Oleh : Tomy Michael
Dosen FH Universitas 17 Agustus 1945 dan Pengurus Ikatan Penerbit Indonesia Jawa Timur
Di pertengahan Desember 2024, penulis memaparkan hasil penelitian terkait keadilan hukum dalam hak cipta. Dalam diskusi grup terpumpun yang dilaksanakan secara daring ini dikhususkan bagi Mahasiswa S3 Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya sebagai salah satu luaran dalam perkuliahan. Di dalam perspektif awal, hak cipta yang merupakan salah satu bagian dari hak kekayaan intelektual mengalami transformasi besar-besaran. Termasuk juga dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU No. 28-2014) bahwa hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya siapapun bisa memperolehnya secara langsung namun sifat langsung itu dibatasi dengan syarat tertentu.
Di dalam landasan filosofis Keputusan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: HKI-05.TI.03.02 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Sistem POP-HC (Persetujuan Otomatis Pencatatan Hak Cipta) termaktub bahwa dalam rangka terciptanya good governance dengan transformasi digital otomatis demi menciptakan pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparansi maka dipandang perlu menerapkan e-Government dalam memberikan pelayanan digital terintegrasi di bidang kekayaan intelektual. Terdapat perubahan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang menggunakan verifikasi manual. Adapun syarat yang diajukan mewujudkan keadilan hukum artinya tiap data memiliki akibat hukumnya. Data yang dimaksud sebelum era POP-HC yaitu lampiran [scan KTP pemohon dan pencipta, surat pernyataan, contoh ciptaan, contoh ciptaan (link), bukti pengalihan hak cipta, salinan resmi akta pendirian badan hukum dan scan NPWP perorangan/perusahaan].
Dalam pengiriman awal akan ada pengecekan misalnya surat pernyataan yang tidak sesuai kelengkapannya, contohnya ketika pencipta ingin mencatatkan buku namun ia mengisi jenis ciptaan sebagai karya seni dan sub jenis ciptaan buku maka akan ada pengiriman ulang dokumen kepada pencipta. Isian surat pernyataan berubah menjadi jenis ciptaan sebagai karya tulis dan sub jenis ciptaannya tetap kemudian unggah ulang dilakukan, pada akhirnya surat pencatatan ciptaan muncul. Berdasarkam pengalaman, proses terbitnya surat pencatatan ciptaan ketika terjadi kesalahan unggah data menjadi dua hingga tiga hari namun ketika data lengkap pun kadang-kadang satu atau dua hari.
Proses demikian sebetulnya menjadikan beban pencipta untuk memiliki keadilan hukum secara cepat. Mengapa dikatakan cepat? Karena surat pencatatan ciptaan adalah bukti legal dimana ciptaan yang dicatatkan betul-betul milik pencipta secara perorangan atau organisasi terkait hak moral.
Ketika sistem POP-HC diterapkan maka proses unggah data menjadi pelengkap saja. Artinya terjadi perubahan status “ya” ketika pembayaran dilakukan. Sistem tidak lagi melakukan verifikasi isian data namun hanya sebatas dokumen yang diwajibkan telah diunggah. Salah satu cirinya dengan pemberian tanda bintang merah di beberapa kolom isian. Apabila sistem sebelum dan sesudah POP-HC dikaitkan dengan Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan (UU No. 3-2017) dimana penulis berkewajiban mencantumkan nama asli atau nama samaran pada naskah buku maka menimbulkan konflik norma. Apabila membaca Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 28-2014 diketahui bahwa hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk menggunakan nama aliasnya atau samarannya.
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan di tahun 2017, penggunaan nama samaran cenderung memuaskan hasrat penulis saja, seolah-olah “terjadi sikap menolak bertanggung jawab” dengan alasan karyanya bisa dibaca. Alasan dikarenakan banyak penulisnya, tidak terkena cekal, atau lebih populer menarik pembaca. Mengacu penelitian yang dilakukan M. Bianet Castellanos dan Magda di tahun 2023, bahwa nama samaran untuk memberikan informasi mengenai problematika hukum terkait masyarakat adat. Terdapat kemudahan-kemudahan dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Dalam salah satu teksnya, ia mengatakan “I’ve learned a lot. Enough to even go stand up and shout in front of the governor’s palace and know what my rights are and to express what I feel. I too am citizen, but I know that I shouldn’t break the law. So it’s like keeping a balance. But yes, I’ve learned not to be afraid to express myself.” Hal menarik lainnya, penelitian tersebut mencantumkan nama samarannya yaitu Magda. Dalam perspektif hermeneutika hukum, tidak mencantumkan juga terkait penyebarluasan ajaran yang kadangkala dianggap mengganggu stabilitas negara.
Tentu nama samaran ketika di undang-undang diperbolehkan namun pada saat pencatatan hak cipta ada kewajiban mengisi surat pernyataan bermaterai dan penyerahan KTP maka keadilan hukum menjadi bias. Keadilan hukum secara tradisional adalah tujuan akhir yang selalu dipikirkan untuk memberikan rasa bahagia bagi banyak orang walaupun secara alamiah, manusia cenderung mengunggulkan dirinya sendiri.
Lantas bagaimana cara penyelesaiannya? Mengubah undang-undang adalah kewajiban namun ketika hanya mempermasalahkan nama samaran terkesan tidak substansial. Cara lainnya yaitu melakukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi dan menerapkan isian hak cipta yang terdeteksi otomatis dengan kecerdasan buatan. Misalnya penulis mengunggah sampul buku maka akan ada sinkronisasi dengan laman Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Edukasi-edukasi juga perlu dilakukan bagi mereka yang berkutat dalam lini penerbitan karya tulis sehingga terjadi kemauan bertanggung jawab dari penulis akan karya yang dihasilkan. Keadilan hukum tidak akan tercapai tanpa adanya validitas akan kepastian hukum. Dalam konsep yang kekinian, kepastian hukum akan menghasilkan keadilan hukum karena penelusuran bagian-bagian pendukung didalamnya. Dengan kemudahan dan kecepatan melalui sistem POP-HC, kesadaran akan mengakui data adalah kemutlakan yang tidak boleh dihindari. (*)