam rangka pengembangan literasi dan numerasinya. Kita tahu bahwa literasi dan numerasi merupakan dasar utama siswa dalam menguasai ilmu-ilmu lainnya.
Guru juga harus mencermati lebih lanjut bahwa implementasi Kurikulum Prototipe ini lebih pada capaian pembelajaran dan fokus pada materi esensial penting sehingga guru memiliki waktu untuk pengembangan karakter pelajar Pancasila dan kompetensi sesuai dengan menumbuhkembangkan minat dan bakatnya tanpa mengenyampingkan adanya literasi dan numerasi dalam kehidupan sehari-hari dan memahami bahwa peserta didik memiliki keberagaman minat dan bakat serta gaya belajarnya.
Meskipun kesannya pelaksanaan Kurikulum Prototipe ini memberikan kelonggaran dan bukan sebuah paksaan, namun tidak ada salahnya guru juga beradaptasi dengan perubahan tersebut. Kita menyiapkan generasi emas tentu saja tidak dengan pola belajar kita saat ini, namun kita sesuaikan dengan kebutuhan anak didik yang akan menghadapi tantangan di masa depan.
Yang lebih utama lagi kemampuan guru dalam penguasaan, penyesuaian dengan perkembangan teknologi digital, sehingga semua guru mata pelajaran harus menguasainya. Namun sangat disayangkan jika pemberlakuan Kurikulum Prototipe seperti ini tidak diimbangi dengan monitoring yang jelas dan evaluasi yang secara komprehensif.
Sebaik apapun kurikulum baru yang dikembangkan, jika ujung tombaknya, guru tidak mampu mengejawantahkannya dalam proses belajar mengajar dengan baik maka kurikulum tersebut tidak bisa berjalan lancar dengan hasil maksimal.
Sebuah sitiran bahwa metode atau strategi memang lebih penting daripada materi kurikulum memberi sinyal bahwa guru lebih penting daripada metode atau strategi. Namun, ruh dan semangat guru untuk melakukan perubahan jauh lebih penting daripada guru itu sendiri. Perlu disadari bahwa guru adalah kurikulum itu sendiri.(*)