Belakangan ini muncul fenomena guru badut setelah sebelumnya populer dengan istilah guru killer. Munculnya istilah guru badut itu karena fenomena sosial dan harapan masyarakat terhadap peran guru. Guru badut adalah istilah yang diberikan oleh Imam Zanatul Khairi kepada guru yang suka bertingkah laku ”seperti badut”, sering kali menjumpai guru dengan percaya dirinya berjoget di depan kamera, di depan kelas bahkan bersama guru lainnya dan siswanya. Terlebih lagi mereka menggunakan hastag kurikulum merdeka dalam postingannya.
Tidak ada yang salah dengan joget-jogetnya. Silahkan bebas tetapi ada baiknya lepaskan atribut gurunya. Kalau joget-joget tidak ada kaitannya dengan profesi dan pembelajaran siswa, lebih baik tidak melakukan hal tersebut. Apalagi saat ini banyak sekali guru live saat mengajar, sehingga guru tidak fokus terhadap pembelajaran dan peserta didiknya.
Bahkan apapun yang dilakukan oleh siswa di dalam kelas sering kali divideo tanpa adanya izin dari siswa atau pun dari orang tua. Bisa jadi siswa enggan untuk divideo bahkan dijadikan konten. Para guru ini tak jarang juga mengunggah konten pembelajaran ke platform sosial media, seperti TikTok, Youtube, Facebook, hingga Instagram.
Guru diharapkan untuk tidak terjebak pada formalitas dan penampilan luar, apalagi hanya untuk kebutuhan konten. Keceriaan dalam pembelajaran sering kali hanya menjadi reka adegan tanpa dampak nyata terhadap proses belajar mengajar.
Fenomena guru badut di antaranya adalah karena perubahan kurikulum dan metode pembelajaran. Kurikulum Merdeka dan pendekatan pembelajaran yang lebih fleksibel dan kreatif mendorong guru untuk menjadi lebih inovatif dan menyenangkan. Faktor pengaruh media sosial juga penyebab adanya guru badut.
Lewat media ini memperlihatkan guru yang unik, menyenangkan, menciptakan standar baru bagi guru. Dan tuntutan kebutuhan siswa modern juga menjadi salah satu sebab munculnya guru badut. Siswa modern membutuhkan pendekatan yang lebih santai dan menyenangkan untuk mempertahankan minat belajar.
Adanya stres dan fenomena ‘guru killer’ mungkin terkait dengan stres dan tekanan belajar yang tinggi. Sedangkan ‘guru badut’ merupakan reaksi terhadap kebutuhan relaksasi. Dan dampak perubahan persepsi guru; guru tidak hanya dianggap sebagai pengajar tetapi sebagai motivator dan entertainer.
Peningkatan kreativitas guru terdorong untuk menciptakan metode pembelajaran yang inovatif. Pengembangan keterampilan lunak guru harus mengembangkan keterampilan komunikasi, empati, dan adaptabilitas, kritik dan kotroversional. Sebagian orang mungkin menganggap ‘guru badut’ tidak profesional atau menggangu proses pembelajaran.
Esensi Guru
Esensi seorang guru adalah mengajar dengan kasih sayang. Guru bukan hanya mengajarkan perkalian dan pecahan, tapi juga sikap tenggang rasa pada teman. Guru bukan hanya mengajarkan bagaimana makanan diproses dalam tubuh, tapi juga bagaimana menjadi manusia yang utuh. Guru bukan hanya mengajarkan lagu Indonesia Raya dan Ibu Kartini, tapi juga mengingatkan kalau kita tidak hidup sendiri di dunia ini.
Mengajar juga perlu dari hati, agar sampai juga ke hati. Di sisi lain, guru masa depan tidak tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan manajer belajar (learning manager).
Sebagai pelatih, seorang guru akan berperan seperti pelatih olahraga. Ia mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya dan membantu siswa menghargai nilai belajar dan pengetahuan.
Sebagai pembimbing atau konselor, guru akan berperan sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Sebagai manajer belajar, guru akan membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa dan mengeluarkan ide-ide baik yang dimilikinya.
Dengan ketiga peran guru ini, maka diharapkan para siswa mampu mengembangkan potensi diri masing-masing, mengembangkan kreativitas, dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif sehingga para siswa mampu bersaing dalam masyarakat global.
Tidak dapat dipungkiri, pendekatan pembelajaran yang menyenangkan memiliki banyak manfaat. Guru yang kreatif dapat meningkatkan antusiasme siswa, membantu mereka lebih mudah memahami materi, dan menciptakan suasana kelas yang inklusif. Media sosial pun menjadi alat efektif untuk menyebarkan metode pengajaran yang inovatif ke khalayak luas. Namun, ada sisi lain yang patut diperhatikan.
Fenomena ini dapat mengaburkan esensi pendidikan itu sendiri. Fokus berlebihan pada hiburan dapat menyebabkan substansi pembelajaran menjadi terabaikan. Guru juga rentan menghadapi tekanan psikologis untuk selalu tampil sempurna di hadapan publik, yang berpotensi menurunkan kualitas pengajaran mereka. Untuk menjawab fenomena ini, penting bagi para guru untuk menemukan keseimbangan antara edukasi dan hiburan. Menjadikan pembelajaran menyenangkan bukan berarti harus selalu menjadi pusat perhatian di media sosial. Sebaliknya, konten yang dihasilkan sebaiknya tetap berfokus pada nilai edukatif dan tidak semata-mata mengejar popularitas.
Pihak sekolah dan pemerintah juga memiliki peran penting dalam mendukung guru. Pelatihan yang relevan, penghargaan terhadap metode pengajaran yang bermakna, serta ruang dialog untuk berbagi pengalaman tanpa tekanan adalah langkah yang dapat diambil. Pengajaran harus tetap fokus pada kualitas dan esensi pendidikan bukan sekadar menarik secara visual atau emosional.(*)