spot_img
Wednesday, May 15, 2024
spot_img

Guru Seni Tanpa Pensiun

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Mengajarkan seni dan budaya tak terbatas usia. Kapan pun dan di mana saja bisa melakukannya. Apalagi dunia seni, tanpa batas. Eny Priyantuti S.Pd setia  melakoninya.

Usianya 63 tahun, sempat stroke namun sudah sembuh. Kini telah pensiun dari pekerjaannya sebagai guru. Tapi semangat mengajarkan seni dan budaya tetap berkobar. Begitulah Eny Priyantuti S.Pd.

Di masa tuanya, ia tidak ingin seni dan budaya Jawa hilang ditelan zaman. Karena itulah dia tetap setia mengajarkan seni tradisional seperti Tari Rampak dan Jaranan. Terutama untuk siswa sekolah dasar.

Menurutnya sekolah dasar paling pas untuk dibiasakan mengenal budaya tradisional. Karena sejatinya seni harus dibentuk sejak usia dini.

Awalnya Eny mengajar seni budaya karena sejak kecil sudah menyukai tarian tradisional. Bahkan di usia sembilan tahun sudah menguasai beberapa tarian seperti tari klasik, Serimpi, Gambir aAnom, Gathut Jaco Gandung, Bambangan.

Hingga kini tekadnya yang kuat melestarikan seni budaya Jawa, Eny mengajar  seni secara gratis. Seperti di SDN Merjosari 3 Malang. Alasannya, karena sekolah tersebut tidak ada ekskul tari. 

Saat ini sudah ada 20 siswa yang diajarkan secara gratis. Di sekolah tersebut Eny tidak hanya mengajarkan Tari Rampak dan Jaranan. Ia juga mengajar tetembangan seperti Mocopat dan vokal.

Warga Jalan Joyo Utomo Merjosari Kota Malang ini mengajar setiap dua kali dalam seminggu. Jam dan waktunya fleksibel. Semuanya dilakukan secara gratis tanpa ada persyaratan khusus.

“Saya tidak pilih-pilih. Bukan untuk anak tidak mampu atau anak yatim piatu. Semua boleh, asalkan siswanya niat, tekun dan ulet,” katanya.

Selain di SDN Merjosari 3 Kota Malang, ia juga mengajarkan 25 siswa secara gratis di SDN Beji 1 Kota Batu. Meski di usia tidak muda, ia masih semangat dan antusias untuk menyebar ilmu.  

Tak sekadar menularkan ilmu, Eny memiliki banyak cipta karya. Ia tidak ingin karyanya terbuang sia-sia, juga rela karyanya tidak dibayar. “Saya ini seniman yang tidak ingin menyia-nyiakan suatu karya,” lanjut kelahiran Jember ini.

Mungkin sebagian orang bertanya bagaimana mendapatkan biaya operasional? Eny menjelaskan banyak donatur yang peduli padanya. “Saya mengajarkan seni pakai biaya pribadi. Mulai dari make up, kostum, semua saya yang tanggung. Masalah biaya itu juga dibantu oleh adik saya. Bahkan ada juga donatur yang peduli,” jelas Eny.

Membuat suatu karya membutuhkan biaya. Namun karena tidak ada pendapatan khusus untuk berkarya, ia cipta karya sendiri tanpa ke studio.

“Ada lagu ciptaan saya sendiri. Salah satunya Taman Merjosari. Butuh waktu enam bulan untuk buat kedua lagu tersebut,” ujarnya.

Satu lagu lagi yakni tentang Nogo Sari. Tujuannya agar anak-anak zaman sekarang mengenal kuliner tradisional.

Menciptakan karya, menurut Eny, ada suka dan duka. Seperti sulitnya membuat konsep yang bagus dan menarik. Walau banyak kegagalan, tapi seniman tidak pernah gagal.

Dengan bakat seni dan dedikasinya, Eny berhasil menghantarkan beberapa siswanya di event tingkat nasional bahkan internasional. Salah satunya siswa bernama Melinda.Ia membawakan lagu karya Eny sebanyak dua kali dalam program pertukaran seni budaya internasional. Seperti di Singapura, Johor, Malaysia dan Thailand.  Ia membawakan lagu ‘Aku Wong Batu’ ciptaan Eny.  

Di tengah perjuangannya, ia sempat diserang stroke sekitar satu tahun yang lalu. Juga mengalami jantung bocor. “Saat itu saya down, saya kira saya sudah tidak bisa mengajar seni. Tapi akhirnya saya sembuh. Berkat semangat saya, saya bisa bangkit kembali,” katanya bersemangat. (mda/van)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img