“Kini saatnya guru menghadirkan data
mengundang siswa bertanya,
bukan lagi guru menghadirkan definisi
siswa merangkum informasi”
Kurikulum Merdeka diyakini mampu menjadi lokomotif akselerasi peningkatan kualitas SDM generasi Indonesia terutama dalam menghadapi era VUCA serta tantangan masa depan. Salah satu strategi yang digunakan pemerintah adalah memberikan “kemerdekaan” pada sekolah dan guru untuk mendesain dan menilai pembelajaran sendiri. Sebab kemerdekaan tersebut bisa menjadi jalan untuk menciptakan pembelajaran yang lebih lokal, kontekstual, problem-based dan bermakna.
Ini tentu relevan di tengah menguatnya tuntutan penguasaan keterampilan abad 21 yakni 4C (Critical Thinking, Creative, Collaborative and Communication) serta fleksibilitas pembelajaran di masing-masing sekolah. Dengan demikian, guru sebagai garda terdepan implementasi kurikulum merdeka sekarang memiliki “kuasa lebih” terhadap peserta didiknya.
Semakin guru berwawasan, kreatif, kritis, student-centered, mampu berkolaborasi maka implementasi Kurikulum Merdeka akan berhasil. Namun, jika sebaliknya, dimana guru masih mengandalkan buku teks, teacher-centered dan tidak mengelaborasi daya kritis peserta didik, maka bisa dipastikan pendidikan jalan di tempat. Tantangannya kemudian adalah bagaimana para guru mampu menyukseskan Kurikulum Merdeka.
Kemampuan Berpikir Kritis
Banyak negara di dunia menjadikan keterampilan berpikir kritis sebagai kompetensi utama yang harus dimiliki peserta didik bahkan berpikir kritis mereka jadikan sebagai tujuan pendidikan utama mereka (Wira Suciono, 2021: 20). Di samping itu, negara maju dan berkembang juga membuat beberapa perubahan dalam bidang pendidikan agar dapat mendukung tercapainya keterampilan berpikir kritis (Mike Tumanggor, 2021: 3).
Tak terkecuali negara Indonesia. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, membuat kebijakan fundamental dengan memasukkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam agenda utama Kurikulum Merdeka. Salah satu karakter yang ingin dicapai dalam Profil Pelajar Pancasila adalah bernalar kritis.
Memandang begitu masif dan signifikannya upaya mendukung keterampilan berpikir kritis, maka sudah menjadi keniscayaan, dalam pelaksanaan pembelajaran merdeka, sebelum peserta didiknya mampu bernalar kritis, gurunya harus terlebih dahulu memiliki keterampilan tersebut. Sehingga, menurut penulis, salah satu aspek penting yang menjadi starting point keberhasilan Kurikulum Merdeka adalah kemampuan berpikir kritis guru.
Dalam jurnalnya berjudul Analisis Intelegensi dan Berpikir Kritis (Syane dan Supardi, 2022) menuliskan definisi berpikir kritis yang digagas oleh Facione (2013) yang dianggap paling mewakili keseluruhan definisi berpikir kritis dari banyak pakar. Facione dalam karyanya bertajuk “Delphi Project” mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah berpikir berdasarkan evaluasi, bukti dan konsep yang bertujuan memberikan interpretasi, analisa, evaluasi dan kesimpulan yang kesemuanya berbasis instruksi metode dan standar generasi.
Dalam referensi lain berjudul Critical Thinking Skills for Education Students, Second Edition,yang ditulisLesley, dkk (2013:3) menuliskan 10 hal yang dibutuhkan untuk bisa menjadia good critical thinkeryaitu: 1) Mau mempertanyakan pandangannya sendiri serta pandangan orang lain, 2) Berpikiran terbuka, 3) Mampu membuat pertimbangan (judgements), 4) Mampu mengidentifikasi kevalidan sumber data, 5) Percaya diri dalam mengeksplorasi dan mempertanyakan sebuah bukti (evidence)/ literature serta implikasinya, 6) Mampu mengenali kelemahan dan kekuatan proses berpikirnya sendiri serta argumen yang sedang dibangun, 7) Jujur , 8) Fleksibel, 9) Tidak anti-kritik, 10) Mampu memperbaiki argumen.
