Dunia metaverse tengah menjadi pergunjingan banyak orang. Tak sedikit yang sudah bersiap memasuki dunia itu. Sementara masih banyak yang tak yakin dunia virtual itu bakal benar bisa terwujud. Banyak yang sudah mencoba bermigrasi ke metaverse. Sejumlah orang mulai membeli lahan, membangun pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, lembaga pendidikan, dan beragam kebutuhan seperti layaknya di kehidupan nyata. Bahkan muncul pula wacana haji metaverse.
Mengutip laporan Tech Briefly, pada Rabu, (9/2), Arab Saudi telah membuat proyek teknologi yang disebut “Virtual Hacerulesved.” Lewat proyek ini sedang dirancang orang bisa berziarah ke tempat suci, mengunjungi Hajar Aswad di Ka’bah, hingga wacana haji virtual. Proyek yang diluncurkan bulan lalu oleh Abdurrahman Sudeysi, Imam Besar Ka’bah, merupakan upaya kolaborasi antara Universitas Umm al-Qura dan Administrasi Urusan Pameran dan Museum.
Kelak mengunjungi Ka’bah dan sejumlah tempat bersejarah Islam bisa secara virtual. Menurut Sudeysi, ada banyak peninggalan sejarah dan Islam di masjid-masjid Makkah, yang harus didigitalkan untuk kepentingan semua orang. Inisiatif ini juga mencakup simulasi realitas virtual dari situs ziarah paling terkemuka di Makkah. Dengan kacamata realitas virtual, pengalaman itu tidak hanya menarik indra penglihatan dan pendengaran, tetapi juga sentuhan dan penciuman.
Seperti yang ramai diberitakan media, Arab Saudi telah mengumumkan inisiatif realitas virtual (Virtual Reality) yang memungkinkan umat Islam dapat menyentuh Hajar Aswad tanpa meninggalkan rumah. Teknologi itu disebut “Virtual Black Stone Initiative” yang merupakan teknologi VR baru dan membawa situs suci umat Islam ke ruang keluarga muslim saat pandemi Covid-19. Langkah ini ditentang oleh banyak orang karena dinilai melakukan ibadah melalui teknologi metaverse itu tidak sah.
Tidak Sah
Terobosan Arab Saudi mendigitalisasi sejumlah tempat bersejarah Islam menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak pada pelaksanaan ibadah haji. Dikhawatirkan dengan berselancar di dunia maya (virtual tour) ke Makkah lewat metaverse menggunakan kacamata oculus tersebut ada yang menganggapnya sebagai ibadah haji yang sah. Ibadah haji seperti layaknya ibadah fisik yang kalau di Indonesia harus menunggu puluhan tahun hingga sampai tiba giliran berangkat itu.
Fenomena haji metaverse ini mengundang kehebohan di media sosial dan memicu keresahan masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan jelas telah menegaskan bahwa ibadah haji lewat metaverse itu tidak sah. Ibadah haji punya syarat yang wajib dilakukan secara fisik. Ibadah haji dan umrah tak bisa dilakukan lewat angan-angan dan lewat virtual saja. Ibadah haji merupakan ibadah fisik di alam nyata bukan maya. Haji itu ibadah yang bersifat dogmatik dengan tata cara pelaksanaannya atas dasar apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan platform kunjungan Ka’bah secara virtual melalui metaverse bisa bermanfaat untuk mengenali lokasi yang akan dijadikan tempat pelaksanaan ibadah. Tetapi terkait pelaksanaan ibadah haji dengan mengunjungi Ka’bah secara virtual tidak cukup karena itu tak memenuhi syarat ibadah haji.
Asrorun menjelaskan bahwa ibadah haji merupakan ibadah mahdlah dan bersifat tauqify yang berarti tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan. Ada beberapa ritual yang membutuhkan kehadiran fisik (NMP, 10/2).
Menurut sejumlah ahli bahwa metaverse lebih tepat bisa dipakai untuk latihan haji. Dengan itu, orang yang akan pergi haji dapat mengetahui apa saja yang ada di sekitar Ka’bah tanpa perlu pergi ke sana. Manasik haji lewat metaverse itu bisa menampilkan gambar tiga dimensi dan simulasi lainnya. Dengan perangkat virtual reality para calon haji bisa masuk dan mengetahui apa saja yang ada di sana. Metaverse lebih cocok untuk manasik haji, bukan menggantikan haji secara fisik.
Hiperrealitas Ruang Virtual
Ruang virtual banyak menampilkan realitas hiper dan semu. Faktanya terkadang dilebih-lebihkan, didramatisir hingga menjadi hiper. Hiperrealitas merupakan sebuah ungkapan yang awalnya dikonsepkan oleh pemikir asal Prancis, Jean Baudrillard (1994) dalam bukunya yang berjudul “Simulacra and Simulation.”
Secara sederhana hiperrealitas bisa dimaknai sebagai sebuah kondisi yang melampaui realitas. Hiperrealitas sering dapat dijumpai dalam dunia maya, ketika pembeda antara kenyataan dan fiksi menjadi membaur dan kabur.
Konsep hiperrealitas yang terjadi di dunia maya menurut Baudrillard untuk menjelaskan terjadinya perekayasaan atas realitas. Hal ini bisa terjadi karena perkembangan teknologi telah memfasilitasi terjadinya simulasi. Simulasi merupakan penciptaan realitas maya yang justru tak mengacu pada realitas di dunia nyata. Realitas yang muncul justru realitas kedua yang sumber rujukannya adalah diri sendiri yang dinamakan dengan simulacrum.
Yasraf Amir Piliang (2003) dalam bukunya “Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,” mengemukakan bahwa dalam hiperrealitas kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dan dusta bersenyawa dengan kebenaran. Dunia hiperrealitas sebagai sebuah dunia perekayasaan realitas lewat permainan tanda yang melampaui kenyataan sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang ditampilkan ulang.
Kesadaran memahami realitas semu dengan kenyataan yang sesungguhnya inilah yang sering menimbulkan persoalan serius. Orang akan hidup dalam situasi palsu dan kepura-puraan. Dalam kondisi seperti ini para peselancar di dunia virtual akan tersaji segala sesuatu yang indah-indah saja. Sementara kondisi buruk yang sesungguhnya sering terjadi justru tidak muncul. Di sinilah bahaya realitas virtual karena realitas ini sering menipu.
Secara sederhana, metaverse berarti memindahkan dunia nyata ke dunia virtual. Secara teknologi memang bisa apapun yang ada di dunia nyata dipindahkan ke alam maya. Namun tak semua dari proses perpindahan itu esensinya akan sama. Karena sejatinya dunia maya dengan nyata adalah dua dunia yang jelas berbeda. Realitas dunia maya tak mesti serupa dengan dunia nyata.
Perkembangan teknologi memang telah membuat banyak orang berusaha berinovasi. Ada yang berhasil dan terbukti inovasi itu bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun tak sedikit inovasi teknologi itu justru menggelincirkan manusia menjadi terjajah oleh teknologi. Akhirnya bukan kebaikan yang didapat namun justru dampak negatifnya. Wacana haji metaverse perlu dipikirkan dengan matang, jangan sampai inovasi ini justru membawa banyak mudharat ketimbang manfaatnya.(*)