.
Thursday, December 12, 2024

Haji

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si

Memasuki musim ibadah haji, umat Islam seluruh dunia yang mampu secara fisik, psikis, dan materi-finansial berduyun-duyun menuju Makkah al-Mukarromah untuk menunaikan kewajiban sebagai umat Islam, yakni rukun Islam yang kelima. Ibadah atau ritual haji sebenarnya tidak serta-merta hanya menggugurkan kewajiban seorang Muslim sebagai umat beragama Islam saja. Tidak pula umat Islam hanya berziarah ke tempat sakral secara spiritual dan syari’at, ataupun sekadar melaksanakan ajaran agama, akan tetapi kebermaknaan haji sebenarnya juga terdapat nilai-nilai sosial yang luhur dan mulia.

Ibadah haji tidak hanya menghubungkan manusia dengan agama atau Tuhannya, melainkan juga manusia dengan manusia yang lainnya. Oleh karena itu, ibadah haji memiliki dua garis penghubung kemanusiaan, yakni garis vertikal dan horizontal. Garis vertikal, ibadah haji dipandang secara normatif, yakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Sementara garis horizontal, ibadah haji dipandang dari sisi sosial manusia sebagai makhluk sosial di dunia ini, yakni hubungan di antara manusia umumnya dan umat Islam khususnya dalam membangun perdamaian dunia.

Makna Sosial Haji

Di antara makna sosial haji sebagai nilai-nilai sosial yang menghubungkan antara manusia dan manusia lainnya sebagai makhluk sosial adalah, pertama, penyadaran akan adanya pluralitas umat Islam. Umat Islam hingga sampai saat ini telah tersebar di berbagai negara dan belahan dunia. Mulai dari negara paling Barat hingga paling Timur. Tentunya, di antara umat Islam tersebut sangat memiliki perbedaan dalam keberagamaannya. Mulai dari yang beraliran syi’ah maupun sunnah, orang kulit hitam maupun putih, mazhab yang paling liberal dan mazhab yang paling fundamental, aliran kiri maupun kanan, dan lain sebagainya.

Berbagai perbedaan tersebut, umat Islam harus sadar bahwa pluralitas umat Islam itu tidak bisa dihindari. Karena, berbagai hal yang mendasari adanya perbedaan, antara lain, adat-budaya, pemahaman keislaman, tingkat intelektualitas, bahasa, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pluralitas umat Islam tersebut menjadi sebuah realitas yang niscaya ada. Pluralitas dan multikulturalisme umat Islam tersebut disatukan dengan lafaz “labbaika Allahumma labbaik…” yang diserukan ketika melaksanakan ibadah haji.

Kedua adalah persatuan dan persamaan. Menurut John L Esposito, salah seorang penafsir Islam yang paling berotoritas di Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Future of Islam memandang ibadah haji; sebagaimana semua Muslim disatukan lima kali sehari saat mereka salat menghadapkan wajah ke arah Mekkah, tempat kelahiran Nabi Muhammad, begitu pula setiap tahun lebih dari dua juta umat Muslim dari seluruh dunia berdatangan ke Kota Suci ini untuk menjalankan rukun Islam yang kelima.

Esposito menyadari bahwa pluralitas Islam tersebut disatukan dan mereka tidak merasa berbeda secara spiritual dan sosial. Saat berhaji, pria dan wanita menjalankan ritual bersama. Tidak ada perbedaan gender di tempat tanah suci ini. Dengan mengenakan pakaian sederhana yang melambangkan kesucian, persatuan, dan kesetaraan, mereka menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa besar keagamaan.

Di sisi lain, dunia Islam sekarang sedang terjadi berbagai konflik. Gejolak reformasi dan revolusi di berbagai negara Islam (Timur Tengah), konflik yang terjadi di dunia Islam antara Sunni dan Syi’i, konflik umat baik di bidang ekonomi, sosial, dan politik, serta berbagai hal penistaan Islam telah memecah-belah umat Islam di dunia. Sebenarnya, ibadah haji bisa dijadikan refleksi persatuan dan persamaan umat Islam seluruh dunia.