Praktis, berdasarkan uraian pendapat di atas, berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang memang mutlak diperlukan guru dalam mengimplementasikan kurikulum merdeka. Kemampuan berpikir kritis guru setidaknya berorientasi pada kemampuan membaca lingkungan sekitar secara ilmiah yang melahirkan gagasan-gagasan solutif untuk kemudian disajikan ke dalam kegiatan pembelajaran.
Dalam konteks pembelajaran di era merdeka belajar tentu ini menjadi semakin tepat karena pembelajaran akan benar-benar berbasis fakta-fakta, masalah-masalah serta potensi-potensi yang ada di sekitar peserta didik atau sekolah.
Pembelajaran berbasis fakta di sekitar peserta didik yang mana mereka diajak untuk secara real mengamati, memikirkan, serta mencari solusi terbaiknya. Itulah the real teaching and learning, pembelajaran bermakna.
Sebagai contoh, di Kota Malang tumbuh subur perumahan, dimana perumahan tersebut di bangun di atas sawah. Akibatnya sawah menjadi habis dan mengikis sistem irigasi petani serta memengaruhi keseimbangan ekosistem setempat. Guru kemudian membaca fakta tersebut, mengobservasinya serta membuat datanya untuk disajikan ke peserta didik.
Peserta didik kemudian diajak untuk mengamati, mempelajari dengan terjun langsung ke lokasi sawah-sawah dan perumahan-perumahan. Guru menstimulasi peserta didik mencari solusi terbaiknya. Dari pengalaman penulis, begitu banyak ide solutif peserta didik yang muncul mulai dari membuat peraturan tentang membangun perumahan, memetakan aliran irigasi sampai membuat surat rekomendasi ke Wali Kota.
Di kurikulum merdeka, ruang bagi sekolah dan guru untuk benar-benar mengeksplorasi dan mengelaborasi problem bahkan potensi di sekitar peserta didik untuk dijadikan sumber inspirasi pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) dan atau bahan pembelajaran di dalam kelas sangatlah terbuka. Sekarang tinggal bagaimana sekolah dan guru untuk meningkatkan daya kritisnya masing-masing dalam membaca lingkungan sekitarnya.
Membangun Big Data
Dalam konteks penyelenggaraan pembelajaran yang aktual, faktual dan kontekstual tersebut, sepertinya yang perlu menjadi concern sekolah-sekolah adalah upaya untuk memiliki apa yang disebut dengan Big Data sekolah. Memang ini bukan perkara mudah, namun pada faktanya Big Data tersebut memegang peranan penting dalam sekolah maupun guru mengambil kebijakan dan keputusan pembelajaran.
Big Data sekolah berisikan data-data persekolahan yang dapat dijadikan rujukan dalam menentukan langkah pembelajaran. Sebagai contoh, bagaimana tingkat kebersihan sekolah, bagaimana tingkat kedisiplinan peserta didik, bagaimana motivasi dan minat belajar peserta didik, dll. Berbagai data tersebut dirangkai dalam dashboardgrafis baik secara mingguan, bulanan bahkan tahunan. Sehingga sekolah memiliki informasi berkelanjutan yang aktual, faktual dan kontekstual dan dapat diakses oleh guru untuk dijadikan dasar pengembangan KOSP, sumber inspirasi projek ataupun kebijakan sekolah.
Dengan demikian mengajar berbasis data akan menjadi bagian dari ruh pendidikan kita yang pada gilirannya diharapkan lahir generasi yang peka terhadap lingkungannya. Peduli terhadap masalah di sekitarnya, mau dan mampu berkolaborasi mengatasinya karena sesungguhnya bukan kita yang akan menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini, namun generasi yang kita didik hari ini. Oleh sebab itu, “Kini saatnya guru menghadirkan data mengundang siswa bertanya, bukan lagi guru menghadirkan definisi siswa merangkum informasi.” Semangat berkarya para guru, generasi membutuhkanmu.(*)