.
Thursday, December 12, 2024

Harapan Merdeka dari Korupsi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Imam Afudloli
Plt Kepala TU SMAN 1 Sumbermanjing

          Kurun waktu Maret-April 2024 lalu, Indonesia digemparkan berita terkait kasus korupsi Rp 271 Triliun. Salah satu korupsi terbesar yang pernah ada di Indonesia. Jumlah yang sangat fantastis ketika disandingkan dengan data APBN tahun 2023 yang mencapai Rp 2.783, 93 Triliun. Atau dengan kata lain megaskandal korupsi ini sebesar 9,7 persen dari APBN tahun 2023.

          Menurut databoks (23/10/2023) kondisi keuangan masyarakat Indonesia terfokus pada pengeluaran rerata masyarakatnya per bulan jatuh pada angka Rp 1.451.870.00. Fakta ini sangat jelas semakin meruncingkan dua kepentingan yang berbeda dengan kutub yang saling berbalik.

          Korupsi yang terjadi hanya mengeruk uang negara untuk kepentingan diri pribadi dan keluarganya. Sedangkan rakyat harus berjibaku dengan kerasnya kehidupan untuk mencapai kebutuhan yang layak. Untuk bertahan hidup saja, masyarakat harus ekstra keras bekerja dengan penghasilan kurang dari pas. Sangat ironis memang!

          Menilik sejarah kelam tentang korupsi di Indonesia sangat masif. Peter Carey dalam bedah buku miliknya yang berjudul ‘Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia’ bersama Ketua KPK Agus Raharjo dan Juru bicara Febri Diansyah (4/9/2017) lalu, Pangeran Diponegoro memiliki sejarah perlawanan terhadap korupsi yang tidak diketahui banyak orang. Mungkin kebanyakan orang hanya tahu perang perlawanan terhadap pasukan Hindia Belanda.

          Di balik perang tersebut, korupsi merajalela dijelaskan bahwa pasukan KNIL (Koninklijke Nederlansch Indische Leger) telah melakukan penyelewengan kontrak dan mark up penjarahan hasil bumi. Sebagai puncaknya Pangeran Diponegoro menampar Patih Yogya Danurejo dengan selop karena kondisi ini jelas dianggap sebagai hal munafik dan korup terhadap rakyatnya sendiri.

          Praktik korupsi saat itu benar-benar memicu terjadinya perang yang kita kenal dengan the Java War yang berlangsung 1825 hingga 1830 dengan korban ratusan ribu jiwa. Peter menjelaskan pula bahwa praktik korupsi sejatinya bukanlah hal yang baru dalam tatanan hidup masyarakat melainkan sudah ada sejak zaman dahulu.    Korupsi dianggap mampu merusak tatanan sosial dan bahkan dapat memicu instabilitas politik ekonomi. Ditengarai, perang Diponegoro pun salah satu penyebabnya adalah praktik-praktik korupsi yang merajalela pada saat itu.

Stigma perubahan penanganan korupsi juga harus mulai ditata jika menginginkan pemerintahan yang bersih.

          Berkaca pada negara-negara besar yang mampu menciptakan pemerintahan bersih dari korupsi. Inggris membutuhkan waktu sekitar 150 tahun untuk pulih dari praktik-praktik korupsi. Langkah awal dan berani yang ditempuh Inggris saat itu adalah remunerasi aparat penegak hukum dan mengimplementasikan kontrak kerja yang sangat ketat dalam lingkungan peradilan. Di sisi lain gaji yang diberikan oleh Kerajaan Inggris adalah mampu menaikkan gaji hakim hingga 500 kali gaji dari gaji awal.

          Berkaca pula pada negara Asia Tenggara lainnya. Singapura memiliki integritas yang tinggi perang terhadap budaya korupsi. Singapura mampu menempatkan negaranya menjadi negara yang konsisten perang terhadap korupsi. Singapura menempati rangking 5 dari 180 negara yang memiliki tingkat korupsi paling rendah (tranparency.org).          Cara-cara yang baik dalam penanganan korupsi bukan tidak mungkin kita adopsi sebagai bagian dari integritas kehidupan bernegara. Strategi pemberantasan korupsi di Singapura adalah untuk pencegahan dan penindakan korupsi fokus terhadap empat hal utama. Yaitu, Effective Anti-Corruption Agency; Effective Acts (or Laws); Effective Adjudication; dan Efficient Administration.

          Keseluruhan pilar tersebut dilandasi oleh strong political will against corruption dari pemerintah. Hal tersebut dilakukan oleh pemerintahan dari People’s Action Party (PAP) setelah meraih kekuasaan pada bulan Juni 1959 di bawah Perdana Menteri Lee Kuan Yew.

          Menurut jurnal Tunjung Mahardika Hariadi berjudul Perbandingan Penanganan Korupsi di Indonesia dan Singapura menjelaskan bahwa Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Lee Kuan Yew dibentuklah CPIB (Biro Investigasi Praktik Korupsi). Ditengarai masa tersebut terdapat jumlah peningkatan korupsi yang sangat masif di Singapura. Salah satu cara untuk memeranginya adalah dengan menaikkan gaji pemimpin politik dan PNS, seperti yang dikutip dari Asian Journal of Public Administration (John S.T. Quah: 93)

          Lantas seperti apa negara ini sebaiknya melakukan langkah penanganan korupsi yang tepat? Undang-Undang perampasan aset sepertinya menjadi jawaban. Namun jalan terjal rancangan Undang-Undang ini terkesan lambat dimulai sejak tahun 2008. Bahkan sampai saat ini masih belum kelar meskipun sudah masuk pada Prolegnas Prioritas Tahun 2023 lalu.

          Solusi lain gaji pejabat negara, aparatur sipil negara diberikan tunjangan tinggi dan masih dalam tahap kewajaran diikuti langkah strategis segera disahkannya Undang-Undang perampasan aset adalah jalan ninja untuk menekan tingginya angka korupsi di Indonesia. Perjudiannya adalah taruhan jabatan (jika masih melakukan korupsi) berarti siap dirampas asetnya untuk dikuasai negara. 

          Langkah nyata upaya perang terhadap korupsi harus menjadi fokus pemikiran seluruh Rakyat Indonesia. Gerakan pengawasan anti korupsi harus tertanam pada setiap rakyat agar negara ini mampu mewujudkan cita-cita bangsa yang luhur. Muaranya adalah terciptanya pemerintahan yang bersih dan akuntabel serta rakyat sejahtera.

          Semoga di bulan Agustus ini, bukan hanya gegap gempita merayakan kemerdekaan negara tercinta saja. Tapi juga momentum untuk meneguhkan tekad bersama merdeka dari segala kejahatan korupsi di semua lini kehidupan.(*) 

           (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img