Pelaksanaan Ibadah haji bagi umat Islam dari berbagai belahan dunia, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam. Dalam ritual ibadah haji, seluruh jamaah haji yang beragam tersebut melakukan ibadah yang sama. Mereka memiliki gerakan hati, pikiran, badan dan tujuan yang sama satu dan yang lainnya. Begitu pula yang diharapkan terjadi pada dunia Islam akhir-akhir ini adalah perdamaian karena Islam sebenarnya adalah agama kasih sayang.

Perkembangan zaman telah membawa Islam menjadi multiwajah. Meski demikian, melihat ritual atau manasik haji, multiwajah Islam tidaklah menjadi hal yang rumit untuk dihadapi menuju persatuan, toleransi, persamaan, dan rasa saling kasih sayang. Dengan demikian, ibadah haji merupakan refleksi nilai-nilai sosial yang luhur dan mulia bagi umat Islam di seluruh dunia. Alangkah indahnya jika umat Islam di dunia ini menjadi simbol perdamaian dunia, mengedepankan sikap kasih sayang dan menafikan kebrutalan.

Dimensi Penyempurna Ibadah

Kewajiban melaksanakan haji bagi orang yang mampu adalah penyempurna ibadah harian (salat) dan ibadah tahunan (puasa) sebagai ibadah yang yang diwajibkan bagi yang mampu sekali seumur hidup. Maka, ibadah haji didalam rukun Islam terletak pada tempat yang terakhir.

 Ibadah yang juga harus menyiapkan banyak potensi dalam mengerjakannya. Oleh karenanya, seorang yang hendak berangkat haji haruslah meyakini bahwa potensi ibadah harian dan tahunannya telah baik. Atau minimal berniat agar kelak dengan melaksanakan ibadah haji, akan memberikan dampak positif terhadap kualitas ibadah harian dan ibadah tahunannya. Hal ini tentunya juga terkait dengan kepentingan apa yang dimiliki dalam melaksanakan ibadah tersebut.

Di dalam Alqur’an Surat Ali Imran ayat 97 ditegaskan bahwa; “ …mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah maha kaya dari semesta alam”. Hal ini juga dipertegas dalam Surat Al Baqarah ayat 196 yang menegaskan “ sempurnakanlah haji dan umrah itu karena Allah “. Pesan aktual ayat tersebut, bahwa ibadah haji adalah ibadah yang dilakukan untuk Allah, dan karena Allah semata.

Melaksanakan ibadah haji sebagai bagian dari penyempurna ibadah kepada Allah tentunya memiliki beberapa dimensi. Pertama, dimensi ritualitas kesejarahan. Berangkat Haji ke Baitullah memiliki dimensi kesejarahan, kewajiban tawaf, sa’i, wukuf dan kewajiban lainnya. Memiliki dimensia kesejarahan. Oleh karenanya hal ini menjadi penting sebagai I’tibar dalam melaksanakan ibadah tersebut. Bahwa dahulu begitulah praktek haji yang sudah dikerjakan oleh umat-umat dari Nabi Ibrahim sampai ke Nabi Muhammad.

Kedua, bahwa ibadah haji itu memiliki dimensi ketuhanan dan kepatuhan terhadap Syari’at Allah. Bahwa di dalamnya terdapat aturan-aturan Allah yang harus dilaksanakan terkait dengan kewajiban dan aturan-aturan melaksanakan ibadah haji. Dimensia kepatuhan menjadi alat ukur yang paling penting dalam melaksanakan ibadah haji. Seorang yang melaksanakan ibadah haji, harus terlebih dahulu ditempa tingkat kepatuhannya untuk melaksanakan ibadah tersebut yang berarti bahwa seseorang tersebut mampu maksimal menjalankan perintah Allah.

Ketiga, bahwa ibadah haji itu memiliki dimensia ta’abbudiyah. Bahwa, selain patuh terhadap aturan Allah, dalam melaksanakan ibadah haji, juga harus memiliki dimensi rasa. Memiliki kenikmatan dalam menjalankan ibadah, yang akhirnya melahirkan kesungguhan dan beribadah haji tersebut. Jika kepatuhan (nilai) telah bersatu dengan rasa dalam menjalani sebuah aktivitas, apalagi aktivitas tersebut adalah ibadah yang diwajibkan, maka itulah ibadah yang paling sempurna di hadapan Allah. Sebab tingkat kepatuhan terhadap aturan Allah telah disatu padukan dengan rasa yang dimiliki atas mengerjakan perintah tersebut. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img