MALANG POSCO MEDIA- Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) masih terus memeriksa hakim konstitusi. Tapi mereka enggan berkomentar banyak usai diperiksa. Pakar hukum tata negara berharap MKMK membuat keputusan out of the box.
Hakim konstitusi yang juga Wakil Ketua MK Daniel Yusmic Pancastaki Foekh diperiksa MKMK, Kamis (2/11) kemarin. Daniel enggan berkomentar banyak saat dimintai keterangan oleh awak media usai menjalani pemeriksaan.
“Hanya ditanya soal persidangan saja. Hasilnya nanti tanya ke MKMK, ya,” kata Daniel.
aniel tidak dapat memberikan jawaban saat ditanya apakah putusan MKMK dapat memengaruhi Putusan MK Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Saya mohon maaf tidak dapat menjawab pertanyaan itu, ya,” imbuhnya.
Untuk diketahui, MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Almas Tsaqibbirru Re A dari Surakarta, pada tanggal 16 Oktober 2023. Almas memohon syarat pencalonan peserta pilpres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Karena keputusan tersebut dianggap untuk meloloskan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka, akhirnya MKMK turun tangan. Memeriksa semua hakim konstitusi.
Hakim konstitusi Guntur Hamzah juga diperiksa MKMK kemarin. Ia juga enggan memberikan komentar usai diperiksa secara tertutup.
Guntur diperiksa secara tertutup oleh tiga anggota MKMK. Yaitu Jimly Asshiddiqie, Wahiduddin Adams, dan Bintan R. Saragih.
Usai diperiksa, Guntur hanya mengucapkan terima kasih. “Terima kasih, ya, semua. Mohon izin, semua sudah ditanyakan oleh MKMK,” kata Guntur kepada MKMK.
Sebelumnya Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menyebut sembilan hakim MK berpotensi melanggar kode etik karena membiarkan institusi itu memutus perkara yang diduga berkaitan dengan kepentingan anggota keluarga hakim.
Apabila hakim MK terbukti melanggar kode etik, kata Jimly, maka MKMK juga bisa diyakinkan untuk membatalkan putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait perubahan syarat menjadi capres dan cawapres.
“Berarti, sesuai Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 17 ayat 7, (perkara) di-Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) lagi oleh majelis berbeda,” ujar Jimly.
Sementara itu Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Anang Zubaidy menilai MKMK harus membuat putusan yang out of the box atau tidak normatif terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. Yakni dengan mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan keadilan.
“MKMK untuk bisa mengembalikan kepercayaan publik, maka dia harus membuat putusan yang out of the box, di luar pertimbangan normatif, lebih pada pertimbangan kemanfaatan dan keadilan,” jelas Anang.
Anang mengatakan ketika dasar pengambilan keputusan hanya normatif, maka putusan MK bersifat final dan mengikat. Menurutnya, hal tersebut meniadakan upaya hukum lain dan tidak lagi dipandang sebagai mekanisme untuk membatalkan putusan.
“Kalau berpikirnya normatif ya selesai, kita tidak ada upaya hukum apa pun, saya berpikirnya di luar itu. Bahwa hukum itu harus memberikan jalan keluar,” sambung pakar hukum tata negara itu.
MKMK, kata Anang, menjalankan peran sebagai hakim yang memiliki fungsi dan tugas utama untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik. Oleh karena itu, dia berpendapat MKMK seharusnya tidak menggunakan kacamata normatif semata.
Dia berharap anggota MKMK juga menggunakan sisi nuraninya untuk menganalisis dan mengusut perkara dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi. (ntr/van)